Kawan-kawan saya masih banyak yang bertanya-tanya: apa itu Kurikulum Prototipe? Umumnya, begitu mendengar akan adanya wacana kurikulum baru pada 2022, mereka sudah pesimistis duluan. Bagi mereka, perubahan kurikulum adalah suatu hal yang memuakkan. Dari dulu, kurikulum digonta-ganti ya hasilnya tetep gini aja. Lalu dengan mudahnya nuduh ganti kurikulum sebagai proyekan yang dilakukan Menteri Pendidikan baru.
Hmmm, tampaknya ada beberapa hal yang perlu diluruskan akan hal ini. Saya pribadi sangat tertarik untuk segera merasakan penerapan Kurikulum Prototipe di tahun ajaran baru nanti. Soalnya, kurikulum ini semacam sebuah jawaban dari kegundahan yang selama ini kita rasakan.
Sebelumnya, yang perlu diketahui di tahun ajaran berikutnya tidak semua sekolah wajib menerapkan Kurikulum Prototipe ini. Ketika ada sekolah yang merasa belum siap menerapkannya, mereka punya pilihan untuk menggunakan Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan). Sepanjang 2021, Kurikulum Prototipe baru diterapkan di sekolah-sekolah penggerak.
Kurikulum ini lahir sebagai pemulihan dari proses pembelajaran sebelumnya. Dibandingkan kurikulumnya sebelumnya, ia tampil lebih praktis dan lebih fleksibel. Sebab dalam penerapannya nanti bergantung pada kebijakan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Sehingga inti dari kurikulum ini adalah kebebasan dan kemerdekaan bagi sekolah, guru, dan siswanya. Mari kita bahas satu-satu.
#1 Kemerdekaan bagi sekolah
Di kurikulum sebelumnya jumlah pertemuan tiap matpel dihitung per minggu. Kini, di Kurikulum Prototipe jumlah pertemuan dihitung per tahun. Sehingga sekolah memiliki kebebasan untuk mengatur dan membagi jam pelajaran sesuai kebutuhan.
Misalnya, jatah pertemuan matpel Matematika dapat difokuskan di semester satu. Kemudian sisanya barulah disampaikan di semester dua. Atau sebaliknya, matpel Kesenian tidak diajarkan di semester satu, tapi difokuskan di semester kedua.
Bagi saya ini cukup membantu. Misalnya, sekitar bulan Agustus sekolah memiliki kesibukan untuk mengikuti rangkaian acara HUT RI. Pertemuan tatap muka di bulan tersebut bisa dikurangi. Lalu, dapat ditambah di bulan berikutnya saat sekolah tidak disibukkan dengan kegiatan eksternal.
#2 Kemerdekaan bagi guru
Di kurikulum sebelumnya, guru selalu dikejar target untuk menyelesaikan materi dalam satu tahun ajaran. Entah gimana caranya, pokoknya materi yang buanyak itu harus rampung dan diterima siswa. Walhasil kebut-kebutan dalam mengejar materi selalu mewarnai pembelajaran di akhir semester.
Selama ini, kita lupa untuk memberikan kepercayaan kepada para guru. Padahal sebenarnya para gurulah yang selalu paham mana materi yang benar-benar penting, mana yang bisa diringkas, bahkan dilewati. Kini, kebebasan untuk berinovasi sepenuhnya adalah milik guru.
Kurikulum Prototipe ini memuat materi yang lebih sedikit. Capaian pembelajaran dituliskan secara umum. Sehingga, ada kebebasan bagi guru untuk memilih materi mana yang perlu disampaikan lebih dalam. Guru juga memiliki kebebasan untuk berkolaborasi dengan guru mapel lain untuk ngasih proyek penugasan. Tentunya, ini adalah tantangan dan kesempatan baru buat para guru.
#3 Kemerdekaan bagi siswa
Duduk di kelas sambil mendengarkan materi mulai pukul 07.00 hingga Pukul 15.00, tentu sangat membosankan. Membayangkan tahun-tahun berlalu dalam kepasifan: apakah itu tujuan belajar yang sebenarnya?
Kurikulum ini hadir memberikan solusi. Minimal sepertiga jatah tatap muka dalam satu matpel dialokasikan untuk proyek penugasan. Dalam satu tahun ada dua proyek untuk siswa SD dan tiga proyek untuk siswa SMP dan SMA. Inilah kesempatan bagi mereka untuk mengeksplor kemampuannya dan mengembangkan soft skill-nya. Lagipula melalui praktik dan penerapan, tentu akan membuat ilmu yang mereka peroleh lebih melekat dalam benak mereka, dibandingkan sekadar membaca, mendengar, atau menghafal.
Kebebasan ini lebih dirasakan saat duduk di bangku SMA. Tentunya, kebebasan yang bertanggung jawab. Saat naik ke kelas XI, siswa diperbolehkan menentukan matpel pilihan yang ia rasa akan berguna untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Siswa bisa memilih mata pelajaran yang ia rasa mampu atau yang ia sukai. Serta menghindari mata pelajaran yang ia rasa tak mampu atau tidak mendukung pilihan jurusan kuliahnya. Saat ia diberi kesempatan untuk memilih sendiri, besar kemungkinan ia akan bersedia bertanggung jawab atas pilihannya.
Sebagaimana banyak perubahan yang terjadi di masa kini, penerapan Kurikulum Prototipe juga memerlukan banyak adaptasi. Yang kita perlukan hanya keberanian untuk belajar sesuatu yang baru. Kekhawatiran akan adanya perubahan adalah hal yang wajar. Proses adaptasi untuk menghadapi keadaan baru memaksa kita meninggalkan kebiasaan lama. Namun, atas dasar kekhawatiran itu haruskah kita bertahan pada kebiasaan lama?
Penulis: Rezha Rizqy Novitasary
Editor: Audian Laili