Sebenarnya, apa yang bikin kota besar seakan tak bisa lepas dari kemacetan?
“Menambah jumlah ruas jalan agar bisa mengimbangi pertumbuhan kepemilikan kendaraan,” jawab teman saya dengan nada semantap mempelai pria mengucap ijab-kabul, ketika kami berbincang di acara reuni lebaran.
Teman saya itu mengganti KTP-nya dari Jombang ke Jakarta selepas lulus kuliah dan bekerja di sana. Sebagai penduduk Jakarta sejati, saban hari dia menjebakkan dirinya ke dalam keruwetan tanpa ampun di jalanan; ribuan kendaraan merayap seperti siput, menciptakan kekacauan kolosal yang diisi dengan bunyi klakson yang sahut-menyahut, dan temperamen pengendara yang tampak siap beradu jotos dengan siapa pun.
Kota Cepu tidak pernah mengalami kemacetan semacam itu, begitu pun dengan kampung halaman saya, Jombang. Namun, saya pernah berpiknik ke Jakarta dan terjebak kemacetan level monster yang membuat kami sekeluarga menghabiskan dua jam penuh untuk melaju sejauh 15 kilometer. Itu gila! Lebih gilanya lagi, ada jutaan orang yang terjebak di dalam situasi semacam itu setiap hari, sepanjang tahun, nyaris seumur hidupnya, tanpa tahu bagaimana cara mengatasinya selain mengomeli pemerintah dan pengguna jalan lain.
Untuk mengatasi kegilaan tersebut, tentu saja kita perlu tahu akar masalahnya sebelum menentukan solusi macam apa yang paling tepat untuk menanganinya. Tanpa mengetahui akar masalah, semua solusi yang dibikin bakal menjelma sebagai bibit masalah berikutnya; ingatlah bagaimana bus komuter seperti Transjakarta dan Trans Jogja pada akhirnya cuma memindahkan masalah kemacetan ke lajur jalan di sebelahnya.
Jadi, apa, sih, akar masalah kemacetan di kota-kota besar? Apakah karena ketimpangan pembangunan antara infrastruktur jalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan, seperti kata teman saya tadi?
Mari kita mulai dari Jakarta. Di kota ini, kepemilikan kendaraan bermotor bertumbuh hingga lebih dari 10 persen per tahun, sementara pembangunan jalan hanya 0,01 persen. Bila ketimpangan ini terus dipertahankan, para ahli berani bertaruh bahwa pada suatu hari nanti penduduk Jakarta akan terbebas dari kemacetan untuk menyambut bencana lalu lintas yang lebih mengerikan: kemandekan total. Semua kendaraan menggerung di tempatnya karena tidak ada lagi ruang yang cukup untuk mereka melaju.
Jika kita percaya bahwa ketimpangan pembangunan infrastruktur adalah sumber utama kemacetan, pembangunan ruas jalan baru secara besar-besaran adalah solusinya. Itu adalah solusi yang gampang dipikirkan, tetapi sulit diimplementasikan. Membikin jalan baru di Jakarta dan kota besar mana pun adalah perkara yang jauh lebih sulit ketimbang membangun seribu candi dalam semalam; pemerintah perlu membebaskan lahan yang butuh biaya banyak, memikirkan tata ruang kota, dan mengantisipasi kemacetan masif yang pasti terjadi ketika jalan baru tersebut sedang dibangun.
Maka, sulit untuk kita percaya bahwa pada suatu hari nanti pemerintah mampu memangkas ketimpangan pembangunan infrastruktur jalan terhadap pertumbuhan jumlah kendaraan. Pertumbuhan ekonomi yang bersekongkol dengan kredit murah bakal mendorong orang-orang untuk membeli dan terus membeli kendaraan baru, sesuatu yang tak bisa diimbangi oleh pemerintah bahkan dengan bantuan Bandung Bondowoso dan pasukan jinnya sekalipun.
Lantas, apakah kemacetan terjadi karena kota-kota besar di Indonesia tidak memiliki sarana transportasi umum yang layak?
Bila kita hanya menilik kota Jakarta, pertanyaan tersebut bakal dijawab dengan gelengan kepala. Jakarta punya bus komuter, MRT, kereta listrik, ribuan angkot dan ojek, dan mereka tetap tak mampu mengatasi keruwetan jalanan Jakarta. Namun, bila kita menengok kota besar lain, permasalahan transportasi umum bisa jadi merupakan akar masalahnya.
Surabaya, contohnya. Kota ini baru saja berhasil menggeser posisi Jakarta dari peringkat pertama kota termacet di Indonesia, dan itu bukanlah prestasi yang datang secara tiba-tiba. Selama dua tahun bermukim di Surabaya, saya menjadi tahu bahwa kota ini tak memiliki rencana yang masuk akal untuk membikin transportasi yang manusiawi bagi penduduknya. Transportasi kota ini dikuasai angkot, moda transportasi umum yang sering dituding sebagai penyebab kemacetan. Sementara trayek bus komuter tidak merata ke seluruh penjuru kota.
Akhirnya, kendaraan pribadi adalah pilihan paling masuk akal bagi penduduk Surabaya dan sekitarnya untuk berkegiatan. Dan sialnya ada jutaan penduduk yang punya pemikiran demikian. Maka terjadilah apa yang sudah pasti terjadi di sebuah kota dengan pengelolaan transportasi umum yang buruk. Jalan Ahmad Yani saban hari disesaki oleh jutaan pengendara frustrasi, sementara Jalan Mayjen Sungkono ke arah barat adalah bentuk ujian kesabaran yang tak ada habisnya.
Pembangunan dan pengelolaan transportasi umum yang layak adalah solusi atas permasalahan di atas. Tetapi, benarkah transportasi umum yang amburadul adalah sumber utama kemacetan?
Tokyo punya jaringan transportasi umum kelas wahid, yang semestinya membuat warganya benar-benar kehabisan alasan untuk menaiki kendaraan pribadi. Namun, TomTom Traffic Index Ranking menempatkan Tokyo di peringkat ke-17 dalam daftar kota termacet sedunia pada tahun 2021 lalu, mengungguli Jakarta yang nangkring di urutan ke-46. Bahkan dengan pengelolaan transportasi umum yang tanpa cela, Tokyo masih jauh lebih macet ketimbang Jakarta yang kemacetannya sudah menjadi urban legend.
Maka, tudingan selanjutnya mengarah kepada kendaraan pribadi yang menyesaki jalanan setiap hari. Merekalah biang utama kemacetan, sehingga pembatasan, atau bahkan pelarangan total, adalah solusi radikal untuk mengatasi kemacetan. Namun, benarkah begitu?
Walaupun menjadi pasar sepeda motor terbesar sedunia nyaris selama satu dekade berturut-turut, Cina telah melarang total penggunaan sepeda motor di beberapa kota yang mengalami masalah kemacetan parah. Di Beijing, pemerintah Cina telah mengeluarkan larangan tersebut sejak 1985, yang diikuti oleh kota Guangzhou pada 2008. Shanghai dan Shenzen kemudian melakukan pelarangan serupa, dan di kota-kota tersebut dilakukan penyitaan sepeda motor dalam skala gigantis sehingga hasil sitaan tersebut, yang ditumpuk begitu saja tanpa didaur ulang, menyerupai bukit logam. Robot rongsokan raksasa pemusnah peradaban, jikalau ada, pasti lahir dari sini.
Kebijakan pelarangan total tersebut ternyata tak berpengaruh banyak terhadap kemacetan. Jalanan Beijing tetap seruwet yang sudah-sudah meskipun aktor utamanya kini hanya tinggal mobil dan truk, dan kedua alat transportasi itulah yang menciptakan rekor kemacetan terparah di Cina pada Agustus 2010 silam. Pada ruas tol nasional G110 yang menyambungkan Beijing dengan Tibet, puluhan ribu kendaraan mengular sepanjang lebih dari seratus kilometer, yang membuat perjalanan berdurasi normal 12 jam menjadi neraka selama 12 hari. Gokil!
Sekalipun terbukti tak efektif di Cina, pemerintah Vietnam sedang menggodok peraturan mengenai pelarangan sepeda motor di kota Hanoi dan Ho Chi Minh dengan target penerapan pada 2025. Sementara itu, di Melbourne, mobil justru dituding sebagai penyebab utama kemacetan di kota tersebut sehingga warganya berduyun-duyun menunggangi sepeda motor.
Menurut laporan Melbourne City Council, 75 persen kendaraan yang memasuki kawasan inti kota pada jam sibuk adalah mobil, sedangkan motor dan sepeda kayuh mengambil sisanya. Hasilnya adalah kemacetan parah yang membuat semua mobil merayap sepelan kungkang, dan para pengemudinya menonton sepeda motor yang melintas di antara sela mobil dengan ekspresi orang puasa menonton iklan sirup di televisi.
Jika mobil dan motor menjadi sumber masalah kemacetan di Melbourne dan Cina, sepeda kayuh menjadi penyebab kemacetan di kota-kota tertentu di Belanda. Oh, tentu saja kemacetan semacam ini jauh lebih menyenangkan ketimbang kemacetan kendaraan lain. Kita tidak perlu menutup hidung rapat-rapat agar tidak keracunan asap knalpot, dan sudah tentu tidak ada suara adu klakson yang cuma menambah keruwetan. Tapi, macet tetaplah macet. Waktu dan tenaga pengguna jalan terbuang percuma gara-gara fenomena ini, dan kemacetan sepeda tidak akan membuat pengguna jalan tersebut bergumam pelan, “Wah, ternyata kejebak macet tuh seru gilak ya.”
Penggunaan jenis kendaraan tertentu ternyata bukan akar masalah kemacetan, dan oleh sebab itu percuma pula bila kita merumuskan solusinya. Maka, demi mengakhiri kemacetan dari muka bumi, hanya tersisa satu hal yang bisa kita tuding sebagai biang kerok utama, hal yang sudah diketahui dengan baik oleh semua pemangku kebijakan di negeri ini tapi tak pernah benar-benar mereka carikan solusi. Hal tersebut hanya terdiri atas satu kata: urbanisasi.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Fitur Canggih pada Mobil yang Nirfaedah.