Wayang kulit memang sebuah kesenian yang tidak terbatas pertunjukan saja. Pada setiap kisah yang diceritakan oleh sang dalang, setiap tokohnya memiliki keunikan yang bisa diamati oleh siapa pun. Generasi muda sekarang mungkin kalau nonton wayang, mungkin mentok di adegan limbukan saja. Yang lebih parah lagi, berangkat ke tempat pertunjukan cuma buat mencari-cari jajanan saja. Hehehe…
Kalau kamu nonton wayang kulit dari awal sampai tanceb kayon, mungkin kamu akan kenal dengan dua tokoh fenomenal ini. Iya, keduanya adalah Antasena dan Wisanggeni. Kedua tokoh ini adalah anak-anak Pandawa. Antasena anaknya Bima dan Urangayu. Wisanggeni adalah anaknya Arjuna dan Dresanala.
Dalam pewayangan, khususnya gagrak Yogyakarta, kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh dwitunggal muda yang kritis dan cerdik terhadap masalah kehidupan. Selain cerdik, mereka juga sedikit nakal. Bagaimana tidak, mereka berdua tidak pernah berbahasa halus kepada siapapun layaknya saudara-saudaranya yang lain. Bahkan, dalam beberapa lakon wayang mereka berdua juga menghajar para dewa yang seringkali mengabaikan “tatanan” yang ada.
Lakon-lakon wayang yang mengisahkan kejeniusan dan usilnya dua tokoh ini seperti Wahyu Eka Jati, Semar Mbangun Kayangan, Wahyu Topeng Waja, dan sebagainya. Tak jarang keduanya sering merepotkan para Kurawa. Bahkan para dewa sekalipun berani dihajarnya.
Pada lakon kelahiran Wisanggeni misalnya, dia sudah mulai membuat kontroversi. Dia tidak mempan dibakar di Kawah Candradimuka. Bahkan, dia berani menghajar dewa-dewa yang menghalanginya untuk bertemu dengan kedua orangtuanya. Dalam lakon lain, dia terang-terangan pergi ke Astina dan menemui Duryudana. Ia mengatakan ingin meminta negara Astina untuk diberikan kepada Pandawa karena itu memang haknya. Dia juga pernah mengalahkan Bathari Durga dan Bathara Kala dalam lakon Wahyu Gada Inten, serta mengalahkan egoisme sepihak Bathara Antaboga yang dianggap curang pada lakon Wahyu Topeng Waja.
Antasena beda lagi. Sekilas wataknya yang terlihat seperti orang bodoh saja, kalau dalam bahasa Jawa disebut gemblung atau bambung. Akan tetapi prinsip dan idealismenya sungguh tinggi mengalahkan saudara-saudara tuanya.
Suatu ketika, Petruk datang ke Negeri Amarta untuk memberitahukan bahwa Semar ingin membangun kayangan dan mengundang Para Pandawa untuk hadir ke desanya. Kresna dengan pendapatnya tidak setuju dengan kemauan Semar itu. Dia memerintahkan dua saudara tua Antasena, Gathutkaca dan Antareja, untuk mengusir Petruk. Tetapi, Antasena justru melindungi Petruk dengan dasar bahwa punakawan adalah pamomong Pandawa yang harus dihormati.
Mereka berdua memang keras, sepintas terlihat seperti semaunya sendiri. Tetapi, bukan berarti mereka arogan dan egois. Mereka berdua memiliki dasar pemikiran yang matang. Terkadang lebih dewasa dari kakak-kakaknya seperti Antareja, Gatotkaca, Abimanyu, Irawan, dan sebagainya. Hanya kedok masa bodoh dan dianggap “bambung” saja yang menutupi kebijaksanaan dan kedewasaan pikir kedua tokoh itu.
Kesaktian tanpa tanding antara Antasena dan Wisanggeni seolah-olah membuat kemenangan Para Pandawa pada saat Baratayuda berada di depan mata. Bahkan, tanpa prajurit pun mereka berdua sanggup untuk mengalahkan ribuan prajurit Korawa. Tapi kenyataannya, mereka berdua harus termakan oleh janji bahwa jika mereka berdua tidak ditumbalkan untuk kemenangan Pandawa dan nekad maju perang, tentu Pandawa akan kalah.
Seandainya Pandawa mempunyai dua orang ini, tentu Amarta pasti akan menjadi negara superpower. Tetapi, entah mengapa sosok kedua pemuda yang kritis, dewasa, dan cerdik dalam berpendapat harus hilang oleh kenyataan janji bahwa Pandawa akan kalah jika mereka berdua ikut berperang di Baratayuda. Padahal, di pihak Pandawa sendiri juga kehilangan banyak panglima perangnya. Apakah ini juga termasuk bagian dari kesepakatan saat Pandawa dan Korawa bermain dadu?
Membahas dua tokoh ini, mengingatkan kita pada pernyataan Sujiwo Tejo dalam menyoroti demo mahasiswa dalam menolak RUU KPK pada tahun lalu. Dalam tweet-nya, ada “Antasena” yang terlibat dalam menyuarakan penolakan RUU tersebut. Seandainya ada sosok “Wisanggeni”, akankah seperti kisah heroik dwitunggal Antasena-Wisanggeni yang menggugat ke Kayangan demi sebuah kebenaran tanpa pamrih?
Entahlah. Mungkin perjalanan lakon itu belum selesai. Mungkin baru saja mencapai goro-goro atau bahkan baru saja habis limbukan. Mari kita nikmati lakon wayang ini sambil menyeruput kopi. Setelah dalang selesai menceritakan kisah wayang dan pagi telah tiba, mari kita sudahi memikirkan negara Amarta dan mulai berpikir untuk negeri ini.
BACA JUGA Teror Andong Pocong di Sidoarjo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.