Sejak PBESI didirikan di awal tahun 2020, saya sebenarnya cukup skeptis dengan kemampuan PBESI untuk mengikuti dinamika esports tanah air, Asia, bahkan dunia.
Sebagai seorang gamer, saya memang sering berbeda pandangan dengan sahabat sehobi ataupun netizen kebanyakan. Ketika kebanyakan gamer mengatakan bahwa negara sebaiknya tidak merecoki urusan gaming, saya sebaliknya: video gim harus diatur oleh negara.
Saya berpendapat demikian karena saya khawatir, semakin ke sini developer/publisher mulai menunjukkan gestur monopolistik dan gamer, khususnya di Indonesia, secara tidak langsung ikut melanggengkan praktek demikian karena tumpul dan tidak kritis. Ketika hak-hak gamer dikebiri pelan-pelan dan komunitas kita nggak bisa diandalkan untuk mendorong perubahan, saya melihat negara berada di posisi yang strategis untuk mengintervensi industri ini.
Tentu saja, di pikiran saya, negara punya wewenang untuk mengatasi isu-isu substansial, misalnya: mendorong regional pricing untuk menjaga harga gim lebih stabil pasar Indonesia, membatasi konten tambahan (DLC) berbayar, dan merilis portal distribusi lokal dengan potongan lebih rendah khusus untuk gim-gim yang dikembangkan oleh developer tanah air. Intinya, melindungi hak gamer dan hak developer lokal untuk bersaing di pasar bebas seharusnya menjadi prioritas.
Yah, itu pemikiran saya sampai saya sendiri baru ingat kalau negara memang nggak bisa diandalkan.
Belum lama ini, beredar salinan peraturan nomor 034/PB-ESI/B/VI/2021 Bab XVIII tentang Game dan Penerbit Game. Bagi yang belum tahu, PBESI merupakan singkatan dari Pengurus Besar Esports Indonesia. Ketika selesai membaca salinan itu, seketika saya lemes dan pengen muntah.
Pertama, mereka mendefinisikan gim seenak jidatnya sendiri. Kedua, developer/publisher mesti mendaftarkan diri ke PBESI. Ketiga, developer/publisher mesti mendaftarkan gim mereka ke PBESI. Keempat, PBESI berhak untuk memblokir gim yang tidak memenuhi persyaratan. Semua poin itu ditegaskan oleh frasa “aparat penegak hukum” yang apalagi tujuannya kalau bukan untuk pamer wewenang dan kekuasaan.
Hal yang bikin ketar-ketir dari aturan ini adalah bagaimana reaksi developer/publisher terhadap pasar Indonesia. Berkaca dari negara lain, birokrasi yang ribet jadi alasan mengapa banyak perusahaan video gim yang meninggalkan pasar Australia. Imbasnya, gamer Australia mesti merogoh kocek lebih dalam. Ini berbanding terbalik dengan semangat regional pricing yang bertujuan untuk memudahkan akses terhadap gim di Indonesia
Selain itu, kesan monopoli yang kuat dalam aturan ini berpotensi mematikan bagi industri gim tanah air. Selama ini, developer/publisher kecil mengandalkan pasar bebas untuk menjamin karyanya terjual di pasaran. Aturan monopolistik jelas bakal mencekik developer/publisher yang tidak punya pengaruh besar. Dear PBESI, perlu diketahui kalau developer/publisher tidak cuma Tencent dan Moonton.
Aturan potong kompas bermotif putus asa?
Bagi saya, hal paling memicu permisuhan duniawi dengan ditekennya aturan ini disebabkan oleh rancunya definisi PBESI tentang gim dan esports. Mudahnya, menurut pengetahuan umum, esports sudah pasti merupakan suatu gim tapi hal itu tidak berlaku sebaliknya. Pertanyaannya, apakah aturan ini akan diberlakukan juga terhadap gim-gim yang bukan esports? Kan nggak lucu jika Dark Souls, Nier: Automata, dan Minecraft juga ikut terjaring bingkai aturan esports, padahal jelas-jelas esensi permainan ketiganya itu bukanlah sebuah kompetisi.
Sejak PBESI didirikan di awal tahun 2020, saya sebenarnya cukup skeptis dengan kemampuan PBESI untuk mengikuti dinamika esports tanah air, Asia, bahkan dunia. Badan bentukan negara itu maunya yang pasti-pasti, sementara kita tahu kalau esports selalu bergerak dan berubah-ubah. Siapa yang menyangka kalau DOTA bakal jadi esports? Begitu juga sebaliknya dengan gim-gim yang digadang-gadang akan jadi esports justru masuk comberan karena tergilas pasar.
Saya kira ditekennya aturan ini bermotif putus asa. Yap betul, PBESI terlampau frustasi karena tidak sanggup mengimbangi kecepatan industri ini. Tidak seperti PSSI dan PBSI yang cabang olahraganya sudah mapan. PBESI merasa perlu potong kompas dengan cara menganggap semua gim adalah esports biar gampang. Siapa tahu di masa depan Genshin Impact jadi gim MOBA atau The Witcher jadi gim battle royale? Kan nggak ada yang tahu to.
Tidak semuanya buruk
Di luar kontroversi Bab XVIII, saya sebenarnya mengapresiasi usaha PBESI untuk mengintervensi pelaksanaan esports di Indonesia. Pekerjaan rumahnya adalah bagaimana memikirkan strategi pelaksanaannya di lapangan nanti.
Dengan aturan yang dikantongi PBESI ini, saya mengharapkan mereka luwes dalam merespon isu-isu kekinian di kancah esports tanah air. Misalnya, kasus lepas kontrak pemain-pemain League of Legends: Wild Rift. Bagi yang tidak tahu, Moonton tidak menghendaki organisasi yang berlaga di Mobile Legends Professional League (MPL) memiliki tim profesional di gim MOBA selain Mobile Legends. Imbasnya, organisasi esports seperti Bigetron dan Onic terpaksa memutus kontrak secara sepihak semua pemain di tim League of Legends: Wild Rift mereka.
Selain itu, PBESI juga punya wewenang membuka kesempatan bagi semua player gim esports untuk ikut serta di kompetisi kasta tertinggi. Misalnya, PBESI bisa mendorong (lagi-lagi) Moonton untuk melibatkan tim amatir dan semi-profesional untuk berkesempatan tampil di MPL. Caranya, mendesak penyelenggara liga untuk membuka slot partisipasi yang bisa diperebutkan melalui babak kualifikasi terbuka. Dengan cara ini, saya kira esports Indonesia bisa selangkah lebih maju.
BACA JUGA Sudah Saatnya Negara Mengawasi Microtransaction dalam Gim dan tulisan Nurfathi Robi lainnya.