Ketika tersiar kabar libur Iduladha tahun ini lumayan panjang, jujur saja saya merasa biasa aja. Lha gimana, cuti bersama yang ditetapkan pemerintah itu sering tak dirasakan oleh rakyat Indonesia yang kebetulan jadi karyawan swasta.
Sejak perusahaan saya memutuskan untuk meniadakan cuti bersama di momen Nyepi dan Imlek, saya tidak berharap apa pun pada pemberitaan cuti bersama Idul Adha yang kebetulan terjadi dua hari. Soalnya ya, sama saja, saya tetap masuk, ketimbang jatah cuti kepotong.
Keputusan aneh
Surat edaran soal libur hari raya Iduladha akhirnya keluar di perusahaan saya mengais rezeki. Seperti pekiraan semula, libur hanya diberlakukan pada tanggal 29 Juni 2023. Sementara yang punya keyakinan berbeda soal penentuan hari raya yang kebetulan jatuh tanggal 28 Juni hanya diberikan kompensasi masuk setelah jam 9 pagi.
Uniknya, bagi yang ditugasi jadi panitia kurban “dipaksa” untuk mengambil cuti pribadi atau izin tidak masuk dengan potongan gaji harian. Perusahaan tidak sempat menganalisis durasi salat Id setiap daerah beda-beda. Kelewat jam 9, sistem otomatis memutuskan karyawan tidak masuk.
Padahal ada salat id yang dikotbahi dan diimami orang super saleh yang bisa selesai sampai jam 10 malam. Belum lagi durasi perjalanan tempat salat ke rumah dan rumah ke kantor. Sementara karyawan di perusahaan saya banyak yang domisili luar kota.
Pemerintah jangan banyak bicara
Saya tidak paham apakah keputusan bersama tiga menteri tersebut diarahkan agar dipublikasikan media atau hanya keputusan internal level kepemerintahan. Jelas isu penambahan cuti bersama menyakiti hati karyawan swasta. Ibarat ditawari makanan enak, tapi tidak boleh dimakan.
Jika tidak punya kapasitas menekan perusahaan selain milik pemerintah untuk sepaham dengan kebijakan, seharusnya pemerintah merahasiakan kebijakan yang tidak semua rakyat (buruh) menikmati. Bayangkan kalau isu bergulir dan buruh swasta mengagendakan banyak hal, sementara keputusan pabrik ternyata tidak meniadakan cuti bersama. Rugi waktu, uang, pikiran, dan harapan.
Tapi jujur aja ini aneh. Kalau tahu bahwa kemungkinan besar perusahaan swasta tidak memberi libur yang sama dengan perusahaan negeri, kenapa nggak bikin kebijakan yang mewajibkan mereka untuk menaati?
Bayangin ngasih hari libur Iduladha panjang dengan harapan ekonomi membaik, tapi yang dikasih cuma golongan tertentu aja. Nggak masuk akal.
Kalau perlu, nggak usah ada cuti bersama!
Kalau mau adil, ya seharusnya tidak ada cuti bersama sekalian. Sama-sama susah dan sama-sama kerja seperti harapan Jokowi, Kerja-Kerja-Kerja, bukan Libur-Libur-Libur. Masak perihal cuti bersama juga kami tidak bisa menikmati.
Pak, Bu, jajaran menteri yang terhormat, kami itu hanya butuh keadilan yang beradab. Kami tidak ada gaji ke-13, cuti pribadi hanya 6 kali, UMR masih memprihatinkan, masak harus diiming-imingi liburan yang tidak bisa kami rasakan. Apa iya intensitas kerja ASN sekeras itu sampai butuh banyak cuti bersama? Apa iya intensitas karyawan swasta itu cuma ngopa-ngopi yang tidak butuh cuti bersama?
Mau dilihat dari sisi mana pun, aturan libur Iduladha kali ini memang tak bisa dicerna. Pegawai negeri libur, tapi karyawan swasta sesuai kesepakatan dengan bosnya saja. Dan herannya, pemerintah juga nggak ada gimana gitu sama fakta-fakta kayak gini.
Ah, beginilah rasanya jadi rakyat swasta.
Penulis: Joko Yuliyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Cuti Tambahan yang Seharusnya Ada untuk Mendukung Jiwa-jiwa Pekerja Rapuh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.