UGM adalah kampus impian, terkhusus bagi saya yang punya keterbatasan akses pengetahuan terkait perguruan tinggi. Salah satu hal yang bikin UGM jadi kampus impian saya, selain prestasi dan prestise, adalah letaknya: Jogja. Kuliah di Jogja, terlebih di UGM, adalah keindahan yang bikin saya terpukau waktu itu.
Jogja di pikiran saya (dulu) adalah keindahan. Empat kali berkunjung, pikiran saya tentang Jogja selalu megah. Hal-hal yang indah dan puitis mengiringi tiap nama tersebut terucap. Dan itu semua bikin saya punya impian untuk kuliah di Jogja.
Saya lulusan sebuah kampus di Malang dan semenjak semester 6 sudah memiliki rencana untuk melanjutkan studi magister saya di UGM, atau di Jogja, apa pun kampusnya. Saya mendengar banyak testimoni terkait kampus tersebut dan daerahnya. Entah terkait jurusan yang saya ambil, fasilitas dan pertemanan yang suportif. Testimoni tersebut berasal baik dari dosen yang merupakan alumni kampus tersebut atau kakak tingkat yang sedang menempuh perkuliahan di sana.
Tak peduli romantisasi
Meski sudah menjelaskan terkait romantisasi berlebihan terkait Jogja, niat saya untuk pergi ke daerah yang (konon) istimewa tersebut tidak pernah lenyap. Seperti di Jogja itu nggak murah kayak yang diomongin orang-orang, ya saya nggak peduli-peduli amat. Saya sudah empat kali ke Jogja, dan tentu saja saya tidak makan di restoran, tapi saya masih menganggap harga di Jogja relatif sama dengan yang ada di Malang.
Selain itu beberapa kenalan saya yang sudah beberapa tahun di Jogja mengatakan “Jogja itu macet dan panas. Lha, Malang kan M-nya macet. Kalau masalah panas, menurut saya sih biasa saja. Kalau ada yang bilang Malang kota dingin reneo tak slentik batuk-mu.
Sama seperti banyak orang meromantisasi Malang, saya tidak terkejut dengan romantisasi Jogja yang jauh melebihi Malang. Sudah biasa, lah. Dan Jogja tetap menjadi list teratas untuk melanjutkan perkuliahan, entah ada apa, dalam hati saya sering mbatin “Pokok’e Jogja!”
Bahkan ketika sisi lain dari Jogja seperti kemiskinan dan problematika pariwisata yang menyudutkan warga asli Jogja, saya masih tetap memiliki keinginan untuk kuliah di sana dan tinggal beberapa tahun. Toh bagi saya permasalahan setiap daerah berbeda, dan saya yakin permasalahan perlahan bakal terselesaikan. Perlahan.
Itu semua ada di pikiran saya sebelum klitih menyerang.
Baca halaman selanjutnya
Respons pemerintah terkait klitih yang begitu menggelikan
Respons yang menggelikan pada klitih bikin saya tak menyesal batal kuliah di Jogja
Sebenarnya, klitih bukanlah alasan saya kehilangan minat kuliah di Kota Pelajar, tapi respons menggelikan orang-orang yang punya kewenangan untuk mengatasi itu.
Contohnya, beberapa waktu lalu, ada yang mengatakan klitih itu tidak ada (meski buktinya tersebar di mana-mana) dan malah mengganti istilah klitih dengan kejahatan jalanan. Dan baru-baru ini beredar video kekerasan dengan senjata tajam (entah klitih atau kekerasan jalanan,) yang berlokasi di Titik Nol Kilometer.
Bayangkan, Titik Nol. Itu deket banget sama Kraton. Kalau di Malang ibarat seperti ada begal di depan Matos, ramashok!
Dengan keadaan yang lebih mirip seperti di Gotham City, ditambah lagi pemerintah setempat yang seolah bodo amat dengan apa yang terjadi di daerahnya, rasanya kok kuliah di Jogja kurang mashok ya.
Saya jadi menganggap Jogja bukan tempat yang aman dan ideal untuk belajar. Saya mulai berpikir bahwa mengurungkan niat berkuliah di Jogja bukan hal yang salah. Malah bisa menjadi pilihan yang tepat untuk orang yang memiliki gejala paranoid. Apakah saya berlebihan? Ah, saya nggak juga. Kita tidak mungkin berharap ada vigilante macam Batman akan mengurusi semua kejahatan dengan tangannya sendiri. Berharap pahlawan datang itu tak masuk akal.
Sebab, ada orang-orang yang punya tanggung jawab untuk menyelesaikan hal tersebut. dan merekalah yang harusnya dituntut untuk menyelesaikan kekacauan ini.
Saya pikir, memilih daerah lain untuk belajar akan lebih baik daripada hilir mudik belajar diikuti rasa takut dan cemas. Kuliah di Jogja mungkin indah dalam angan-angan, tapi ketika malam tiba, semua mimpi buruk bisa jadi begitu nyata.
Penulis: Ahmad Yusrifan Amrullah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tidak Ada Batman di Babarsari Gotham City