Seorang teman waktu pertama kali ke Bandung pernah berkelakar, makanan di Bandung itu aneh-aneh. Pikiran seperti itu memang kerap hadir bagi mereka yang pertama kali mengenal kuliner Bandung. Saya tidak akan membahas kuliner Bandung dari A sampai Z, secara jari bakal encok kalau harus ngetik buat bahas semuanya.
Di sini saya akan membahas sejarah lahirnya makanan seblak yang sekarang lagi ngetren dan bisa dibilang sudah go international. Tulisan ini bukan berasal dari pakar sejarah ataupun kuliner, kebetulan saya salah satu saksi sejarah lahirnya seblak di Kota Kembang, Bandung. Ini kisah nyata catatan hidup saya yang mungkin bisa jadi asal mula makanan seblak.
Alkisah dimulai saat saya bekerja di bandung pada sekitar tahun 2008 silam. Saya tinggal di rumah teman yang letaknya tepat di depan pintu masuk Sekolah Dasar Bojong Koneng, Cikutra, Bandung. Setiap hari saya pastinya sering bercumbu kata dengan para pedagang makanan di sana, bahkan cukup hafal seluk beluk dan suka duka mereka.
Setiap pedagang punya menu makanan andalan masing-masing, biasanya hanya satu jenis menu makanan. Yang saya ingat ada yang jualan martabak mini, gorengan, nasi kuning, mi goreng, dan lainnya. Nah, setiap pedagang biasanya setiap dua bulan sekali harus ganti menu dagangannya, terutama ketika jualannya mulai sepi karena anak-anak SD sudah bosan.
Setiap pedagang biasanya punya dua sampai tiga menu makanan untuk diputar untuk mengakali dagangan sepi. Secara manusiawi, kalau dagangan itu-itu saja maka anak-anak SD pastinya bosan, harus ganti menu baru. Mungkin dalam setahun, pedagang punya 2-3 menu yang selalu diputar bergantian setiap 2 sampai 3 bulan sekali. Misalnya, sekarang jualan martabak mini, nanti beberapa bulan kemudian kalau jualan mulai sepi harus ganti menu biar rame lagi.
Tetapi jika sudah lebih dari setahun maka semua menunya akan jadi membosankan di lidah anak-anak. Para pedagang akhirnya harus memutar otak bikin menu baru, bahkan mereka harus berinovasi menciptakan jenis makanan baru yang tentunya harus cocok di lidah anak SD, dan harganya tidak boleh lebih dari Rp 2.000.
Kebiasaan saya setiap pagi nyari sarapan ya di mereka, secara harganya yang murah meriah. Dengan uang lima ribu rupiah bisa sarapan enak dan kenyang. Biasanya saya beli nasi kuning tiga ribu rupiah (isinya cuman nasi kuning, sambel dan kerupuk). Biar lebih nikmat, saya beli mi goreng atau gorengan bala-bala harga dua ribu rupiah buat melengkapinya.
Singkat cerita, saya lihat lapak seorang pedagang bejubel dikerumuni anak-anak SD. Tidak lama kemudian bel sekolah memanggil waktunya jam sekolah dimulai. Karena sudah sepi saya coba menghampiri pedagang itu pingin tahu dia jualan menu apa. Netra saya rasanya kok aneh lihat masakan yang seumur hidup belum saya lihat.
Si pedagang mulai menggoreng bawang putih yang sudah dicincang halus, lalu air satu liter dimasukkan dalam penggorengan. Setelah air mendidih, dengan gesitnya jemari si pedagang memasukkan menambahkan garam dan micin. Tapi saya mengerutkan dahi ketika si pedagang memasukan kerupuk mentah ke rebusan air tadi.
“Eta teu salah, teh? Panan kurupuk mah digoreng, lain direbus?” tanya saya karena seumur hidup tahunya kerupuk itu digoreng. Terjemahannya, “Itu nggak salah, teh? Biasanya kan kerupuk digoreng, bukan direbus?”. Si Teteh cuman nyengir sambil terus memasukan kerupuk mentah dan irisan sayur kol ke penggorengan. “Eta namina naon, teh?” tanya saya penasaran. Terjemahannya “Itu namanya apa, teh?”. “Ini seblak,” jawab si Teteh sambil merapihkah kerudungnya.
Pikiran yang sudah nggak karuan lihat kerupuk mentah direbus, daripada banyak tanya nanti disangka comel, mending focus lihatin masakannya nanti hasil akhirnya seperti apa. Sekitar dua puluh menit kemudian air rebusan mulai berkurang dan kompor pun dimatikan. “Wah, jadi penasaran pingin nyobain makanan alien nih”, suara hati bergumam.
Dengan uang dua ribu rupiah saya coba makanan aneh itu. Tapi kenapa pikiran saya masih nggak percaya lihat kerupuk mentah direbus, hasilnya malah mirip ager. Daripada bingung nggak jelas mending saya cobain bagaimana rasanya. Sesuap seblak masuk ke mulut mencumbu lidah, rasanya cukup aneh, seaneh tampilannya. Mungkin karena sedari awal pikiran sudah terhipnotis dengan keanehan kerupuk mentah yang direbus, saya memakannya hanya beberapa suap saja (tidak sampai habis).
Sekitar sebulan kemudian, saya sama teman main ke kampus Widyatama yang tidak jauh dari rumah. Karena kami bukan mahasiswa sana jadi kami masuknya lewat pintu kantin yang berada di depan kampus, eh samping kampus, entahlah di depan atau samping yang pasti posisi kampus di antara pertigaan jalan.
Kami pun berjalan menelusuri lorong kantin kampus yang kebetulan tidak terlalu ramai. Seketika pikiran saya melayang jauh saat hidung disergap aroma makanan yang tidak asing, wanginya mirip seblak. Bagi Anda yang pernah membeli seblak pastinya paham dengan aromanya yang sangat tajam dan menyengat ketika dimasak. Akhirnya kepala saya sibuk berputar mancari darimana aroma itu berasal. Setelah tahu sumbernya, saya ajak teman menghampirinya.
Mendadak saya tertawa geli ternyata benar itu seblak. Saya dan teman cekikikan nggak kuat menahan tawa, kami pun mendadak jadi pusat perhatian penduduk di kantin. Yang membuat kami tertawa geli karena seblak yang awalnya jajanan anak SD sekarang sudah masuk kampus, dengan tambahan telur menyesuaikan lidah anak kampus. “Hebat euy, seblak asup kampus, mun geus wisuda ngke asup ka mana deui yeuh?” celetuk saya kepada teman. Terjemahannya, “Hebat euy, seblak masuk kampus, nanti kalo sudah wisuda masuk ke mana lagi nih?”
Sekitar 2 tahun kemudian, saat saya pulang ke Bekasi mendengar seblak lagi booming. Saya pun kembali dibuat tertawa geli oleh seblak yang semakin hari naik kasta dan terkenal. Yang awalnya cuman jajanan di kantin SD, lalu naik kasta ke kampus, dan sekarang sudah menyebar luas dengan menu yang lebih mewah dan super pedas.
Saya pribadi seumur hidup nyoba seblak cuman dua kali, pertama kali ya waktu di Bandung di kantin SD, dan kedua kalinya nyoba di Bekasi karena penasaran pingin tahu rasanya dengan bahan yang lebih komplit. Tetapi entah mengapa sampai sekarang saya kurang menyukai seblak. Mungkin efek sejak awal otak yang sudah tersugesti dengan keanehan kerupuk mentah direbus itu makanan alien.
BACA JUGA Penggemar Seblak Tak Pedas Garis Keras, Memangnya Kenapa?.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
—