Saya yakin, setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami amarah yang memuncak. Mau dia anak kecil, remaja. orang dewasa, ataupun yang sudah tua, semua bisa marah. Bahkan orang yang alimnya kayak apa pun, kemarahan itu pasti ada di dalam dirinya. Hal itu manusiawi sih.
Tapi, cara mengekspresikan kemarahan setiap orang itu tak sama. Mereka punya cara masing-masing dalam menanggulangi amarahnya.
Ada sebagian orang yang kalau marah meletup-letup sambil mengabsen semua hewan di kebun binatang. Ada yang kalau marah gerutu tiada habisnya sambil menulis segala kemarahannya pada seseorang di media sosial. Ada yang kalau marah suka membanting atau merusak barang. Dan ada juga jenis orang yang kalau marah cuma diam atau malah nangis. Nah, kalian jenis orang yang seperti apa kalau sedang marah?
Cara pengendalian kemarahan inilah yang membuat setiap individu tak sama. Yang terbaik dari yang terbaik, adalah mereka yang jika marah namun mampu mengendalikan kemarahannya dan tetap tenang serta bijak dalam bertutur ataupun bersikap.
Saat dikuasi kemarahan, biasanya orang tak bisa berpikir logis. Jadi dia bersikap dan berkata tanpa berpikir dahulu, apakah perbuatan dan perkataannya itu menyakiti orang lain atau tidak. Ujung-ujungnya, saat kemarahannya itu mereda, hanya sebuah penyesalan yang tersisa.
Menurut saya kemarahan itu termasuk energi negatif di dalam tubuh. Memang, baik sih diam dan bersabar saat kita marah, tapi memedam kemarahan dalam jangka waktu yang lama itu juga tidak baik untuk kesehatan jasmani dan rohani. Oleh karena itu saya mengumpulkan masukan dari para suhu atau tetua perihal menyikapi diri saat menghadapi kemarahan secara bijak.
Seorang ibu-ibu rumah tangga beranak empat, mengaku saat dia marah dulunya dia sering melampiaskan kemarahannya pada anak. Anak yang tak tahu apa-apa, menjadi sasaran empuk amarahnya. Tak bisa dipungkiri, hal ini sering sekali terjadi pada ibu rumah tangga. Dia marah pada suaminya, tapi anak yang justru jadi luapan amarahnya.
Saat amarahnya mereda, dia mengaku bahwa dia menyesal telah memarahi anak-anaknya. Oleh karena itu beliau ini menemukan terobosan baru untuk melampiaskan kemarahannya. Yaitu dengan cara mencuci piring.
Disinyalir, saat mencuci piring tersebut terjadi pelepasan ion negatif di dalam tubuhnya. Setiap gerakan cuci piring itu seperti terapi jiwa yang membuat hatinya lebih rilex. Sehingga setelah mencuci piring, dia bisa berpikir jernih kembali.
Jadi saat dia marah, kini dia buru-buru akan mencuci piring. Bahkan jika tak ada cucian piring, dia akan mengambil piring bersih untuk dicuci ulang. Hmm~
Yang kedua, seorang teman lama mengaku bahwa saat dia marah dengan tetangganya, dia akan membersihkan kamar mandi rumahnya. Dulunya saat marah dia akan meluapkan amarahnya pada tetangganya itu, hingga terjadi keributan. Setelah amarahnya mereda, dia begitu menyesal dan merutiki kebodohnya yang sembrono. Makanya kini, dibanding ribut dengan tetangganya, dia lebih memilih melampiaskan kemarahannya dengan menggosok lantai kamar mandi dengan kekuatan penuh.
“Gosoknya, sambil bayangin kalau lantai itu muka orang yang buat kamu marah!” ujar teman saya.
Setelah menggosok kamar mandi selama dua jam, dia akhirnya kelelahan. Hingga tak memiliki energi lagi untuk marah pada seseorang. Yang ini saya pernah coba, dan lumayan mujarap. Selain itu setelah marah, saya jadi bahagia, karena kamar mandi rumah saya jadi bersih.
Seorang lelaki berusia 35 tahun, mengaku tiap kali dia marah, dia akan mengecat ulang rumahnya. Dia ingin meniru cara releksasi para seniman lukis, yang mengekspresikan kemarahannya lewat lukisan. Tapi berhubung dia tak bisa melukis, jadilah dia mengecat dinding rumahnya.
Sebelumnya si bapak ini kalau marah cukup mengerikan. Dia suka membanting barang-barang. Setelah amarahnya mereda, dia mulai menyesal karena untuk minum air saja dia susah, karena gelasnya sudah ia pecahi semua.
Dulunya saya juga cukup heran tiap kali berkunjung ke rumahnya. Dalam setahun dia bisa gonta-ganti warna cat sebanyak 5-8 kali dalam setahun. Setelah mendengar pengakuan si bapak ini, saya lumayan tercengang dengan ide kreatifnya menyalurkan amarah yang membara. Sebuah kemarahan yang berujung dengan cat dinding yang bersih dan rumah yang cantik.
Seorang nenek-nenek berusia 70 tahun bercerita pada saya, bahwa cara paling efektif saat marah itu dengan menjemur kasur. Lalu pukul-pukul kasur tersebut dengan kekuatan maksimal menggunakan sapu ijuk. Maka debu-debu yang menempel di kasur akan hilang, dan amarah kita pun akan meredup seiring dengan tangan kita yang mulai pegal dan kebas.
Beberapa cerita di atas, hanya sedikit dari begitu banyaknya tips untuk mengolah amarah dengan bijak. Meski marah itu sebuah tindakan yang manusiawi, tapi kemarahan yang tidak terkontrol bisa berakibat merugikan diri sendiri atau orang lain. Jadi, kita tetap harus bisa berpikir jernih meski hati dikuasai amarah.
Pada kenyataannya bersih-bersih adalah senjata ampuh untuk melepas segala emosi. Saat marah kita memiliki energi besar, sehingga jika energi itu dimanfaatkan pada tempatnya akan sangat berguna sekali.
Oh, iya, satu lagi, saat kita marah usahakan jauhkan gadget dari kita. Jangan posting sesuatu di media sosial selama kita marah. Tunggu sampai amarah kita mereda. Meski bisa dihapus, tapi internet akan tetap meninggalkan jejak.
Mari marah dengan cara yang santun, sehingga tak ada penyesalan di kemudian hari gara-gara kemarahan kita.