Bagaimana Rasanya Jadi Santri yang Pondoknya Dekat dengan Rumah?

Empat tahun saya menjadi santri salah satu pesantren di Madura. Empat tahun saya belajar menahan kangen terhadap kampung, rumah, dan orang tua. Sebab terpisah jarak lebih kurang 385,8 km dari mereka. Dan maha benar Jokpin dengan baris puisinya, “Kangen adalah jalan menuju senewen.” Saat dilanda kangen, sering saya senewan.

Ketika menyaksikan fakta yang berkebalikan dengan apa yang saya alami, saya tambah senewen. Kala itu, saya saksikan kakak kelas yang setiap hari bisa pulang sebab antara rumahnya dan lokasi pondok hanya dipisah aspal jalan raya. Setiap hari ia bisa berjumpa dengan orang tua. Menyantap masakan bunda. Serta mungkin menggunakan fasilitas rumahan lainnya. Sementara saya, yang kalau dari rumah numpang bis Akas IV butuh waktu sekitar 8-10 jam untuk tiba di depan gerbang pondok, mustahil melakukan hal yang sama. Dalam hati saya bergumam, “Duhai, betapa bahagianya jadi santri seperti dia!”

Masa-masa itu telah berlalu. Karena sejak tamat dari pondok itu, saya tak lagi ke mana-mana. Menetap sekampung bersama orang tua dan sanak keluarga. Alih-alih kuliah di luar kota, saya justru masuk kampus yang jaraknya kurang lebih hanya 300 meter dari rumah. Sebuah kampus yang berada di bawah naungan pesantren; yang mewajibkan seluruh mahasiswanya nyantri; yang karenanya mahasiswanya dijuluki mahasantri. Saya pun hampir tidak pernah lagi merasakan beratnya menahan rindu.

Hingga hari ini, sudah lebih satu tahun setengah saya terdaftar sebagai santri di lembaga tersebut. Hari-hari saya lalui sebagai mahasantri; nyantri plus kuliah. Hanya saja, pengalaman mondok kali ini amat berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini posisi saya nyaris sama dengan kakak kelas yang saya singgung di atas. Saya bisa setiap hari pulang. Bertemu orang tua. Makan masakan rumah dan menikmati fasilitas rumah lainnya. Bedanya, beliau adalah seorang Gus, putera Kiai pesantren tersebut. Sementara, saya adalah anak petani.

Seperti yang saya tulis dalam judul, pertanyaannya adalah bagaimana rasanya jadi santri yang pondoknya dekat dengan rumah?

Kamu boleh berspekulasi, sebagaimana saya dalam kisah di atas, jawabannya adalah “bahagia”. Di sini, penting saya kemukakan, semuanya saya lakukan dengan cara melanggar aturan pesantren. Kalau toh saya dibilang bahagia, tentulah hanya kebahagian semu belaka. Dan rasanya, kita akan sepakat, kebanyakan hal yang semu walaupun terasa manis di awal, tidak sedikit yang justru berakhir dengan kepahitan.

Boleh jadi, awalnya, kamu bahagia mendapat pasangan yang perhatian dan sayangnya melebihi induk ayam pada anaknya. Namun, bila suatu kelak, kau temukan si doi sedang berbuat serong dengan orang lain, lantas di hadapanmu dengan jujur ia mengaku bahwa perhatiannya padamu bukan karena ia mencintaimu, melainkan satu dua hal yang lain, niscaya kamu akan ambyar seambyar-ambyarnya. Cidro secidro-cidronya.

Bila sakit digigit serangga atau semut durasinya ibarat kasih anak yang hanya sepanjang galah. Maka sakit digigit cinta semu lebih mirip kasih ibu yang rentang waktunya sepanjang masa. Begitulah kepalsuan.

Saya merasa khawatir akan mendapat kepahitan serupa dalam bentuk yang berbeda. Hantu paling mengerikan yang sering gentayangan dalam kepala adalah surat pemberhentian dari pihak lembaga sebagai ganjaran atas ketidakpatuhan saya. Saya pun sering mengalami konflik batin. Bahasa kerennya, disonansi kognitif. Semacam perasaan tidak nyaman yang timbul karena sikap dan perilaku tidak konsekuen. Konon, gejala ini bila dibiarkan berlarut-larut bisa menyebab stres, bahkan depresi. (Saya tak tahu apakah Gus yang bersangkutan juga mengalami keadaan demikian. Namun, bila benar, salahlah spekulasi saya. Kepada Allah saya beristigfar. Kepada sang Gus, saya memohon pemaafan).

Betapa tidak, sampai catatan ini ditulis, saya masih yakin, perbuatan saya salah adanya secara aturan pesantren. Nyatanya, hingga saat catatan ini ditulis pula, saya masih sering pulang. Parahnya lagi, saya sering melakukan rasionalisasi atas tindakan saya yang jelas-jelas salah. Umpama dengan membisiki diri: “Wajarlah saya sering pulang. Lha, kan rumah saya dekat. Saya kira santri-santri yang lain akan melakukan perbuatan yang sama bila mereka berada di posisi saya.”

Ketika ada yang mengingatkan agar saya tidak sering pulang karena takut ketinggalan materi, absensi dan sebagainya, dalam hati terkadang saya menyangkal. “Nggak, kok. Walaupun sering pulang, nilai ujian saya masih standar. Saya tidak pernah berurusan dengan bagian akademik karena masalah absensi.” Termasuk saat ditanya kenapa saya sering pulang. Sering saya beralasan ini dan itu. Misalnya, “Di rumah, saya sedang menyelesaikan tulisan untuk Terminal Mojok.”

Konon, rasionalisasi yang berulang-ulang akan menimbulkan “norma baru” dalam diri pelakunya (moral disengagement). Pada gilirannya, ia sama sekali akan mengubah sikap pelakunya. Detik ini saya masih meyakini perbuatan saya salah. Akan tetapi besok, lusa, atau seterusnya, seiring dengan rasionalisasi yang terus diulang-ulang, bukan tidak mungkin saya akan menganggapnya sebagai kewajaran.

Pada titik ini, saya akan kehilangan alasan untuk merasa bersalah. Sialnya lagi, saya tidak sendiri. Saya punya 3 karib yang posisinya persis seperti saya. Kami sama dari segi sering pulang. Karena rumah masing-masing kami memang berada di sekitar kompleks pesantren. Lagi-lagi yang menjadi distingsi di antara kami adalah soal “pangkat”. Kawan yang satu adalah putera dosen senior yang disegani di pesantren. Dua orang sisanya adalah Gus (ahlul bait pesantren tempat kami mondok).

Kenapa sial? Karena keadaan ini memungkinkan kami bersinergi dan membetuk semacam organisasi. Organisasi adalah ladang gembur untuk menanam gagasan. Buah rasionalisasi tindak pelanggaran, berupa sikap yang menyimpang dari konsensus pesantren akan sangat subur bila terus dipelihara dalam lingkup komunitas orang-orang yang senasib sepenanggungan. Bila sampai ini terjadi, celakalah kami. Kami berlindung kepada-Mu dari godaan gagasan yang terkutuk.

Begitulah kira-kira rasanya jadi santri yang pondoknya dekat dengan rumah. Mengapa hanya kira-kira? Karena jarak antara rasa dan kata tidak lebih sederhana dibanding jarak antara mencintai dan dicintai. Soal selamat dari rindu, santri macam saya boleh dibilang lebih beruntung. Walakin, ia hanya satu dari sekian bekal menuju hidup yang lebih berbahagia. Masih banyak keselamatan lain yang mesti diperjuangkan.

Selamat dari bayang-bayang drop-out dan konflik batin yang tak berkesudahan, sudah barang tentu, sangat layak untuk diperjuangkan. Teruntuk kawan-kawan santri yang pondoknya jauh dari rumah, bersyukurlah. Mohon maaf kalau-kalau keseharian kami membuat kalian iri, ya. Terakhir dan terkhusus buat para redaktur, tegakah kalian menolak tulisan orang yang sedang mengalami konflik batin sedemikian rupa? Maka tayangkanlah. Hahaha.

BACA JUGA Sudah Lulus Kuliah, Kok Masih Harus Ikut Wisuda? atau tulisan Saifir Rohman lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version