Curahan Hati Asisten Rumah Tangga di Semarang yang Menjalani Pekerjaan Sampingan Saat Bulan Puasa

Curahan Hati Asisten Rumah Tangga di Semarang yang Menjalani Pekerjaan Sampingan Saat Bulan Puasa Mojok.co

Curahan Hati Asisten Rumah Tangga di Semarang yang Menjalani Pekerjaan Sampingan Saat Bulan Puasa (unsplash.com)

Bulan puasa jadi momentum yang berat bagi Sulastri, seorang asisten rumah tangga di Semarang yang nyambi jualan makanan sarapan.

Semarang memang bukan tempat yang ramah bagi para pemuja slow living. Ibu Kota Jawa Tengah ini kian riuh, seolah hendak mengikuti jejak Jakarta sebagai kota yang tak pernah tidur. Kota dengan lapangan ikonik Simpang Lima itu seakan memaksa warganya untuk terus bekerja demi mendapat kehidupan yang layak. Tak heran, mencari sumber penghasilan lain atau yang kerap disebut dengan istilah side hustle oleh anak Jaksel menjadi pilihan yang semakin banyak dijalani. 

Tak terkecuali seorang perempuan asal Muntilan, Jawa Tengah, bernama Sulastri. Dia mengadu peruntungan di Kota Atlas sebagai asisten rumah tangga dengan sistem tanpa menginap. Dia adalah tulang punggung keluarga. Bukan hanya rutin mengirim uang, obat-obatan pun dia kirimkan kepada ibunya yang tinggal sendiri di kampung halaman. 

Tentu, upah sebagai asisten rumah tangga tidak bisa dibilang berlebihan. Apalagi dirinya perlu menyewa tempat tinggal di Semarang. Ditambah lagi, kini dia sudah mempunyai keluarga sendiri.

Beruntungnya, Sulastri memiliki bakat memasak. Sesekali, beberapa orang memakai jasanya untuk membuat sajian ketika ada acara atau yang biasa disebut gawe. Sulastri akhirnya terinspirasi untuk memasak makanan bungkusan untuk dititipkan di sejumlah pedagang yang menjajakan sarapan. Jenis makanan yang dibuatnya beragam. Mulai dari nasi atau mie bungkus, arem-arem, hingga jajanan basah lainnya. Pokoknya, yang praktis dibawa pergi dan mengenyangkan untuk sarapan orang kuliah atau kantoran.

Baca halaman selanjutnya: Bulan puasa momentum yang menantang bagi Sulastri…

Bulan puasa momentum yang menantang bagi Sulastri

Usaha sampingan yang dijalani Sulastri lancar-lancar saja selama ini. Sebab, waktu kerjanya sama sekali nggak mengganggu jam kerja utama sebagai asisten rumah tangga. Dia bekerja sebagai asisten rumah tangga mulai pukul 8 pagi hingga menjelang petang. Pekerjaan sampingannya hanya perlu menghitung dan mengambil untung saat lapak hendak tutup, tidak perlu seharian berjaga menunggui dagangan. Yang dikorbankan paling hanya waktu luangnya karena jam 2 dini hari ia sudah harus bersiap mengolah makanan yang akan dijual.

Akan tetapi, hal ini berubah ketika bulan puasa tiba. Di bulan suci ini, Sulastri justru diminta lebih legowo. Para pengelola pujaserakaki lima, tempat di mana dia menitipkan barang dagangan, memilih menutup lapaknya di pagi hari dengan alasan persiapan sahur. Sebagai gantinya, mereka mengalihkan kegiatan berdagangnya di sore hari saat waktu berbuka akan tiba.

Pergantian jam operasional membuat Sulastri pusing, dia tak mungkin meracik dagangannya saat masih bekerja di rumah majikan. Pernah suatu kali dia nekat membuat jajanan dan menitipkannya di lapak atau warung yang tetap buka saat puasa. Seperti yang sudah diduga, alih-alih menggapai untung, dia malah buntung.

Makanan basah yang dititipkan Sulastri harus cepat dikonsumsi kalau tak mau basi. Alhasil, daripada terbuang mubazir, Sulastri lebih sering membagikan panganan buatannya kepada siapapun yang berkenan. Ketimbang rugi dua kali karena harga bahan baku modal tak sepadan dan basi tak terjual, lebih baik diubah menjadi amal.

Sulit mencari alternatif usaha sampingan saat puasa

Bukannya tidak berusaha mencari solusi, pernah terlintas di pikiran Sulastri untuk membuat jasa catering khusus sahur. Sayangnya, rencana itu tidak berjalan mulus. Sebagian besar warga Semarang lebih memilih makanan sahur alakadarnya karena terlalu berat melawan kantuk. Di sisi lain, sebagian orang lainnya lebih suka pesan makanan secara online yang menawarkan kemudahan dan berbagai potongan harga menggiurkan. Sulastri yang sudah menginjak kepala lima dan gagap teknologi ini jelas tak mampu bersaing dengan gempuran kemajuan zaman.

Masalah lain datang dari pembeli yang memesan jasanya untuk membuat makanan untuk acara-acara khusus. Tak sedikit dari mereka yang melancarkan protes manakala harga yang diberikan dirasa lebih mahal daripada bulan-bulan sebelumnya. Padahal, persoalan ini harusnya bisa dimaklumi lantaran fenomena kenaikan bahan baku pangan menjelang puasa rutin terjadi. Mengurangi porsi masakan pun tak membuat para pelanggan tersebut berhenti tutup mata dari lonjakan harga bahan pangan. Keluhan terus berlanjut atas nama pembeli adalah raja.

Kata orang, berjualan menjelang hari raya berpeluang besar mendulang laba. Faktanya, jika semua memiliki pikiran serupa, potensi persaingan justru semakin menganga. Mungkin Sulastri tahu, kapan ia harus berkompetisi, kapan harus mundur. Bagi orang kecil dengan modal terbatas yang tak punya privilese safety net, menghindari risiko kekalahan adalah keputusan yang bijak. 

Begitulah sekelumit cerita Sulastri yang berupaya mengencangkan ikat pinggang di bulan puasa demi bisa mudik dan merayakan Lebaran. Belum lagi, dia mesti membagi uang saku pada para kemenakan. 

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Nasib Buruh Gendong Jogja di Bulan Puasa: Menahan Lapar Memanggul Barang yang Semakin Nggak Terbeli

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version