Akhirnya lima hari sebelum lebaran saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Ya setelah menerima instruksi dari atasan—Big Boss atau my beloved Bapak—yang secara lugas meminta saya untuk pulang. Maka pulanglah saya ke rumah—lokasi di mana orang-orang menyebutnya sebagai tempat kembali. Tapi menurutku sih—ah gimana ya ngomongnya. Mari pelan-pelan. Jalani dulu saja, siapa tahu jadian. uhuk uhuk~
Entah, mengapa otak saya selalu berusaha menghapus kata pulang dari penyimpanannya. Sejak mengenal kata rantau, perantau, rantauan, dan segenap turunannya, pulang bagi saya adalah pergi—bukan kembali.
Musim-musim lebaran gini ketika orang-orang berbondong-bondong mudik ke daerah asal dan dengan begitu mereka terlihat bahagia menyambut momen langka bersama keluarga yang datangnya hanya setahun sekali ini, betapa irinya saya melihat yang demikian. Bagaimana tidak, saya lantas menjadi enggan pulang di setiap momen-momen liburan baik itu ketika lebaran atau hanya libur semesteran.
Rasanya sebuah ungkapan yang berbunyi “buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya akan membuatmu asing di kampung halaman sendiri” adalah tausiyah pengetuk pintu hati yang tak kunjung bisa saya pahami. Benar juga—kita disekolahkan jauh-jauh dengan harapan agar bisa bermanfaat kelak di masyarakat terutama di kampung halaman. Tapi bagaimana bisa bermanfaat, kalau pulang saja tak mau. Perasaan terasing setiap kali pulang selalu menjadi cobaan. Membuat rumah sendiri seolah tempat aneh yang belum pernah kita kunjungi. Berkali-kali sampai muncul perasaan tak ingin kembali lagi.
Baiklah, saudara-saudarku sekalian. Orang memang bermacam-macam karakternya. Ada yang suka pulang sebulan sekali, ada yang malah nggak pengen pulang sama sekali. Tergantung hati dan jarak rumah, serta jangan lupa kondisi dompet dan persediaan ekonomi. Tapi bagi kalian yang sudah menemukan indah dan nikmatnya dunia perantauan, jangan heran bila kelak muncul perasaan malas pulang.
Bagi sebagian orang yang merantau, mungkin yang ditakutkan dari pulang adalah pencapian pribadi yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat—terutama dari kedua orang tua dan sanak famili.
Banyak dari golongan masyarakat yang terlanjur menganggap merantau adalah kunci kesuksesan. Siapa yang merantau mereka akan pulang dengan sukses. Parahnya persepsi kesuksesan di benak masyarakat kita tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang materi—kekayaan, kemapanan, dan pangkat yang tinggi. Mereka yang kaya berarti sukses—begitu pula sebaliknya. Dengan begitu, pemahamannya akan menjadi: merantau = sukses = kaya raya.
Maka ketika ada orang yang merantau namun tak kunjung memunculkan aura-aura kemapanan hidup, berarti orang itu sudah gagal memenuhi ekspektasi dan bayang-bayang masyarakat. Sehingga celetukan yang muncul akan menjadi, “Wah, kuliah jauh-jauh jadinya cuman gini,” “Ealah kerja jauh-jauh tetep aja gini-gini amat,” dan beberapa kalimat-kalimat pergunjingan lainnya.
Bagi saya—merantau itu tergantung niatnya. Tak melulu persoalan mencari kemapanan hidup. Bisa karena ingin mengasah diri, bisa karena mencari pengalaman, bahkan bisa juga karena bosan di rumah lalu iseng kemudian merantau. Berat memang ketika kampung halaman sudah tak ubahnya arena peradilan dan pertanggung jawaban sehabis merantau. Pertanyaan-pertanyaan horor datang silih berganti tak kenal susana hati. Kapan kerja? Kapan lulus? dan yang paling sulit dijawab oleh kaum-kaum jomblo, kapan nikah? hiks hiks~
Ketahuilah saudara-saudaraku, merantau itu nikmat dan bikin nagih. Kalau takut kecanduan mending jangan merantau saja lah. Bagi anak muda seumuran saya yang merantau untuk kuliah atau apapun, perantauan adalah lahan bebas aturan penuh hiburan-hiburan. Lain dengan rumah yang di mana-mana ada sisi tivi tetangga yang siap ngerasani kalau bertingkah macam-macam. Apalagi pengawasan ekstra orang tua yang tak bisa seenaknya kita abaikan. Kurang enak apa cobak merantau kalau sudah tak ada yang ngatur-ngatur dan ngomel-ngomel. Apalagi kalau merantau ke kota yang menjunjung tinggi nilai individualisme. Wes, sak karep-karepmu le/nduk~
Selain itu—di tengah perantauan—bisa jadi kita akan menemukan sosok teman-teman senasib seperjuangan yang akan mengisi hidup yang saling mengerti satu sama lain sehingga mereka seolah melebihi keluarga sendiri. Merekalah yang akan membuat rantauanmu nyaman meski dalam keadaan kepepet. Saling berbagi, saling mengisi kekosongan sambil ketawa-ketiwi. Merekalah orang-orang yang akan menerima tawa lepasmu serta keluh kesahmu terhadap sesuatu. Tanpa rasa sungkan dan malu, kita dan mereka akan berbagi hidup meski tak bisa berbagi hati—kalau sesama jenis kelaminnya.
Benar seperti kata pepatah, “Teman bisa lebih mudah kita anggap saudara daripada saudara sendiri.” Apalagi kalau sudah ketemu sosok lawan jenis yang rasanya jauh melebihi teman biasa, ehmm ehmm. Yang katanya pengen terus bersama walau badai menerjang, ciyee. Waduh serius, bakalan males pulang kalau udah gini. Nggak pengen pisah terus bawaaanya ntar.
Bila kita pulang, maka semua yang sudah saya ceritakan di atas akan jauh dari kita. Teman semakin berkurang pas kalo di rumah, bertindak tidak bisa seenaknya, nggak bisa misuh-misuh. Ya kita akan berpisah dengan kenyaman-kenyamanan itu meski sejenak sebelum balik perantauan lagi. Namun lambat laun, akan tiba saatnya semua harus direlakan menjadi kenangan. Menjadi ingatan-ingatan manis yang kelak hanya tinggal bayang-bayang.
Pikirkan saja bila pulang yang harus memenuhi segenap ekspektasi tinggi masyarakat serta harus meninggalkan kebebasan dan kawan-kawan di perantauan, masih yakin milih pulang? It’s up to you. Apapun pilihanmu aku dukung kok, hiya hiya~
Tapi biasanya, yang paling diberatkan kalau tidak pulang ya orang tua. Nanti kalau ditanya mau pulang apa nggak, jawabnya apa coba? Mau bilang tidak, takut dikira nggak kangen sama orang tua—bisa durhaka kita orang. Mau bilang iya, aduh, momen-momen indah bersama kawan-kawan terlalu sayang untuk dilewatka—bingung antara dua pilihan. Tapi hidup tetaplah pilihan, salah satu harus direlakan demi sesuatu yang lain.
Untuk saat ini, saya tidak akan memberi bocoran mana yang seharusnya kalian pilih. Biar saya beri clue-nya saja. Merantau itu proses dan kampung halaman tidak harus menjadi tujuan utama. Jadi masak kamu mau terus berkutat pada proses? Lalu temukanlah tujuan utamamu sendiri—apapun dan di manapun itu tak harus kembali lagi ke kampung halaman. Mau niru Naruto yang bercita-cita jadi Hokage juga boleh kok.
Saya rasa kalian pasti paham. Tapi bagi yang sudah terlanjur bilang, “Iya, mau pulang” ketika ditanya sama orang tua, maka bersabarlah dengan segenap perubahan budaya yang terjadi. Cultural shock pastilah ada bagi kalian yang terlanjur nyaman di perantauan. Apalagi buat yang sudah menjalin hubungan dengan seseorang di sana. Move on dulu bentar ya beb dari zona nyaman, biar nanti nggak kebiasaan manja pas kalo udah mau nikah. Cihuuy~