Sebetulnya, saya nggak habis pikir baca komentar netizen, memang apa salahnya kalau Babe Cabiita dan Marshel jadi brand ambassador MS Glow? Keadilan sosial dan akal sehat sedang berusaha ditegakkan di sini. Kenapa ramai diprotes, sih? Selama ini keadilan sosial hanya ditujukan pada seluruh rakyat good looking Indonesia. Bagi rakyat yang nggak good looking, pilihannya hanya berpura-pura santuy.
Sudah dijelaskan sama pendiri MS Glow for Men, Gilang Widya Pramana, “Memang setiap orang memiliki standarnya sendiri, tetapi tidak dapat menjelekkan standar orang lain. Karena, standar kecantikan setiap orang berbeda dan tidak bisa disamaratakan.”
MS Glow For Men sebagai brand lokal percaya bahwa paras seseorang bukan hal yang utama. Dan setiap orang, siapa pun itu, tetap memiliki hak untuk merawat diri. “MS Glow For Men menunjuk Babe dan Marshel yang bukan model biasa sebagai brand ambassador memang memiliki tujuan agar masyarakat lebih percaya dengan diri sendiri, lebih bersyukur, dan bisa menjadi diri sendiri,” jelas Gilang.
Penjelasan MS Glow menyiratkan ada awareness tentang keragaman fisik orang Indonesia yang beraneka suku bangsa dan pentingnya membangun self-esteem konsumen. Babe dan Marshel jadi sosok yang realistis sekaligus idealis bagi MS Glow For Men. Pasalnya, mereka membawa pesan dua isu penting sekaligus.
Isu #1 Keragaman (fisik) laki-laki Indonesia
Babe yang kelahiran Medan, jelas tidak mungkin bisa terlihat seperti orang yang terlahir sebagai ras Kaukasia di Eropa. Secanggih apa pun skincare yang ia pakai. Marshel yang lahir di Tanjung Priok pun nggak akan pernah terlihat seperti Song Kang si kupu-kupu dalam drama Nevertheless. Lah wong, beda ras. Di Indonesia, lebih banyak laki-laki seperti Babe dan Marshel ketimbang yang berwajah Kaukasia dan penampakannya seperti Song Kang, betul?
Kata kuncinya di sini adalah keterwakilan. Memilih brand ambassador dan model yang lebih realistis dan mewakili keragaman ini sebenarnya sedang jadi tren sekarang.
Belakangan Victoria Secret melakukan sebuah terobosan terkait standar kecantikan dengan mengajak model plus size, kulit berwarna, dan transgender. Victoria Secret mengalihkan fokus pada apa yang diinginkan dan dibutuhkan wanita. Terobosan serupa juga dilakukan oleh iklan Dove “rambut aku kata aku” yang menampilkan ragam tampilan perempuan di iklan produknya. Dunia industri fesyen dan kecantikan, mulai berusaha lebih manusiawi.
Boleh saja punya preferensi (personal taste) di urusan penampilan terkait ras atau suku tertentu. Akan tetapi, berhak untuk memiliki preferensi tersebut bukan berarti berhak untuk mengabaikan keragaman dan menghujat orang lain yang dianggap nggak memenuhi standar “cakep” sesuai preferensi kita.
Sesekali kita perlu bertanya, jangan-jangan preferensi dan standar kita soal penampilan dipengaruhi oleh mental inferior sebagai bangsa yang pernah terjajah? Wah, kalau benar seperti itu, berarti orang Indonesia tertimpa sial dua kali: digencet kapitalisme plus menganggap bangsa lain lebih kece.
Isu #2 Body positivity
Faktanya, produk kecantikan dan perawatan tubuh selama bertahun-tahun, memang menimbulkan ekses kontruksi realitas sosial. Membangun batasan pada definisi tertentu seperti cantik, ganteng, normal, abnormal, dan sebagainya.
Pada rentang Januari–Februari 2021, Unilever menggelar survei dengan 10 ribu responden di 9 negara yaitu Brazil, China, India, Indonesia, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Seikat. Hasilnya, 74% responden ingin industri kecantikan tidak hanya membuat pengguna terlihat lebih baik, tapi juga merasa lebih baik. Namun, fakta dalam survei menyebutkan bahwa sebanyak 56% responden merasa industri kecantikan dan perawatan tubuh membuat sebagian orang merasa dikecualikan karena ada bias dalam deskripsi produk.
Alih-alih membuat konsumen memahami manfaat dari produk, narasi yang disampaikan dalam deskripsi produk malah membuat konsumen jadi membenci kondisi fisiknya. Lantaran ia merasa tidak memenuhi standar.
Produk kecantikan dan perawatan tubuh idealnya membantu konsumen mencapai penerimaan atas ketidaksempurnaan diri. Produk yang paham dengan kondisi dan permasalahan konsumen jelas lebih layak dipakai ketimbang produk yang semena-mena menghakimi kondisi fisik orang lain. Itulah pesan (sponsor) yang sedang berusaha disampaikan ke publik oleh MS Glow saat ini.
Simpelnya gini, deh, mau pakai pembersih muka yang bintang iklannya Cristiano Ronaldo (misalnya) sampai 20 kali per hari pun nggak akan bisa membuat wajahmu berubah seperti Cristiano Ronaldo. Jadi kayak Cristiano Ronaldo, bukan hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan merawat diri. Pembersih muka dipakai untuk membersihkan muka, titik.
Kembali soal Babe Cabiita dan Marshel yang jadi brand ambassador sebuah produk perawatan wajah, seharusnya adalah sebuah hal yang patut dirayakan. Tuntutan memasukkan nilai-nilai keragaman dan inklusivitas dalam pemilihan model serta brand ambassador produk kecantikan dan perawatan tubuh perlu terus disuarakan. Tentu saja, supaya merek dagang dan industri juga memperhatikan isu sosial di masyarakat yang menjadi konsumennya.
BACA JUGA Skincare Rajin tapi Nggak Ada Efeknya? Hmmm, Pasti Ada yang Salah dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.