Sebagai orang Batak KW, saya tetap merasakan anugerah punya nama bermarga Batak.
“Sahat sahat ni solu sahatma tu bortean sai leleng ma hamu mangolu sai sahatma tu panggabean sahat tu parhorasan.”
Kalimat dalam bahasa Batak itu muncul dalam grup Telegram yang saya ikuti beserta tagging ke saya dan Yesaya Sihombing. Ya, kami di-tag karena dianggap cukup Batak dan paham artinya.
Saya hanya terkekeh melihat Yesaya Sihombing membalas dengan mengirimkan kumpulan kata-kata dalam bahasa Batak beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Katanya, “Aku yo ra dong, silakan dirangkai sendiri.” Ha-ha-ha. Beginilah nasib Batak KW. Ya, saya sering kali menyebut diri saya Batak KW.
Sebagai peranakan Jawa-Batak yang hidup di Bantul seumur hidup saya, sungguh saya tak pantas disebut sebagai orang Batak. Leluhur saya mungkin malu dengan ketidaktahuan saya akan bahasa Batak selain “dang a dong hepeng” yang artinya “nggak punya uang”. Itulah sebabnya, saya tidak terbiasa menuliskan marga di belakang nama saya.
Sebenarnya punya marga adalah hal yang sangat menguntungkan. Setidaknya ini menurut adik ipar saya yang sering banget memakai marga istrinya untuk menjadi bahan obrolan dalam keperluan bisnisnya. Dan ini memang selalu relevan di segala zaman. Meski tak menyebutkan kalau istrinya Batak KW, tapi begitu menyebut “Marpaung” rekanan bisnis yang tadinya alot jadi lebih melunak dan tiba-tiba banyak tertawa sambil menepuk-nepuk pundak adik ipar saya. Luar biasa memang kekuatan marga bagi orang Batak pada umumnya.
Namun, ini tak berlaku untuk lembaga negara. Ya, kebanyakan ASN sudah paham betul bahwa hubungan kekerabatan sebaiknya tidak dijadikan alasan untuk memuluskan urusan birokrasi. Bisa panjang urusannya kalau ketahuan, kan?
Saya pernah membuktikannya waktu masih SMA. Waktu itu ada cegatan (razia), lalu saya yang belum punya SIM terjaring razia. Saya ikuti pesan orang tua buat memberikan kartu nama saudara semarga yang jabatannya sudah lumayan saat keadaan terdesak. Sambil gemetaran saya pun memberikan kartu nama itu.
Bu Polwan bilang, “Ini apa maksudnya? Apa ini SIM kamu?”
Saya gelagapan menjawab, “Bukan, Bu. Maaf.”
Yah, saya pun diceramahi soal betapa memalukannya perbuatan saya. Ha-ha-ha, ya tapi nggak cuma saya kan yang berbuat dosa macam itu?
Hingga hari ini saya mengingat pesan Bu Polwan itu. Supaya tidak membawa-bawa nama belakang untuk melancarkan urusan-urusan terlebih yang berkaitan dengan birokrasi. Kadang kala memang bukannya jadi mulus malah jadi hancur lebur gara-gara sebut marga di situasi yang tidak tepat seperti pengalaman saya tadi.
Kalau ada untungnya menyandang marga, tentu juga ada ruginya. Nah, berikut ini 3 kerugian yang bisa terjadi karena menyandang marga.
#1 Rawan dianggap seburuk seseorang dengan marga yang sama yang track recordnya buruk
Dah jelas lah ini. Stereotip itu nyata. Apalagi marga dipahami sebagai nama keluarga. Tak heran kalau ada kejahatan yang pelakunya punya marga tertentu, punguannya (perkumpulannya) akan lekas-lekas mengeluarkan pernyataan mengecam perilaku buruk si anu. Ya ogah lah, kalau kena dampak buruk akibat perilaku buruk oknum yang semarga.
#2 Rawan diminta memberi pinjaman
Punya marga yang sama seperti menjadi jalan tol untuk mendapatkan pinjaman uang. Biasalah nanti membicarakan kampung halaman, merembet ke masa lalu, belok sikit memuji-muji sang kenalan yang marganya sama. Lalu, “Bang, boleh nggak kali ini aja aku minta tolong.” Bhaa… Eh, tapi terjadi di banyak suku lain juga ya. Hihihi… Soal utang memang universal ya, tak pandang suku, ras, dan golongan.
#3 Rawan dijodoh-jodohkan jika statusnya pariban
Nah ini, Lur. Jadi, pariban adalah anak dari adik ataupun kakak perempuan ayah. Atau anak dari kakak atau adik laki-laki ibu. Duh, ruwet ya. Jadi, pariban ini sepupu tapi harus anak dari saudara yang berbeda jenis kelamin dari ayah atau ibu kita. Duh, kok tetep ruwet. Ya, maap ya. Intinya, pariban ini adalah sosok yang dianggap sebagai jodoh terbaik untuk pemuda Batak. Dan tentu saja hampir semua generasi muda Batak males banget disuruh pacaran dengan paribannya. Ya, kalo bisa pacaran tu nyari di luar circle keluarga lah, ya? Mosok itu lagi, itu lagi.
Nah, kerugiannya ya gitu doang. Jelas lebih menguntungkan menyandang marga Batak. Maka meski KW, seorang keturunan Batak akan selalu bangga akan leluhurnya. Namun, buat saya yang nyaris tak paham sama sekali bahasa Batak, menyandang marga tetap saja adalah hal yang tidak mudah. Selain karena saya Batak KW, suara saya medok mBantul, wajah pun sangat nJawani.
Jangan-jangan kalau tetap pakai marga saat berkenalan malah disangka ngaku-ngaku Batak biar segala urusannya dipermudah. Trus, arti kalimat di awal tadi apa? Ya, nggak tau. Itu ucapan selamat buat Mas Rizky Prasetya yang baru saja menikah dengan wanita Batak. Horas! Selamat datang di klub ya, Ito Rizky!
BACA JUGA Orang Batak: Stereotip VS Kenyataan yang Sebenarnya dan tulisan Butet Rachmawati Sailenta Marpaung lainnya.