Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung punya sejarah panjang. Didirikan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1920 dengan nama Vliegveld Andir atau Lapangan Terbang Andir. Sempat diambil alih Jepang pada masa penjajahan Jepang, lalu diambil alih lagi oleh AURI (Angkatan Udara Indonesia) saat Indonesia merdeka, hingga akhirnya jadi bandara komersial pada 1973.
Nama Husein Sastranegara sendiri diambil dari nama seorang pilot militer AURI yang gugur pada saat latihan terbang di Yogyakarta 26 September 1946. Perubahan nama tersebut terjadi atas Surat Keputusan Nomor: 76/48/Pen.2/KS/52 tanggal 17 Agustus 1952 yang diteken oleh Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Sayangnya, dilansir dari Republika, mulai Oktober 2023 seluruh penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung dipindahkan ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka. Masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya yang ingin terbang ke berbagai daerah maupun luar negeri nantinya bisa memanfaatkan Tol Cisumdawu untuk menuju Bandara Kertajati.
Sejak saya lahir hingga sekarang, saya belum pernah naik pesawat dari bandara ini sekalipun. Saya juga belum pernah landing di bandara ini sama sekali. Bahkan, sebagian besar warga Bandung, termasuk sanak saudara, teman kuliah, hingga rekan kerja saya pun jarang banget yang berangkat dari bandara ini maupun tiba di Kota Bandung via bandara ini. Saya sih, milih ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Selain karena Pemerintah memutuskan untuk memindahkan seluruh penerbangan ke Kertajati, ada sejumlah faktor lain yang menjadi alasan kenapa bandara ini ditutup untuk penerbangan sipil.
Runway Bandara Husein Sastranegara yang terlalu pendek
Runway Bandara Husein Sastranegara bisa dikatakan pendek jika dibandingkan dengan Bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, dilansir dari Kompas, karena dikelilingi oleh pegunungan, hanya ada satu celah untuk keluar masuk, yaitu melalui celah Padalarang. Opsi penerbangan jadi terbatas, terlebih saat cuaca buruk.
Untuk pesawat-pesawat besar, mereka nggak bisa mendarat di sini karena runway-nya kecil banget. Makanya sejak dulu maskapai lebih memilih ngetem di Bandara Soekarno-Hatta sekalian yang jaraknya “hanya” beberapa jam perjalanan saja dari Kota Bandung.
Mau runway-nya diperpanjang juga nggak akan bisa karena letak bandara ini di tengah kota. Menggusur wilayah di sekitarnya juga nggak akan bisa. Selain terpentok wilayah permukiman warga yang agak mustahil untuk digusur, banyak gedung pemerintahan hingga hotel yang berdiri di sekelilingnya.
Baca halaman selanjutnya
Kertajati lebih menjangkau wilayah lain
Kertajati lebih menjangkau wilayah Jawa Barat yang lain
Sejak Bandara Kertajati diresmikan 2018 yang lalu, banyak masyarakat Kota Bandung, termasuk saya, yang berkata, “Mending ke Soekarno-Hatta sekalian atuh? Kertajati mah jauh. Waktu tempuhnya sama aja dengan ke Soetta?”
Mereka mungkin lupa, Jawa Barat bukan cuma Kota Bandung doang. Bandara Kertajati dibangun agar masyarakat Priangan Timur nggak usah jauh-jauh jika butuh pesawat.
Memang, akses jalan maupun transportasi umum menuju Bandara Kertajati belum sebagus Soekarno-Hatta. Tapi ya namanya juga proses. Saya yakin dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, akses jalan maupun transportasi umum menuju Bandara Kertajati dari Kota Bandung dan wilayah lainnya di Jawa Barat bisa lebih baik lagi. Perekonomian masyarakat yang bermukim di Kertajati dan sekitarnya pun berpotensi lebih baik seiring semakin ramainya bandara tersebut.
Masyarakat Kota Bandung pun harus bisa menerima hal tersebut meski menyedihkan. Pastinya penutupan bandara tersebut akan membuat masyarakat Kota Bandung yang punya kenangan khusus dengan bandara tersebut jadi melow. Apalagi bagi saya yang belum pernah naik pesawat atau landing dari bandara ini.
Harus diakui bahwa Bandara Husein Sastranegara memang harus pensiun dan berhenti beroperasi. Baiknya difokuskan untuk penerbangan militer saja. Biar bagaimanapun, tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk beroperasinya Bandara Husein Sastranegara.
Lagian, mau naik pesawat dari bandara mana pun, nggak jadi masalah sebenarnya sih. Semuanya sama saja. Penting itu satu: duitnya ada nggak?
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bandara Notohadinegoro Jember, Bandara Perintis yang Masih Kembang Kempis