Apa Tagar #uinmalangsadar Adalah Tanda Buruknya Adab Mahasiswa UIN yang Kebanyakan Santri?

UIN MALANG, #uinmalangsadar

UIN Malang, Kampus Paling Santri dan yang Pengin Jadi Santri

Tiga hari yang lalu (10/6), jagat twitter digoncang oleh kemuntaban mahasiswa UIN Malang yang merasa muak dengan kebijakan kampus yang plin-plan dan tidak transparan. Kemuntaban itu berwujud tagar #uinmalangsadar (hurufnya kecil semua) yang trending dengan total 7 ribu cuitan dalam dua hari saja.

Tagar #uinmalangsadar adalah bentuk solidaritas mahasiswa yang mengharapkan transparansi biaya mahad dan penurunan uang UKT. Sebagai mahasiswa yang memiliki ekonomi pas-pasan, saya sangat setuju dengan inisiatif teman-teman mahasiwa perihal masalah ini. Toh tuntutannya nggak aneh-aneh kok. Hanya transparansi biaya mahad sama penurunan uang UKT. Itu saja.

Gerakan semacam ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa UIN Malang saja. Ada tagar-tagar serupa yang juga disuarakan oleh beberapa elemen mahasiswa kampus lain, kayak tagar #GunungDjatiMenggugat yang diinisasi Mahasiswa UIN Bandung.

Setelah tagar itu menjadi trending topik di twitter, pihak rektorat langsung merespon dengan baik dan mengatakan akan berusaha rembukan dengan Kemenag masalah diskon UKT ini. Ya, semoga saja nggak PHP lagi.

Dalam tulisan ini, saya nggak akan menjelaskan soal tagar #uinmalangsadar yang jadi trending, sebab kalian bisa menelusuri sendiri masalah dan tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa UIN Malang dengan memasukan kata kunci  “#uinmalangsadar” di twitter. Di sana akan kalian dapati teman-teman saya yang menjelaskan dengan lumayan rinci ribut-ribut ini. Mulai dari penjelasan yang bentuknya pamflet sampai meme, semua ada.

Ooo iya, saya mau ingetin juga. Siapa pun yang baca artikel ini, sebelum mencurigai saya sebagai mahasiswa yang suka bikin “kerusuhan”, sebaiknya kalian perlu baca artikel saya yang UIN Malang, Kampus Buat Santri dan yang Pengin Jadi Santri dan yang Dosen Juga Terkena Dampak Corona, Mahasiswa yang Suka Ngeluh Harus Sadar Itu sebagai bukti kalau saya bukan seorang haters kampus. Tulisan ini murni bentuk rasa cinta saya.

Oke, Lanjut…

Setelah menyaksikan rame-rame soal tagar itu, kemarin malam saya bersilaturahmi ke seorang senior buat ngajak diskusi. Niatnya sih ngajak diskusi receh sambil guyonnya aja. Biar mudah ceritanya, sebut saja senior saya ini Gus Jhon (nama palsu), nama panjangnya Gus Jhon Lennon. Mungkin itu nama yang pas, karena dia berambut gondrong dan pakai kaca mata.

Gus Jhon adalah senior saya yang mengajak saya untuk kuliah di UIN Malang. Dia lulus kuliah tiga tahun yang lalu. Saya suka berdiskusi dengan dia karena dia selalu memberi jawaban yang out of the box, lebih tepatnya nyeleneh. Tapi kalau dicerna pelan-pelan, masuk akal dan bisa jadi jawaban yang serius.

“Gus, sampean tahu nggak kampus kita lagi rame?” tanya saya membuka percakapan.

“Ada apa…?”

“Yang teman-teman protes masalah uang mahad sama biaya UKT itu, lho”

“Owalah yang pamfletnya warna merah itu, ta? Iya, iya. Aku ngikutin. Emang kenapa?” jawab Gus Jhon sambil nyeruput kopi.

“Menurut sampean gimana? Tindakan seperti itu etis apa tidak. Kan kita santri, Gus. Pastinya, nanti orang akan memandang santri kok tidak punya adab”

“Gini, Din. Memang setiap ada aksi, pasti ada reaksi. Jadi kalau menurutku, sih, ini dua permasalahan yang berbeda. Kalau kita berbicara tentang adab, maka wilayahnya masuk lingkungan dan budaya. Kalau berbicara tentang demo ataupun aksi-aksi seperti itu, maka masuknya wilayah kehidupan akademik. Aksi-aksi seperti itu perlu ada, agar aspirasi mahasiwa dan “kesehatan” birokrasi tetap terjaga. Lha, masalahnya sekarang, budaya dan lingkungan kita kan islami, ada mahad juga. Sehingga ketika kita nggak sesuai dengan budaya dan lingkungan itu, maka kita dicap tidak etis dan tidak beradab alias amoral” jawab Gus Jhon mantab.

“Ooo gitu ya, Gus.”

“Selagi kamu nggak punya niatan memerkosa kambing, itu berarti kamu masih punya adab. Gitu aja kok bingung.” Jawab Gus Jhon lagi. Saya pun tertawa ringan.

“Iya, Gus. Saya mau tanya lagi, nih.”

“Silakan. Pokoknya jangan yang berat-berat. Aku malas mikir. Hahaha”

“Biasanya kalau ada aksi-aksi gitu kan nggak semua mahasiswa mau ikutan. Lha, terkadang anak yang nggak ikut aksi itu dapat bullian dari anak yang ikut aksi. Entah itu dituduh anak apatis lah, atau anak orang kaya lah dan sebagainya. Menurut sampean menyikapi anak-anak seperti itu gimana, Gus?”

“Biasanya, model-model seperti itu anak yang baru masuk organisasi. Ataupun anak-anak yang ikut aksi tanpa tahu tujuan dan substansi dari aksi itu sendiri. Kasarannya itu ikut-ikutan”

“Maksudnya gimana, Gus. Saya kurang paham. Hehehe”

“Kita sebenarnya ngadain aksi itu kan suatu bentuk kebaikan bersama, bukan kebenaran yang final. Jadi output yang akan kita dapatkan nantinya adalah kepuasan, keharmonisan, kebijaksanaan. Kita bisa puas UKT didiskon, tapi hubungan kita juga tetap harmonis sama jajaran birokrat. Sedangkan yang dipahami sama temanmu tadi; bahwa aksi itu sebuah aspirasi menyuarakan kebenaran. Otomatis outputnya jadi siapa yang benar siapa yang salah. Sehingga dia menganggap bahwa anak yang nggak ikut demo itu salah. Padahal cara berpikirnya nggak begitu,” terang Gus Jhon sambil sesekali menghisap rokoknya.

“Owalah. Paham, Gus,” jawab saya sambil senyum tipis. Saya diam sejenak untuk menyulut rokok, kemudian bertanya lagi “Kalau boleh tahu, sampean dulu ikut organisasi apa, Gus. Kok bisa paham beginian?”

“Saya kan sudah sering bilang ke kamu, saya dulu nggak ikut apa-apa, cuma teman ngopiku saja yang bermacam-macam. Saya lebih nyaman jadi mahasiswa garis lucu saja,” jawabnya sambil tertawa. Saya yang mendengarkan dan memandangi wajahnya juga ikut tertawa.

“Iya, Gus. Terkadang kan ada tuh sebagian dosen yang suka ngancam ngasih nilai jelek ke anak yang ikut-ikut aksi. Menurut sampean gimana, Gus?”

“Gimana ya. Saya kadang-kadang juga bingung sama dosen yang nggak asik kayak gitu. Kalau saya yang jadi dosennya, saya akan buat tagar tandingan. Semisal buat tagar #Dosenbaik, jadi twitt-nya nanti isinya efek-efek negatif ikut aksi atau sejenisnya. Tapi, ya nggak akan mungkin lah saya jadi dosen, lha wong rambut saya aja gondrong,” terang Gus Jhon. Kami pun sama-sama tertawa.

Malam itu memang malam yang spesial bagi saya. Bisa menyikapi isu panas dengan guyonan. Setelah beberapa menit jeda, Gus Jhon kemudian melanjutkan pembicaraan.

“Sebenarnya sih, para dosen dan birokrat harus bersyukur dengan adanya tagar itu”

“Kok bisa gitu, Gus?”

“Lha, “kata” yang dibuat sama teman-temanmu itu kan UIN Malang secara universal, bukan menjurus ke #Birokrasisadar atau #Dosensadar. Sehingga sebenarnya tagar itu secara implisit mengajak semua warga kampus untuk mulai sadar dan mawas diri” tambah Gus Jhon. Saya hanya melemparkan senyuman sambil manggut-manggut, padahal saya nggak paham apa yang ia sampaikan.

“Tak kasih satu contoh ya. Kamu mau ikut salat jumat di mastar (sebutan masjid UIN Malang) kan gara-gara ada es cendol gratis di gerbang belakang. Itu pun berangkatnya akhir-akhir pas waktu iqomah, biar dapat tempat di luar masjid, habis itu nggak pakai wiridan langsung was-wes ngantri ambil es cendol. Lha, setelah adanya tagar #uinmalangsadar, meskipun ada es cendol atau tidak, kamu bakalan sadar kalau jumatan itu wajib bagi orang laki-laki” terang Gus Jhon sambil meringis tipis-tipis. Sontak saya tertawa cukup keras. Karena saya juga termasuk pecinta es cendol gratisan itu.

“Ada satu lagi nih contoh yang sudah jadi tradisi”

“Apa itu, Gus?”

“Kamu pasti juga sering, kan, tumbas gorengan di mahad tapi bayarnya nggak sesuai porsi. Dengan adanya tagar ini, mungkin secara perlahan bisa membantu mengurangi kerugian dan keresahan ibu-ibu yang punya saham gorengan di mahad itu. Meskipun gorengan itu nggak ada yang jaga, kamu tetap sadar, kalau ambil tiga bayar satu itu dosa” tambah Gus Jhon sambil ketawa. Saya pun sontak ikut ngakak setelah mendengarkan ucapannya. Ancen Gus Jhon asem. Batinku saat itu.

BACA JUGA UIN Malang, Kampus Buat Santri dan yang Pengin Jadi Santri dan tulisan M. Izzuddin Rifqi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version