ASN Rajin Adalah Tempat Sampah Buat Atasan: Ketika Kerja Keras Justru Mendapat Hadiah Kerja Lebih Banyak dan Menyiksa

ASN Rajin Adalah Tempat Sampah Buat Atasan (Shutterstock)

ASN Rajin Adalah Tempat Sampah Buat Atasan (Shutterstock)

Ada sebuah “wejangan” sakral yang sering beredar di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Khususnya bagi kami angkatan baru. 

Wejangan ini mungkin terdengar seperti keluhan pribadi, tapi percayalah, ini adalah rangkuman dari curhatan banyak teman yang merasakan hal serupa. Bunyinya biasanya dibisikkan oleh senior dengan sedikit tertawa, kira-kira begini: “Bro, kalau kerja jangan rajin-rajin amat. Nanti kerjaan tambah banyak.”

Dulu saya pikir itu cuma mitos atau candaan. Tapi setelah beberapa tahun mengabdi, saya sadar, wejangan itu nyata. Semakin kamu terlihat bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, semakin kamu akan jadi “tempat sampah” tugas-tugas dadakan.

Sementara itu, rekan kerja sebelah, mari kita sebut saja “Si Santai”, yang mungkin kerjanya biasa-biasa saja atau sekadar memenuhi standar minimal, justru hidupnya tampak lebih damai sentosa. Meja kerjanya relatif bersih dari tumpukan tugas mendesak. Saat ASN lain pontang-panting menyelesaikan pekerjaan, dia mungkin lagi asyik scroll media sosial atau merencanakan weekend.

Setiap kali melihat pemandangan kontras ini, saya selalu bertanya-tanya. Katanya pemerintah lagi gencar-gencarnya menggaungkan sistem meritokrasi, di mana kinerja dan kompetensi adalah segalanya. Tapi kok di lapangan rasanya beda, ya? 

Kenapa justru ASN yang berusaha bekerja benar sering kena “hukuman” dengan lebih banyak pekerjaan, sementara yang kerjanya seadanya hidupnya lebih tenang? Dan kenapa penghargaan atau promosi seringkali terasa lebih condong ke “si paling yes man” atau “si paling dekat”, bukan ke “si paling kerja keras”?

Lingkaran setan ASN bernama “dianggap Bisa”

Fenomena ini sebenarnya sangat logis, tapi logisnya itu yang bikin kesal. Siklusnya berjalan mulus seperti lingkaran setan

Awalnya, ASN mengerjakan tugas sesuai arahan dan tepat waktu. Atasan melihatnya sebagai tanda “bisa diandalkan”. Karena dianggap bisa, lain kali ada tugas mendesak atau rumit, siapa yang paling logis untuk ditunjuk? Tentu saja kamu. Memberikannya pada “Si Santai”? Ah, nanti malah lama atau banyak salahnya, pikir atasan.

Akibatnya, beban kerjamu mulai bertambah. Tugas reguler jalan terus, ditambah tugas-tugas “khusus” yang mendarat manis di mejamu karena alasan klasik: “Kamu kan bisa.”

Sementara itu, Si ASN Santai semakin nyaman. Jarang mendapat tugas penting, dia jadi punya banyak waktu luang untuk… ya, bersantai. Dia tidak pernah benar-benar dipaksa untuk belajar lebih atau keluar dari zona nyamannya.

Karena Si Santai tidak berkembang, sementara kamu (terpaksa) semakin terasah menangani berbagai masalah, kesenjangan dalam penyelesaian tugas makin lebar. Ujung-ujungnya? Kamu semakin dianggap bisa diandalkan, semakin menjadi tumpuan segala urusan, dan siklus “dianggap bisa -> beban bertambah” ini terus berulang sampai kamu sumpek. 

Kemampuan menyelesaikan tugas yang seharusnya jadi nilai positif, malah jadi bumerang. Ironi dalam dunia ASN.

Di mana letak meritokrasi ASN yang katanya adil itu?

Jangan salah sangka. ASN bukannya tidak mau bekerja keras atau berkontribusi. Tapi sistem yang berjalan sering terasa kurang adil. 

Ketika beban kerja dibagi secara tidak proporsional hanya berdasarkan asumsi “dia pasti bisa”, tanpa ada kompensasi atau pengakuan yang sepadan, itu bukan lagi meritokrasi. Itu adalah eksploitasi terselubung terhadap ASN yang hanya berusaha bekerja dengan benar.

Pemerintah sudah berusaha membangun sistem penilaian kinerja yang objektif. Ada SKP, ada berbagai Key Performance Indicator (KPI). Tapi di lapangan, implementasinya seringnya masih bias. 

Kedekatan personal atau kemampuan menyenangkan atasan (yes man) terkadang masih punya bobot lebih besar daripada hasil kerja nyata. Orang yang bekerja benar tapi mungkin sedikit kaku atau kritis bisa saja kalah pamor dengan yang kerjanya biasa saja tapi pintar membawa diri.

Akibatnya? Motivasi si pekerja benar pelan-pelan terkikis. Mereka mulai bertanya-tanya, “Buat apa kerja benar kalau hasilnya sama saja, atau malah lebih banyak susahnya?” Sementara itu, Si ASN Santai semakin nyaman di zonanya, karena sistem seolah memvalidasi bahwa bekerja seadanya saja sudah cukup untuk bertahan.

Meritokrasi sejati ASN butuh lebih dari sekadar sistem

Sistem meritokrasi yang digaungkan itu tujuannya mulia. Tapi sistem hanyalah alat. Kuncinya ada pada penerapan yang konsisten dan budaya kerja yang mendukung.

Perlu ada keberanian untuk mendistribusikan beban kerja secara lebih adil, memberikan kesempatan pengembangan bagi semua ASN (bukan hanya yang terlihat bisa), dan yang paling penting, menjadikan kinerja benar-benar sebagai satu-satunya dasar penilaian, bukan kedekatan atau kepatuhan buta.

Harus diakui, sudah mulai terlihat beberapa perbaikan. Proses rekrutmen CPNS kini jauh lebih transparan, sistem penilaian kinerja terus disempurnakan. Ini adalah langkah positif yang patut diapresiasi. Harapan kami, tentu saja, semoga perbaikan ini terus berlanjut dan merasuk ke dalam budaya kerja sehari-hari. Semoga saja kesenjangan antara jargon meritokrasi dan realita di lapangan semakin menipis.

Tanpa itu, meritokrasi hanya akan menjadi jargon indah di atas kertas. Dan wejangan senior “jangan terlalu rajin” akan terus menjadi nasihat paling relevan bagi ASN baru yang ingin selamat di rimba birokrasi.

Penulis: Yulfani Akhmad Rizky

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA ASN Deadwood Memang Sebaiknya Dipecat Saja!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version