Seorang anak muda dari Desa Anajiaka, Sumba Tengah, datang ke Kupang, ibukota provinsi NTT, untuk kuliah. Ia menginap di rumah keluarganya di Jalan Sukun dan mendaftar di Politeknik Negeri Kupang. Saya tidak tahu apa cita-citanya, tetapi sebagai anak dari daerah yang jauh, saya pernah mengalami hal serupa—datang ke kota dengan cita-cita dan rasa penasaran, menginap di rumah keluarga dan mendaftar kuliah.
Hari Senin kemarin (5/8/2019), anak muda dari Anajiaka ini mengikuti ujian seleksi masuk Politeknik Negeri Kupang. Ujian diselenggarakan di lantai dua gedung Teknik Mesin. Sebelum ujian, ia merasa perlu untuk ke toilet. Mungkin ia bertanya di mana toilet. Mungkin seseorang menjawab di lantai 3.
Anak muda ini bergegas ke lantai tiga dan menemukan pintu toilet. Ia membukanya dan langsung melangkah masuk. Namun begitu kakinya melangkah masuk, ia tidak menginjak apa-apa. Ia terjatuh, meluncur bebas sampai ke lantai dasar. Mungkin tubuhnya menghantam tembok penahan dan pipa-pipa besi. Mungkin kepalanya juga. Ia dilarikan ke rumah sakit, tetapi meninggal 7 jam kemudian.
Namanya Ardo Iki. Yang Ardo buka adalah pintu toilet yang belum selesai dibikin—belum selesai dibikin sejak 10 tahun yang lalu. Artinya, sudah 10 tahun kondisinya seperti itu: hanya pintu saja, tanpa lantai, tanpa tanda peringatan. Di balik pintu adalah ruangan kecil, kosong tak berlantai sampai ke dasar gedung, seperti lorong yang tinggi dan penuh beton dan pipa-pipa besi sepanjang sisinya.
Mungkin memang yang membuat celaka adalah ruangan tanpa lantai itu. Tetapi ruangan itu sudah ada 10 tahun lamanya. 10 tahun dan tetap dibiarkan begitu saja, dengan pintu yang bisa dibuka dan ditutup, dan tanpa peringatan atau tanda larangan.
Kita adalah masyarakat yang kerap mengabaikan keamanan fasilitas, tanda peringatan dan hal-hal sejenis. Ini menjadi lebih parah lagi, sebab para pengambil kebijakan kerap tidak memedulikannya. Mereka hanya datang dan berjalan masuk ke dalam kantor, tanpa melihat ada apa di halaman kantornya: Apakah ada tangga yang terlalu tinggi – bagaimana orang tanpa kaki mengaksesnya? Apakah ada jalanan yang berlubang – bagaimana jika anak-anak berlarian di situ? Apakah ada toilet tak berlantai… bagaimana jika seorang asing datang dan membukanya dengan tergesa?
Guiding block yang dipasang serampangan tidak akan kita ributkan… mungkin sampai seorang buta menghantam kepalanya di tiang listrik, atau terperosok ke sungai, atau menyeberang dan dihantam truk. Kita akan terus memuja tangga-tangga gereja dan gedung pemerintahan yang tinggi… mungkin sampai seorang cacat meluncur turun dengan tongkatnya dan menghantam kepalanya di pot bunga dari beton.
Istirahat dengan tenang, Ardo. Saya dan semua anak kampung, yang kerap merasa asing di kota penuh beton dan gedung tinggi ini, mendoakanmu.
Catatan: Tulisan ini dimuat ulang dari status Facebook penulis.