Bandung Memang Indah (Syarat dan Ketentuan Berlaku)

Bandung Memang Indah (Syarat dan Ketentuan Berlaku)

Jalan Layang Pasupati Bandung (Creativa Images/Shutterstock.com)

Sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, Bandung, sama halnya seperti Yogyakarta sering diromantisisasi oleh banyak orang. Mulai dari orang asing yang menjajah Indonesia, hingga rakyat jelata seperti kita. Sampai-sampai ada ungkapan legendaris, “Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum.”

Ungkapan tersebut saat ini dipampang secara jelas di kawasan ikonik Kota Bandung, yakni kawasan Asia Afrika. Buat yang belum tahu, ungkapan tersebut diungkapkan pertama kali oleh Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau akrab dipanggil M.A.W. Brouwer, seorang akademisi asal Belanda.

Ungkapan serupa kembali diungkap oleh salah satu seniman asal Bandung, Pidi Baiq lewat salah satu lagunya. “Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi”, yang dipampang berseberangan dengan kalimat M.A.W. Brouwer di kawasan Asia Afrika.

Penggalan kalimat tersebut pun dinyanyikan ulang oleh Danilla Riyadi sebagai soundtrack film Dilan yang semakin mengukuhkan romantisisasi Bandung yang sudah dikenal dunia selama berabad-abad.

Di era sosial media seperti saat ini, beredar banyak video singkat yang memperlihatkan betapa estetiknya Bandung, terutama sehabis hujan. Banyak orang luar berkomentar, “Wah, Bandung estetik ya kalau lagi hujan! Jadi pengin tinggal di Bandung!

Sebagai orang Bandung dari lahir, saya hanya bisa berucap, “Bandung memang estetik, MyLov. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku!”

Bandung estetik kalau lagi hujan itu hanya berlaku di daerah seperti Braga, Dago, Asia Afrika dan Jalan Riau saja. Pasalnya, daerah tersebut memang rindang dan banyak pepohonan. Banyak sekolah, restoran, hingga kantor pemerintahan maupun kantor swasta yang sudah berdiri di sana sejak masa Kolonial Belanda. Banyak juga rumah peninggalan orang Belanda maupun orang kaya Indonesia yang berdiri di sana. Infrastrukturnya juga mendukung banget. Makanya bisa dibilang estetik.

Coba kalau kalian main di daerah seperti Kopo, Mohamad Toha, Cibaduyut, Pasar Kordon, saya jamin lidah kalian tidak akan berujar seperti itu. Malah, kalian akan misuh-misuh mengeluarkan 100 makian.

Kenapa? Daerah tersebut sangatlah jauh dari kesan estetik sehabis hujan karena kemacetannya. Bukan hanya macet, daerah tersebut kerap kali diterjang banjir cileuncang, yakni sebuah istilah dalam bahasa Sunda untuk menggambarkan terjadinya genangan air di suatu tempat akibat terhambatnya pembuangan atau aliran air tersebut.

“Kalau lagi nggak hujan, gimana?”

Saat tidak hujan, daerah tersebut memang tidak semacet saat hujan turun. Tapi, bukan berarti estetik karena daerah itu jumlah pepohonan rindangnya tidak sebanyak daerah estetik yang saya sebutkan di atas, jadinya gersang banget. Udah gitu infrastrukturnya dari dulu sampai sekarang nggak ada perubahan sama sekali. Entah apa masalahnya, itu urusan pemerintah, bukan urusan saya.

“Berarti Bandung semrawut ya?”

Bisa dibilang, seperti itu, MyLov. Sejak zaman Kolonial Belanda, hanya “kawasan estetik” yang saya sebutkan di atas saja yang enak untuk ditempati. Kurang lebih, “kawasan estetik” memang hanya memiliki berjarak sejauh 5-6 kilometer dari pusat kotanya saja. Sangat mudah dijangkau oleh warga Bandung dengan menggunakan sepeda. Sebagian besar kota di Indonesia saat masa Kolonial Belanda memang seperti ini desainnya.

Teman-teman saya yang kuliah arsitektur atau planologi pun pernah bilang ke saya, Bandung itu dari awal memang didesain untuk destinasi wisata doang. Nggak cocok jadi kota metropolitan kayak Jakarta. Kalau mau kayak gitu, harus dihancurkan dan dibangun dari nol, tapi kan mustahil.

Makanya saat masih maba, tema-teman saya yang dari Jakarta misuh-misuh, “Di Bandung mah pusing naik mobil teh. Dikit-dikit lampu merah! Nggak kayak di Jakarta!” dan saat saya bekerja di Jakarta, saya jadi paham apa yang dimaksud teman-teman saya tersebut. Jalanan Bandung itu kecil-kecil, makanya dikit-dikit ketemu lampu merah. Udah gitu kendaraan bermotornya makin hari makin banyak, makanya macet banget. Sedari awal memang didesain untuk kota wisata doang, makanya jalanannya kecil-kecil.

Pemerintah Kolonial Belanda sempat berencana memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung, makanya sempat dibangun kantor pusat kereta api, kantor pusat pemerintahan, hingga kantor pusat Angkatan Darat di Cimahi. Sayangnya, rencana tersebut gagal karena Hindia Belanda keburu berpindah ke tangan Jepang, makanya jadi semrawut.

Jadi ungkapan “Bandung estetik ya kalau lagi hujan!” memang kurang tepat untuk diucapkan. Yang tepat, indah, tapi syarat dan ketentuan berlaku. Hanya “kawasan estetik” yang saya sebutkan di atas saja yang rindang dan sejuk. Yang lainnya mah, nggak.

Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Klaten, Kota Indah yang (Sialnya) Terjepit Jogja dan Solo

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version