“Kalau saudara-saudara mengaku atau menamakan dirimu anak Bung Karno, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri!”
— Bung Karno
Dari pidato Sang Proklamator kita bisa ambil kesimpulan sederhana bahwa Bung Karno adalah orang kidal! Logika apa sih yang dipakai oleh orang-orang yang anti kiri, sehingga membuat mereka “ringan tangan” main sita buku-buku yang ‘katanya’ berpaham kiri.
Berawal dari penyitaan beberapa buku kiri oleh aparat beberapa waktu yang lalu, tampaknya fenomena sita-menyita buku merembet juga dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menamai organisasi Brigade Muslim Indonesia. Saya tidak begitu paham, apakah harus mengatakan mereka-mereka ini, orang-orang muslim kanan atau muslim kiri?
Sejauh yang saya pahami, dalam islam wahyu pertama diturunkan kepada nabi adalah “bacalah” bukan “sitalah”. Lha ini bawa-bawa takbir dan kalimat Tuhan, tetapi isi otak mereka tak mencerminkan otak cerdas ciptaan Tuhan. Kalaupun ide tentang Marxisme-Leninisme dianggap sebagai ancaman, apa salahnya sih dibalas dengan pemikiran dan argumentasi? Mengadakan forum terbuka lalu dibedah dan didiskusikan, bukan malah main geledah, menghamba kepada ketakutan yang berlebihan hingga tak sadar mereka semakin memperpanjang barisan kebodohan.
Tan Malaka dalam Madilog berkata, Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. Tak perlu dinafikan bahwa buku adalah jendela dunia, sedangkan menyita buku sama halnya dengan menutup paksa jendela itu. Pun sama artinya negara ini sepakat untuk menghambat akses ilmu pengetahuan alias negara ini mau terus menerus menjadi negara tertinggal (?).
Tokoh bangsa mana yang tak lepas dari peran buku? Ir. Soekarno yang terkenal sebagai diplomat ulung tak perlu keliling dunia untuk berkenalan dengan Marxisme-Leninisme, Komunisme, Libertanian hingga ajaran Islam, cukup dengan beberapa buah buku kiri macam Das Kapital atau Manifesto Komunis dari pikirannya sudah muncul istilah Marhaenisme hingga Nasakom. Atau seperti Bung Hatta yang bahkan rela untuk dipenjara asal bersama dengan buku. Atau Tan Malaka, yang rela mengurangi jatah makannya untuk sekedar membeli buku. Atau tidak mau karena referensi saya masih berbau kiri? Islam dalam Alquran sudah mengajarkan untuk iqra’ yakni bacalah. Sekali lagi “bacalah” bukan “sitalah”.
Saya cukup kesal juga dengan kelakuan para aktivis penyita buku ini. Pasalnya alasan yang mereka lontarkan sangat tidak masuk akal dan di luar nalar saya. Semisal kita lihat video yang mereka rekam dengan bangga itu, dalam video ada satu buku karya Frans Magnus Susseno yang bahkan mengkritik habis-habisan pikiran Marxisme-Leninisme, kok bisa-bisanya ikutan mereka sita.
Saya jadi bingung, jangan-jangan mereka tidak paham mana yang komunis dan mana yang bukan komunis. Lagian sampai sekarang pun bukannya tidak ada kejelasan ya—pengelompokan buku-buku yang dianggap mengandung paham Marxisme dan tidak Marxisme itu indikatornya apa? Apa hanya sekedar lihat covernya saja? Kalau merah berarti kiri? Kalau ada lambang bintang 5 berarti kiri? Atau kalau ada tulisan Karl Marxnya? Lha, buku sosiologi di SMA juga pengertian sosiologi masih pakai definisinya Karl Marx, wahai bapak-bapak yang baik hati dan tidak sombong. hashhh~
Sita ya sita, tapi cerdas dikit kek. Saya yakin kalo seandainya Karl Marx liat ini dia akan tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan organisasi yang menamakan dirinya sebagai Islam tapi garis kiwo mentok ini. Jangankan Karl Marx—saya saja yang nggak begitu paham sama isi buku serumit Das Kapital dan Manifesto Komunis yang katanya sesat dan tidak patut diterapkan di Indonesia itu saja tertawa terpingkal-pingkal kok liat video lucunya—maksudnya video takbir dan penggeledahan buku di Toko besar G sebelah.
Padahal nih ya, seberapa yakin penggeledahan buku itu bisa menghapus ajaran Marxisme dan Komunisme? Tentu tidak semudah itu, Ferguso~
Benar kata Plato bahwa sesuatu yang akan tetap kekal dan tak akan bisa dilenyapkan itu adalah ide. Begituah ajaran Marxisme-Leninisme semakin dinyatakan sebagai ajaran terlarang, orang-orang akan semakin penasaran sama isi bukunya, ia akan tetap kekal dalam catatan sejarah, orang-orang semakin bertanya-tanya, apakah sebegitu hebatnya pemikiran si Karl Marx dan Lenin hingga aparat dan organisasi Islam Garis Kiwo Mentok itu begitu ketakutan? Bahkan konon katanya pemerintah segarang orde baru takut juga sama pemikiran-pemikiran mereka.
Lagi-lagi, si Karl Marx bakalan mesem-mesem—karena semakin pemikirannya dianggap berbahaya, ternyata semakin banyak orang yang penasaran dengan karyanya, semakin laris manis, buku kiri akan tetap berlipat ganda. uwuwu~
Jikapun ajaran Marxisme dan Sosialisme akan dihilangkan, satu-satunya cara adalah menghilangkan segala bentuk kemiskinan, menyejahterakan petani desa, memberikan makan anak-anak nelayan, menyekolahkan anak-anak buruh, dan menyelesaikan masalah ketimpangan. Maka Marxisme-Sosialisme akan hilang sebab dari sanalah, dari berbagai ketimpangan-ketimpangan yang menganga, Marxisme dan Sosialisme dengan sendirinya menuding-nuding praktik kapitalisme. Dari kemiskinan, ketimpangan, dan kelas-kelas sosial itu sebenarnya Marxisme-Sosialisme bersemai.
Akhirnya saya akan berpikir positif, bahwa orang-orang ini menyita buku untuk mengamalkan ajaran Karl Marx melawan kapitalisme di Toko G. Sepulang mereka dari toko itu, saya berharap, buku-buku yang mereka sita akan dibagikan untuk kaum-kaum yang membutuhkan hingga akhirnya setiap orang punya akses yang sama terhadap literasi. Seperti halnya cita-cita Karl Marx—sama rasa sama rata, begitu juga dengan akses literasi yang harus sosialis sama rata sama rasa. Semoga yhaaa~