Bandung dan Jogja perlu berbenah, jangan terus menerus bersembunyi di balik romantisasi.
Beberapa waktu lalu di X atau Twitter ramai unggahan mengenai jalanan Bandung yang begitu syahdu setelah hujan. Postingan itu menyertakan foto Jalanan Bandung dengan pepohonan rindang dengan aspal yang tampak basah sehabis hujan. Tentu postingan itu mengundang banyak like dan repost. Apalagi menggunakan narasi seputar rindu dan kangen.
Sebagai orang asli Bandung, saya sudah kenyang dengan narasi-narasi seperti itu. Memang, Bandung lebih nyaman untuk ditinggali daripada Jakarta. Namun, hal itu tidak menjadikan Bandung bebas masalah. Nyatanya, permasalahan Paris Van Java ini semakin banyak.
Sama-sama punya banyak PR
Masih lekat di ingatan, tahu lalu ramai pemberitaan mengenai sekumpulan anak muda yang mengeroyok pengguna jalan lain tanpa sebab yang jelas. Korban hanya bisa pasrah hingga terkapar di pinggir jalan.
Bicara soal kejahatan di jalan, Bandung memang tidak pernah aman. Sudah bukan rahasia geng motor di Bandung sungguh menyeramkan. Tidak sekadar mengintimidasi dari suara kenalpotnya yang bising, mereka tidak segan-segan menikam atau menganiaya siapa saja yang melintas di jalan.
Selain geng motor, persoalan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat ini adalah macet. Salah satu penulis Mojok, Yusuf El Hakim, pernah menuliskannya dalam artikel berjudul Surat Terbuka untuk Pemerintah Kota Bandung: Tolong Atasi Kemacetan di Bunderan Cibiru! Sebenarnya, selain Bunderan Ciburu masih ada titik-titik kemacetan lainnya. Jumlahnya juga semakin banyak dari tahun ke tahun.
Kemana perginya keluhan-keluhan itu? yang muncul dan viral di media sosial justru Bandung yang syahdu dan bikin kangen. Seolah-olah Kota Kembang ini baik-baik saja, padahal ya sekarat.
Kalau boleh mencari pembanding, nasib Bandung dan Jogja sebenarnya mirip. Sebagai warga Bandung yang pernah merantau ke Semarang, saya kerap mengunjungi Jogja karena jaraknya yang tidak begitu jauh. Setelah kunjungan demi kunjungan, Bandung dan Jogja sama-sama punya persoalan pelik di balik berbagai romantisasi.
Jogja juga sekarat di balik julukannya sebagai Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Pariwisata, Kota Toleransi, Kota Gudeg, Kota Bakpia dan masih banyak julukan positif lain. Sebutan-sebutan yang wah itu seolah-olah mengaburkan fakta bahwa hidup di Jogja semakin sulit. Asal tahu saja, harga tanah kian mahal, pengelolaan sampah yang kacau, kemacetan, klitih yang masih membayangi dan banyak persoalan lain.
Baca halaman selanjutnya: Stop meromantisasi …
Stop meromantisasi Bandung dan Jogja
Sudah sejak jauh-jauh hari saya memperkirakan, meromantisasi sebuah kota tidak ada manfaatnya, justru mempersulit sebuah kota untuk berkembang. Itulah Bandung dan Jogja. Persoalan-persoalan yang ada tertutupi oleh tawaran romantisme semu. Ujung-ujungnya, tidak ada perbaikan dan menjadi kota salah urus.
Saya rasa, masyarakat perlu lebih galak dalam melihat realita. Begitu juga dengan pemerintah setempat. Jangan malah menggunakan romantisasi untuk menghindari akar masalah.
Oke lah, kalau sebuah kota mencatatkan prestasi, kita bisa mengapresiasinya. Namun, secukupnya saja. Jangan berlarut-larut, lalu lupa bahwa ada banyak persoalan lain yang belum selesai.
Memangnya kalian mau setiap hari melewati jalanan yang syahdu, tapi was-was dihadang geng motor? atau hidup di Kota Pariwisata, tapi tidak sejahtera? Hal itu mungkin saja terjadi kalau meromantisasi Bandung dan Jogja terus berlanjut dan tidak mau mengakui dan menghadapi persoalan yang sebenarnya.
Penulis: Akbar Malik Adi Nugraha
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Saya Beruntung Nggak Pernah Tinggal di Kota Romantis seperti Jogja dan Bandung
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.