Tempo hari seorang teman mengirimkan tautan berita melalui grup Whatsapp. Iya, grup WhatsApp yang merupakan sumber segala macam hoax itu. Yang katanya juga membocorkan data-data penggunanya koyo kowe-kowe kuwi. Dia memberikan preambule, “Ati-ati lurd, kiamat sudah dekat”, sebelum membagikan tautan berita. Judul beritanya mayan menarik buat jadi clickbait: Akibat Maraknya Tambang, Genderuwo di Tuban Terancam Punah. Di bawahnya ada foto hutan dengan preset yang kelam. Menurut caption, foto itu adalah ilustrasi hutan angker di Jawa Timur. Bulu kuduk saya langsung bergidik melihatnya. Ngeri wes pokoke, tenan ra ngapusi.
Saya membaca artikel tersebut dengan seksama, kata demi kata, tidak boleh ada yang terlewat. Dalam artikel tersebut diuraikan bahwa para genderuwo sudah tidak punya rumah gara-gara tempat tinggalnya dijadikan tambang. Setelah selesai membaca, kekhawatiran saya jadi meningkat. Benar, kiamat sudah dekat. Saya jadi ngeri membayangkan dampak yang mungkin muncul jika genderuwo benar-benar punah, hilang dari muka Bumi.
Lho kok jadi serius gini bahas genderuwo? Lha ya gimana nggak serius. Sudah bukan rahasia lho kalau masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, punya banyak kearifan lokal terkait dengan dedemit. Kalau Anda memang masyarakat lokal asli—termasuk Jakarta ya, jigur ik—Anda pasti bisa menyebutkan minimal satu pantangan dan efeknya jika dilanggar.
Jangan pipis di bawah pohon besar, nanti manukmu bisa bengkak. Jangan keluar rumah saat adzan magrib, saat sandekala, nanti diculik wewe gombel. Jangan pergi ke Pantai Selatan pakai baju hijau, nanti dibawa sama Nyi Roro Kidul. Jangan makan sambil tiduran, nanti berubah jadi ular. Dan masih banyak lagi jangan-jangan lainnya. Sungguh hidup yang penuh ancaman.
Lalu hubungannya apa sama berita genderuwo tadi? Who lha ya jelas ada to yo, gitu aja kok nggak paham. Kalau saya egois, sakjane bisa saja ta jawab, “Ora kabeh-kabeh kowe kudu ngerti”, tapi ini sangat penting untuk saya utarakan supaya tidak terjadi kekacauan di muka Bumi, khususnya di masyarakat kita yang sudah madani plus four point zero ini.
Saya ambil contoh ya. Pertama, punahnya para dedemit dapat menjadikan masyarakat kita tidak lagi taat dan jadi seenaknya sendiri. Mereka akan memulai kebiasaan lama, buang air kecil di bawah pohon besar. Kenapa kok harus pohon besar? Ya biar manukmu iku nggak kelihatan lah. Nek pipis di bawah pohon kates, apa yang mau mbok tutupi?
Akibatnya apa? Selain bisnis toilet umum di SPBU jadi nggak laris, tentu saja kualitas air yang biasa kita pakai mandi, masak, nyuci juga bisa terganggu. Kok bisa? Di bawah pohon besar itu biasanya ada mata air, kalau kamu pipis di mata air njuk gimana kira-kira? Tapi, kan kita kalau cuma dikasih tahu gitu ya tetep bakal ngeyel. Beda kalau diancam jadi bengkak.
Kedua, punahnya dedemit—termasuk genderuwo—dapat memicu sepinya masjid, putus sekolah, dan yang paling ekstrem, retaknya mahligai rumah tangga. Coba Anda bayangkan, alasan valid apa yang bisa digunakan untuk melarang orang keluar rumah dan beraktifitas saat magrib? Nggak ada. Apalagi bagi kawula muda dan aktivis, semakin ngawu-awu le kelayapan. YOLO man!
Masjid-masjid bisa jadi makin maju shafnya. Saat magrib, semua orang masih di warung kopi, di pantai, sibuk memuja senja. Tidak ada lagi kehangatan dalam rumah tangga. Semua anggota keluarga sibuk dengan urusannya masing-masing di luar rumah. Pukul enam sore lampu rumah belum nyala, program wajib belajar 7-9 malam muk lamis. Rumah cuma buat numpang tidur.
Ketiga, ketiadaan dedemit berpotensi menambah banyaknya korban jiwa yang terseret arus balik alias rip current ketika bermain air di pantai selatan. Di Jogja, wisatawan yang berkunjung di pantai Parangtritis, Parangkusumo, dan Depok itu luar biasa lho! Tercatat ada lebih dari 2,7 juta menungso yang mengunjungi Parangtritis pada 2017. Bisa jadi tugas tim SAR akan makin berat, mencari dan menolong orang-orang nguweyel yang terbawa arus balik. Apalagi kalau mereka pada pakai baju hijau.
Bayangkan saja, dari foto udara yang diambil oleh Badan Informasi Geospasial, pada bulan Februari 2020 ada setidaknya 20 titik lokasi arus balik di kawasan Parangtritis, di pantai yang bentuknya seperti bulan sabit. Dan itu lokasinya bisa berubah tergantung musim. Bukan musim mangga atau musim durian jigur eak. Tapi, musim Barat ketika angin bertiup dari utara dan musim timur ketika angin bertiup dari Australia. Lak yo blaik to…
Ketika masih ada dedemit, pengunjung pantai tentunya punya alasan logis bin rasional untuk tidak nekat mandi dan memakai baju hijau di pantai. Kalau terbawa arus balik kan jadi muk ngrepoti tim SAR. Rumangsanya kenapa kok nggak boleh pakai hijau di pantai selatan? Ya biar gampang le nyari kalau kalian terbawa arus balik. Itu pelampung warnanya oranye bukan cuma buat gaya-gayaan! Hih, gemes aku tu.
Jadi gimana? Udah nggak bisa ketawa melihat persoalan punahnya dedemit ini kan? Udah nggak menganggap ini sebagai cuma lelucon bapack-bapack di WA grup kan? Kandyani og, ancaman serius ini. Jangan sampai hidup jadi kacau balau gara-gara nggak ada dedemit. Masyarakat kita masih butuh cerita-cerita dan ancaman dedemit untuk jadi lebih tertib menuju Indonesia Emas 2045! Save dedemit for a better life!
BACA JUGA Kok Bisa ya Arwah di Film Horor Itu pada Sakti?