Mumtaz Rais cekcoK di atas pesawat. Perseteruan itu terjadi antara Mumtaz dengan pramugari dan salah satu penumpang, yang kebetulan salah satu pimpinan KPK. Keributan di atas pesawat kemarin sontak memancing aksi koor netizen, yang mengaitkan ulahnya dengan sang bapak, Amien Rais. “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, begitu pernyataan seragam para netizen.
“Like father like son.” Padahal kalau mau adil, yang diperbuat Mumyaz sama sekali tak berurusan dengan Amien Rais.
Sebab bisa saja waktu peristiwa itu terjadi, Amien Rais sedang bercengkerama dengan keluarga di rumah, atau sedang membaca buku dengan tenang, atau sedang ngobrol santai di pos ronda sambil main catur. Duh, apa salah Amien Rais, sih.
Orang tua memang ikut andil terhadap pembentukan karakter anaknya. Bahkan persentasenya paling besar. Porsi terbesar itu dirasakan anak ketika belum bisa berpikir mandiri, belum cakap beradaptasi dengan lingkungannya.
Namun manakala si anak sudah bisa berpikir mandiri alias dewasa, faktor terbesar pembentuk sikap berikutnya adalah lingkungan. Terlebih ketika remaja, meski porsi terbesar komunikasi si anak lebih banyak dengan orang tuanya, namun secara kualitas, teman-teman dan lingkungan yang utama membentuk kepribadian si anak.
Menurut Horton, ada 5 faktor pembentuk karakter anak, yaitu warisan biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok, dan pengalaman unik. Dari kelima faktor tadi, dan jika kita mau bersikap adil, maka perilaku seperti Mumtaz itu seharusnya juga ditimpakan kesalahannya kepada pihak lain juga, bukan ke Amien Rais saja.
Mungkin kepada teman-temannya, lingkungannya, atau bahkan bila perlu kepada guru-gurunya juga. Sehingga kita tidak menuduh secara serampangan. Pernyataan justifikasi seperti, “O Pantas, anaknya si Anu kok”, tidak lagi kita lihat dalam percakapan panas di media sosial
Toh manakala si anak perbuatannya membanggakan, pihak lain juga ikut latah meng-aku-i nya.
“Eh, itu yang jadi DPR itu teman sekolahku lho”, atau “Lihat, itu yang jadi Direktur dulu muridku lho”. Nah, konsep ketidakadilan inilah yang sering kita lakukan. Lingkungan yang makan nangkanya, orang tua yang kena getahnya.
Jadi menghubungkan sikap anak dengan orang tua secara berlebihan itu tidaklah tepat. Secara hukum mereka berdiri sendiri, secara sosial mereka juga berdikari, hanya takdir DNA saja yang membuat anak-orang tua terhubung.
Satu sikap kurang tepat dari si anak, tetapi lantas semua kesalahan harus ditimpakan utuh kepada orang tuanya, yang bahkan tidak tahu-menahu itu
Saya di sini bukan bermaksud membela Amien Rais, bukan pula kebetulan saya berposisi sebagai seorang bapak. Juga bukan karena saya dulu adalah salah satu penggemar Amien Rais, dulu lho ya. Namun meletakkan permasalahan pada tempat yang semestinya memang harus kita lakukan.
Terlebih lagi, Mumtaz bukan anak-anak lagi. Ia sudah dewasa, yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Tentu ia bisa bersikap kesatria. Memang pernyataan ini agak meragukan, sebab sewaktu cekcok itu, ia membawa-bawa nama temannya yang wakil ketua komisi itu.
Namun peristiwa di atas, dengan membawa-bawa nama kelompok atau beking, sudah umum terjadi. Apalagi ketika sedang emosi dan berada dalam posisi terpojok, wajar kan. Contohnya ketika ada orang tenggelam, apa saja ditarik apa yang dapat ditarik dan berada dalam jangkauannya.
Saya tidak tahu, apakah dalam percekcokan itu terjadi tarik-menarik nama lain yang lebih luas dan jauh. Dan apakah tarik-menarik itu juga dilakukan oleh pihak lawannya. Entahlah, namun baiknya hal ini tidak perlu diperpanjang lagi. Sebab itu juga wajar adanya.
Yang terpenting harus kita lakukan di sini adalah bisa bersikap adil. Jika berlaku adil saja kita tidak bisa, maka dengan logika sama yang anda lakukan, sehingga jangan-jangan kitalah yang sebenarnya sedang menurunkan kebiasaan jelek ini. Sebagai tabiat jelek hasil warisan orang tua kita masing-masing, serta menurunkannya kepada anak-anak kita.
Maka sebenarnya apa yang dilakukan oleh Mumtaz itu bukan hanya memalukan Amien Rais, namun juga lingkungannya. Dan komentar para netizen yang pedas itu, dapat diartikan juga sebagai tindakan yang memalukan bagi lingkungannya masing-masing.
Namun bisa jadi tebakan saya ini keliru, karena bisa jadi bapaknya Mumtaz ini sebenarnya bangga-bangga saja terhadap kelakuan anaknya. Siapa tahu lho ya.
BACA JUGA Nia Ramadhani Sebagai Duta Sosialita Indonesia dan tulisan Sofyan Aziz lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.