Di tulisan “Nadiem Makarim, Milenial di Pemerintahan yang Membuat Orang Miskin Merasa Menjadi Makin Sial“ sudah dibahas keluh kesah untuk Mendikbud Nadiem Makarim. Sekarang waktunya bertanya, jika memang sudah waktunya bertanya-tanya, perlukah ia diganti?
Evaluasi kinerja pejabat negara pengelola APBN itu mutlak. Publik seharusnya dan sewajarnya bisa mengawasi mereka yang ada di pemerintahan tanpa harus menunggu DPR/MPR bekerja. Publik memberi kritik untuk evaluasi pejabat negara juga nggak harus menunggu jadi aktivis atau punya privilese di atas rata-rata. Rakyat terdampak, maka rakyat bergerak.
Sebelum masuk ke jawaban, mari tengok dua catatan tentang Nadiem Makarim sebagai mendikbud.
#1 Mendikbud Nadiem Makarim tak terikat parpol
Sedih sih, untuk urusan yang semacam ini saja kita perlu simbol. Nadiem Makarim adalah simbol bahwa presiden memang benar-benar masih bisa memilih kabinetnya sendiri.
Parpol negara lain mulai memberi kesempatan kepada milenial untuk unjuk gigi, tak tersandera politisi boomer dan utang-piutang jasa. Sementara kita masih menonton acara debat politisi di TV yang “lo lagi lo lagi”, dengan akrobat argumen yang sering menjilat ludah sendiri.
Publik juga masih harus menyimak para eyang berantem tiap Pemilu. Pendekatan yang dilakukan, strategi kampanye yang dipilih, dan hasilnya pun ya gitu-gitu aja.
Ada menteri nonparpol di kabinet adalah pengingat bahwa parpol tuh nggak sakti-sakti amat. Jika parpol tak mampu melihat perubahan jaman, masih ala-ala Bapakisme era Soeharto, jangan harap generasi muda bisa paham kenapa parpol masih diperlukan. Kalau memang parpol sudah bisa menyerap aspirasi, tak akan muncul minat politisi jalur independen.
Masih membekas video viral Mendikbud Nadiem Makarim pulang naik Gojek setelah dilantik. Demikian juga dengan perkataan beliau, “Walaupun saya bukan dari sektor pendidikan, adalah satu saya lebih mengerti, belum tentu mengerti, tapi lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan kita.”
Siapa yang tak terharu mendengar kalimat optimistis semacam itu diucap milenial yang tak terkait parpol mana pun, gagah berani menyambut tantangan Jokowi untuk masuk kabinet.
Hanya saja, yang terlupa dari kalimat tersebut adalah kerendahan hati untuk belajar. Tak tahu apa-apa tentang masa lalu karena punya bisnis yang bisa membaca kebutuhan masa depan bukan berarti menolak untuk belajar dari masa lalu, untuk melihat kenapa pendidikan kita jalan di tempat.
#2 Mendikbud Nadiem Makarim tak paham masalah
Diksi “gotong royong” yang sering diucap Mendikbud menjadi aneh karena sudut pandangnya yang visioner tidak membumi alias tak paham masalah.
Mendikbud sepertinya nggak ada bayangan soal potret pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Tapi tak memahami masalah, pada titik tertentu, jauh lebih mending ketimbang paham masalah, tapi terlibat konflik kepentingan mafia pendidikan.
Ada lima program Kemendikbud yang dipaparkan Nadiem Makarim tahun 2019: (1) prioritaskan pendidikan karakter dan pengamalan Pancasila, (2) potong regulasi yang menghambat terobosan dan peningkatan investasi, (3) kebijakan pemerintah kondusif untuk menggerakkan sektor swasta agar meningkatkan investasi, (4) semua kegiatan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja mengutamakan pendekatan pendidikan dan pelatihan vokasi yang baru dan inovatif, dan (5) memperkuat teknologi sebagai alat pemerataan baik daerah terpencil maupun kota besar untuk pembelajaran.
Akan sangat panjang jika diulas ala “from this to this”-nya warga Twitter. Ringkasnya, kelima program tersebut kurang spesifik dan implementasinya bermasalah.
Tahun 2010 Mendikbud Muhadjir Effendy memiliki program pembangunan karakter yang diterapkan dalam bentuk PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). Jadi, apa output yang ingin dicapai mendikbud yang sekarang?
Program ke-2 dan ke-3, ada persoalan model dalam peningkatan investasi, terutama dari swasta. Lalu sekarang muncul permasalahan seleksi Program Organisasi Penggerak (POP) yang terburu-buru dan meloloskan yayasan bentukan korporasi swasta.
Selanjutnya, era revolusi industri 4.0 memang membutuhkan SDM yang siap bersaing, Nadiem Makarim punya visi yang jelas soal ini di program ke-4. Tapi tetap problematik karena sosial-humaniora sepertinya diabaikan. Kita tetap butuh cendekiawan, bukan hanya cerdikiawan.
Program ke-5 yang paling heboh dan berdampak. Pandemi percepat implementasi teknologi dalam proses belajar-mengajar. PJJ adalah keniscayaan karena pandemi, tapi bermasalah karena sinyal internet yang belum merata, gadget dengan spesifikasi bagus tak terjangkau demikian juga dengan pengetahuan untuk memakainya, kebutuhan kuota internet membebani orang tua dan seterusnya. Rakyat gagap, demikian juga dengan pemerintah.
Kelima program keren itu menjadi janggal saat Nadiem Makarim kaget sinyal internet belum merata, gaji guru honorer tak seberapa, dan yang terbaru adalah meyakini bahwa sekolah negeri seharusnya untuk orang miskin sesuai keadilan sosial yang dibicarakan dalam UUD.
***
Sekolah negeri bukan hanya untuk orang miskin. Sudut pandang seperti ini problematik. Adanya sekolah yang dikelola oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah adalah bentuk gotong royong, mengatasi masalah kekurangan sarana pendidikan dan guru yang belum bisa dipenuhi negara. Karena itu sering kali bersekolah di sekolah swasta jauh lebih ekonomis dibanding kebutuhan biaya sekolah negeri dengan tradisi pensi, prom, dan seterusnya.
Membayar bimbel mahal supaya bisa bersaing masuk sekolah negeri, sepertinya hanya terjadi di perkotaan. Pedesaan dan pelosok berbeda. Persoalan ini juga yang kemudian ditangkap sebagai peluang oleh milenial lain kemudian muncul Ruangguru, sebab belajar di ruang kelas saja tak cukup.
Negara ini bukan milik perorangan atau segelintir orang, “hajat hidup orang banyak” adalah frasa kunci yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. Kalau wewenang reshuffle sih sudah jelas milik siapa.
BACA JUGA Nadiem Makarim Layak Diprotes Bukan karena Kebijakannya yang Buruk dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.