Kedatangan Studio Ghibli dalam jagat dunia anime memang mengambil tempat amat banyak di hati penggemarnya dan kadung paripurna. Tidak hanya kualitas artwork Hayao Miyazaki, cara mereka mengolah seorang tokoh juga patut menjadi acuan. Muncul sebagai “penantang” Disney, menjadikan Ghibli amat diminati. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada anime lain, Ghibli membuat anime menjadi patut diperhitungkan dalam pangsa pasar dunia. Ini baru anime versi Ghibli, lalu bagaimana dengan anime Netflix?
Muncul pertanyaan di hati para penggemar anime yang begitu prinsip dan syahdu, apa itu “anime”? Sebuah pertanyaan yang filosofis sekali. Dirunut dari sejarah anime, perkara ini merupakan masalah terminologi. Berasal dari kata “animation” (atau “cartoon”) yang diucapkan oleh orang Jepang menjadi “anime-shon”. Tak ada penjelas karakteristik anime secara mendalam dan resmi. Atau pembeda animasi di luar Jepang dan animasi “produk asli Jepang”.
Pada 1960, dalam masa ngosak-ngasiknya anime di pasaran, muncul sebuah perdebatan menarik. Cikal bakal sebuah perdebatan yang bergulir hingga saat ini. Kasusnya menarik, ketika Barat mengatakan anime adalah bentuk lain sebuah animasi (animation atau cartoon), menurut orang Jepang sendiri anime memiliki model ciri khas yang unik dan membedakannya dengan kartun. Pun mereka meletakan anime lebih dalam pada kehidupan mereka. Bahkan, sektor pendidikan pun bisa disokong oleh anime.
Tepat pada 27 Oktober, Netflix mengadakan event besar dalam tajuk Festival Anime Netflix 2020 yang diadakan di Tokyo, Jepang. Mereka memperkenalkan judul-judul anime baru yang akan diudarakan dalam layanan streaming mereka dalam waktu dekat. Melalui rencana Netflix ini, saya meyakini perdebatan mengenai pendefinisian anime akan menjadi semakin gayeng. Mengapa? Begini, Lur.
Melalui statemennya, Taiki Sakurai selaku Netflix Anime Chief Producer mengatakan perihal yang unik bin menarik. Ia mengatakan anime itu seperti sushi, makanan khas Jepang. Baik ketika sushi diolah di Jepang, di Amerika, atau di belahan dunia mana pun, sushi tetaplah sushi. Tempat diolahnya di mana, bahannya didapat dari mana, tidak berpengaruh banyak dalam meluruhkan apa itu “sushi”.
Sakurai menganalogikan sebuah sushi sebagaimana perkara anime dalam Netflix. Netflix memang hendak menggandeng beberapa negara untuk “mengembangkan” anime. Mulai dari tetek bengek studio sampai musik, mereka akan bekerja sama bersama negara-negara seperti Thailand hingga Australia. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi perkembangan anime itu sendiri. Namun, apakah ini akan berpengaruh banyak pada hasil animenya? Lah, katanya anime itu khas Jepang, kok ini ada orang Thailand dan Australia yang ikutan. Mana Netflix perusahaan Amerika lagi. Pusing nggak pala berbi?
Di Barat sendiri pernah populer istilah “anime-influenced animation” yang merupakan karya animasi non-Jepang yang terinspirasi dari anime. Tidak ada kesepakatan yang mengatakan anime adalah pabrikan yang seutuhnya berasal dari Jepang, namun jika mengacu kepada gaya animasi Jepang, saya manthuk-manthuk setuju. Anime-influenced animation inilah yang memunculkan visual animasi Barat dengan gaya anime.
Contohnya Toei Animation dengan perusahaan Amerika yang membuat Transformers TV series. Avatar: The Last Airbender produksi Nickelodeon Animation Studio juga menghadirkan nuansa yang sama. Netflix, dalam line-up yang mereka keluarkan, terlihat seperti mengadopsi anime-influenced animation. Seperti Pacific Rim: The Black yang merupakan produksi dari Legendary Entertainment dan Polygon Pictures.
Artwork yang dibawakan dalam Pacific Rim: The Black mengadopsi pakem-pakem dalam anime. Namun, keterlibatan “pihak lain” membuat anime Netflix yang akan mengudara pada 2021 menjadi pertanyaan penting. Style dalam anime adalah hal yang utama. Namun, ketika mengatakan anime harus saklek dengan buatan di Jepang, kita perlu pertimbangkan lagi.
Banyak diskusi anime yang mengatakan sebuah anime memiliki ciri khas tersendiri. Mulai dari style hingga demografi yang jelas. Melihat list yang dikeluarkan oleh Netflix, tentu kita akan terkejut kepada penggunakan gaya yang mereka gunakan dalam Resident Evil: Infinite Darkness. Mengadopsi dari gim besutan Capcom dan akan diproduksi oleh TMS ini menjadi diskusi tersendiri dalam Netflix menggunakan istilah anime.
Menurut saya pribadi, jika anime merujuk kepada penggunaan gaya sketching of characters, Resident Evil: Infinite Darkness tidak bisa dimasukan dalam kategori anime. Menyebutnya anime-influenced animation pun tidak memasuki kategori lantaran definisi ini merujuk kepada animasi Barat yang “meniru” style dari anime.
Terlebih dalam anime berjudul Rilakkuma’s Theme Park Adventure yang dirilis posternya oleh Netflix. Anime ini direncanakan akan diproduksi menggunakan format animasi stop-motion. Netflix memasukan animasi (yang mungkin bisa dimasukan ke dalam demografi kodomo) sebagai anime.
Tapi, di sisi lain, mengatakan suatu hal dikatakan anime harus saklek “dibuat” di Jepang pun saya kurang setuju. Sedikit wagu. Studio yang digandeng oleh Netflix adalah generasi baru yang terbuka kepada perubahan. Mulai dari Production I.G dan Bones yang digandeng pada 2018, Sublimation dan David Production pada 2019, dan Science SARU, Studio MIR, dan MAPPA yang digandeng pada tahun 2020, merupakan generasi yang bisa mendobrak pakem-pakem lama.
Seperti apa yang dikatakan oleh Taiki Sakurai, Netflix hendak mengembangkan ide-ide barunya. Mulai dari adaptasi novel, manga Seinen yang underrated, menyentuh kultur pop Jepang, hingga mengembangkan anime dan menggandeng entitas lain dari berbagai negara, tentu patut kita nanti. Toh tujuan akhirnya itu bisa menembus pangsa pasar yang lebih luas atau tidak. Apa lagi dalam kondisi pembajakan yang kian marak.
Saya justru memiliki indikasi bahwa Netflix ini nggak mau repot menspesifikasikan animasi yang akan mereka angkat. Jadi tiap animasi dan budaya pop Jepang yang akan mereka angkat, mereka memasukan dalam kategori anime. Dengan konsekuensi pendefinisian anime akan bergerak amat liar. Pun membuka ruang diskusi tentang orang yang memandang anime sebagai style tertentu, definisi, atau hanya sebagai arti terjemahan “animation”.
Anime Netflix digadang-gadang bakal bikin heboh wibu tahun depan. Dengan beberapa judul “menarik” yang bakalan rilis, wibu mungkin sedikit goyah dan murtad dari ideologi anime lama yang saklek menganggap anime itu ya murni dari Jepang. Napas serial-serial yang dirilis Netflix mungkin bakal sedikit berbeda. Ibarat kata, anime bakal nggak terlalu ndakik-ndakik lagi. Sekarang masalahnya, wibu bakal makin gayeng atau malah spaneng? Ditunggu saja.
Sumber gambar: Dokumentasi Netflix 2020
BACA JUGA Keheranan Moeldoko Kenapa UU Cipta Kerja Terus Didemo yang Bikin Saya Ikutan Heran dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.