Ketika membaca artikel berjudul “Riuh Rendah Mereka yang (Mengaku) Ateis”, saya terkesima dengan isinya. Tentu saja saya terkesima dengan argumen usang yang direproduksi berulang kali hingga tak kuat untuk mencernanya lagi. Argumen yang saya maksud ya tentang “orang nggak percaya Tuhan itu sebenernya cuma males ibadah”. Tepuk tangan dulu.
Sebelum saya melanjutkan, saya perlu bilang kalau saya bukan ateis. Nggak perlu juga nanya agama saya apa, toh saya hanya akan menjawabnya dengan senyum. Apa agama saya nggak ada kaitannya dengan argumen yang akan dibawakan. Hanya kebetulan saya sering berdiskusi dengan orang ateis dan kebetulan juga saya banyak membaca tentang hal itu.
Begini. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa orang dewasa di Amerika bertambah dari 2 persen ke angka 4 persen di tahun 2018-2019. Saya sih maklum kalau angkanya bakal nambah. Tentu saja bukan karena tren, tapi karena memang jaman yang makin progresif memberi ruang untuk manusia mengungkapkan pikiran mereka.
Mengatakan bahwa penambahan angka itu adalah sebuah tren menurut saya kok nggak masuk ya. Apa memangnya yang didapat dari tidak percaya dengan Tuhan, peningkatan ekonomi? Saya rasa mah nggak. Justru ketika orang akhirnya tahu bahwa Tuhan itu tidak ada, mereka mengalami goncangan batin yang nggak sepele. Saya rasa 2 persen orang Amerika tersebut tidak serta merta melawan kepercayaan batin yang mereka pegang sejak lama hanya untuk mengikuti tren.
Bayangkan saja, di Amerika sana tiba-tiba ada 2 persen penduduk yang berpikir “Guys, atheist is so cool, why don’t we become atheist too?”. Bayangin dulu aja betapa konyolnya pemikiran tersebut.
Tentang orang ateis yang misuh-misuh agama, saya pikir nggak harus melihat orang ateis saja sudah banyak orang beragama yang kecewa dengan polah beberapa oknum. Nggak perlu dibahas, ujungnya mau nyalahin komunis kan?
Hehe nggak, saya bercanda.
Tapi kita perlu sepakat dulu apa itu ateis. Ateis itu sebenarnya sederhana: nggak percaya Tuhan, titik. Orang-orang yang tidak percaya Tuhan tidak akan mengurusi ritus-ritus dan hukum agama. Mereka menjalani hidup sama seperti orang beragama. Mereka makan, minum, berak, bayar pajak, sesekali minum kopi, lalu tidur ketika ngantuk.
Penyebab mereka jadi nggak percaya Tuhan ya banyak. Meninggalkan Tuhan nggak melulu untuk mencari kebenaran hakiki. Bisa jadi orang-orang yang nggak percaya Tuhan itu nggak mengejar apa-apa. Wong ya hidup di sistem negara dan hukum yang sama, punya susunan biologis yang sama, jadinya ya nggak spesial-spesial amat.
Nah, kalau kalian nemu ateis yang isinya ngolok-ngolok agama, orang kayak gitu sebutannya antiteis. Antiteis pasti ateis, tapi tidak berlaku sebaliknya. Kata orang-orang ateis yang saya kenal, mereka nggak ngurus sama antiteis. Banyak orang ateis yang sengit sama polah Richard Dawkins, antiteis yang diagung-agungkan banyak orang.
Jadi intinya orang-orang ateis itu simply nggak percaya Tuhan, titik.
Argumen “orang nggak percaya Tuhan itu sebenernya cuma males ibadah” itu saya rasa sudah keliru ditanyakan dari awal. Bagaimana bisa orang yang tidak percaya ritus, doa, ibadah, dan kekuatan dari Tuhan, bahkan eksistensi Tuhan itu, tidak malas untuk beribadah?
Ya jelas lah. Wong mereka nggak percaya sama Tuhan, kok ditanya males ibadah apa nggak. Justru kalau mereka nggak males ibadah malah aneh. Ngapain sholat sama ke gereja kalau faith aja nggak punya?
Saya justru heran dengan banyak orang yang bersikeras untuk membenarkan bahwa seseorang menjadi ateis hanya karena males ibadah. Untungnya di mana? Agama tak akan kehilangan umatnya semudah itu. Satu, dua, seratus orang memilih tidak percaya tak akan meruntuhkan keagungan agama itu sendiri.
Alih-alih mencoba menemukan Tuhan dalam setiap helai nafas, atau berusaha mendengarkan nurani ketika ingin berbuat jahat, kenapa harus ngurusin orang yang nggak percaya?
Saya rasa munculnya artikel tersebut justru jadi kritik untuk diri penulis. Agama tak akan serta merta rendah hanya karena teriakan orang-orang tidak signifikan. Kalau mau menunjukkan kebaikan agama, jadilah umat yang benar-benar memancarkan sinar agama itu. Beri makan perut orang yang lapar, pastikan temanmu tetap hidup meski ingin bunuh diri, doakan orang-orang yang sedih, doakan orang-orang yang bingung agar tetap menemukan jalan.
Itu jauh lebih baik daripada mengurusi orang yang tak lagi percaya Tuhan. Saudara seiman saja masih butuh dibantu, ha kok ngurus wong sing prek.
Saya ingin menutup artikel ini dengan satu pertanyaan: memangnya kenapa kalau jadi ateis karena males ibadah?
BACA JUGA Mobile Legends Kan Game Strategi, Wajar Dong Kalau Mainnya Diatur dan artikel Rizky Prasetya yang lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.