Beberapa hari lalu, salah satu penyiar radio kebanggaan Hard Rock FM Jakarta, Gofar Hilman, berhasil memecahkan rekor dengan siaran selama 34 jam non-stop. Rekor ini sebelumnya dipegang oleh Indy Barends dan Farhan yang kala itu melakukan siaran selama 32 jam non-stop. Aksi Gofar Hilman ini bukan semata-mata untuk memecahkan rekor saja, tapi sekaligus menjalankan aksi kemanusiaan dengan mengumpulkan donasi untuk pembangunan sekolah-sekolah di wilayah terdampak bencana alam, seperti Palu, Lombok, dan Donggala.
Setelah selama hampir dua hari konsisten mendengarkan siaran Gofar Hilman dengan bermodalkan mobile apps, saya yang notabene mahasiswa ilmu komunikasi dan pastinya tidak jauh dari mata kuliah penyiaran juga teman-teman yang berprofesi sebagai penyiar radio ini mendapat ilham untuk menulis artikel terkait penyiar radio.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin hari semakin canggih ini, banyak orang beranggapan penyiar radio adalah profesi yang sudah tidak ada esensinya lagi. Karena sekarang siapapun bisa melakukan siarannya sendiri, entah itu taping atau live melalui berbagai platform yang tersedia, yang pada dasarnya lebih menarik karena beberapa mampu memenuhi kebutuhan visual kita. Singkatnya, eksistensi penyiar mulai terancam.
Dari anggapan itu, kemudian muncul omongan-omongan dari sebagian orang yang terkesan mendiskreditkan profesi penyiar radio ini, seperti “sorry ya, tapi saya sudah nggak dengar radio lagi”, atau “emang masih ada orang yang dengar radio?” atau “ngapain sih dengarin radio, kan sudah ada Spotify.” Omongan-omongan seperti ini tak jarang membuat saya ikutan jengkel. Ya memangnya Lalu Zohri harus berhenti ikut kejuaran cuma karena ada orang yang tidak suka lari? Atau haruskah Taufik Hidayat membakar semua ijazahnya penghargaannya hanya karena dia ingin fokus menganggur sudah pensiun bermain bulu tangkis?
Sebenarnya saya sendiri cukup sering mendengarkan radio di waktu senggang. Apalagi kalau ditemani segelas kopi dan hasil revisian dosen mie goreng hangat dikala hujan. Lengkap sudah rasanya, Hmm~.
Ketika sedang mendengarkan siaran radio, saya cenderung lebih menantikan suara penyiarnya dibanding menantikan lagu-lagu yang sebenarnya sudah bisa kita akses diberbagai platform streaming musik. Karena suara dari penyiar-penyiar radio ini terkadang bisa membuat saya merasa dekat secara batin walau raga kami belum pernah bersua.
Namun sedihnya, akhir-akhir ini cukup sulit untuk menemukan penyiar radio yang memposisikan dirinya lebih dari sekadar penghantar lagu bagi pendengarnya, khususnya di kota saya. Alhasil penyiar pun tugasnya hanya membacakan berita, ad-libs, dan berbagai hal-hal formal lainnya. Jadi semacam ada kesenjangan antara penyiar dan pendengar. Ya walaupun itu semua kembali lagi ke segmentasi radionya. Tapi alangkah lebih baik dan menyenangkan kalau penyiar radio bisa sedikit memposisikan diri sebagai teman dari pendengarnya.
Terlepas dari itu semua, kalau dipikir-pikir lagi, menjadi penyiar radio ini bagaikan langkah awal sebagian orang untuk meraih kesuksesan. Imam Darto dan Dimas Danang contohnya, yang sekarang menjadi host disalah satu program TV. Kemudian ada Cia Wardhana yang juga menjadi host program travelling disalah satu stasiun TV. Begitu juga dengan Vincent, Desta, Ringgo Agus, Fitri Tropica, Arditho Pramono dan masih banyak lagi. Seolah harus melewati tahap menjadi penyiar radio terlebih dahulu untuk menuju jenjang karier dan ketenaran yang lebih tinggi. Atau paling tidak pernah merasakan menjadi penyiar radio sekali seumur hidup.
Sebenarnya tidak perlu menjadi penyiar radio terlebih dahulu juga untuk bisa mencicipi kesuksesan dan ketenaran. Ada beberapa skill dari penyiar yang kalau kita mau sedikit lebih teliti ketika mendengar radio, niscaya kita akan tahu kalau sebenarnya cukup mengembangkan beberapa skill saja kemudian memanfaatkannya dengan bijak agar bisa menjadi seorang yang lebih baik dan lebih menarik dalam lingkungan sosial maupun pekerjaan.
Berdasarkan hasil pengamatan spontan yang saya lakukan, paling tidak ada empat poin penting yang ada pada penyiar radio yang saya temukan dan sekiranya akan bermanfaat bila dikembangkan dalam hidup yang fana ini. Empat poin ini di antaranya adalah skill komunikasi, kemampuan beradaptasi, karakter yang kuat, dan satu lagi kemampuan untuk mengontrol emosi. Coba saya uraikan satu-satu secara singkat.
Pertama, dalam berkomunikasi penyiar pada dasaranya hanya mengandalkan suara. Tapi kalau cuma bicara, semua juga bisa. Lalu apa? Penyiar juga memperhatikan ekspresi, interjeksi, artikulasi, intonasi, dan sebagainya yang membuat cara penyampaian mereka selalu lebih menarik.
Kedua, kemampuan beradaptasi seorang penyiar bisa dilihat ketika ada segmen wawancara dengan bintang tamu yang sudah dijadwalkan oleh radio. Mereka mampu menempatkan diri baik itu sebagai teman dari pendengar radio, pewawancara narasumber, dan sebagai penyiar. Kemampuan adaptasi ini juga ditunjukan lewat cara komunikasi mereka kepada narasumber yang berbeda-beda.
Ketiga, karakter seorang penyiar cukup kuat menurut saya. Kalau nggak percaya, coba deh pilih dua penyiar yang kamu tahu. Lalu bandingkan. Pasti mereka punya karakter masing-masing yang melekat pada diri mereka yang juga bisa kita lihat dari gaya siarannya.
Keempat, dengan menggunakan teknik smile voice, seorang penyiar akan nampak selalu bahagia lewat suaranya. Pendengar tidak pernah tahu apa yang sedang dirasakan penyiarnya, entah itu sedih, galau, dan lainnya sulit untuk ditebak oleh pendengar. Ini juga jadi salah satu ciri profesionalisme seseorang dalam bekerja, dengan tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan.
Sekiranya empat hal ini yang saya temukan dan saya rasa akan menjadi skill yang penting untuk dikuasai. Pada dasarnya semua berakar pada kemampuan berkomunikasi yang baik.
Walaupun radio sebagai media komunikasi yang hanya mengandalkan suara, tapi selalu ada pengalaman berbeda yang tidak pernah bisa kita dapat dari media lainnya, seperti TV, YouTube, atau mungkin live streaming dari beberapa publik figur. Ya, semoga saja radio akan terus ada dan nggak terlupakan dan semoga juga selalu ada penyiar-penyiar baru yang lebih asyik.