Perbincangan di antara para pecinta anime akhir-akhir ini diisi kembali dengan isu perlakuan buruk para animator di dalam industri anime. Semuanya dimulai dengan salah satu tweet dari animator MAPPA yang viral minggu lalu. Dia menyatakan mengundurkan diri dari studio tersebut sambil mengeluarkan unek-unek bahwa mayoritas waktunya di MAPPA hanya dihabiskan untuk memperbaiki garis daripada menggambar. Selain itu, dia juga mengkritik keputusan studio MAPPA untuk mengerjakan 3 anime lainnya bersamaan dengan produksi Attack on Titan Season 4.
Apa yang sang animator ceritakan sebenarnya tidak mengejutkan. Sudah rahasia umum bahwa gaji rendah dan jam kerja panjang tanpa uang lembur menjadi momok industri anime. Pada 2019 misalnya, asisten produksi Madhouse bergabung dengan serikat buruh untuk menagih uang lembur 150 jam yang tidak dibayarkan studio tersebut. Sedangkan di awal 2020, animator muda hingga veteran membagikan pengalaman kerja rodi mereka saat masih berstatus In-betweeners dengan hastag “Neraka In-betweeners”.
Pekerjaan In-betweeners oleh banyak studio anime, diberikan kepada animator muda karena ada anggapan mereka cuma bakal menjiplak frame dari animator veteran. Tidak mengejutkan jika pekerjaan ini mendapat gaji paling rendah di seluruh industri anime. Padahal adegan terakhir yang kita tonton adalah hasil karya In-betweeners. Tanpa In-betweeners handal, anime yang Anda tonton mungkin akan memiliki inkonsistensi kualitas pada hasil akhirnya.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai penonton anime biasa? Sebenarnya tidak banyak karena ini sudah problem struktural dari industri anime sendiri. Namun, satu hal yang bisa kita lakukan adalah berhenti memuji studio anime secara berlebihan dan memberi apresiasi pada tempatnya. Contohnya, saat anime Jujutsu Kaisen tayang musim lalu, masih banyak yang menyampaikan pujian ke studio MAPPA seolah-olah perusahaan tersebutlah alasan di balik kesuksesan anime tersebut.
Namun, di saat bersamaan, produser MAPPA memaksakan produksi 4 anime sekaligus dalam jangka waktu berdekatan. Penyakit overproduksi ini cukup umum diderita studio anime, tapi MAPPA terkenal sebagai salah satu yang kronis. Ini studio yang outsourcing produksi Altair: A Record of Battles ke 10 studio lainnya, loh!
Saat Jujutsu Kaisen tayang, Attack on Titan, Gymnastics Samurai dalam proses produksi dan produksi The Zombieland Saga Revenge dimulai tepat sebelum serial tersebut berakhir. Jelas dengan jadwal sepadat ini, produksi Jujutsu Kaisen normalnya bakal bermasalah. Hanya lewat profesionalitas dan koneksi sutradara Sunghoo Park, tim produksi Jujutsu Kaisen berhasil mengumpulkan animator dan sutradara episode veteran untuk bekerja dalam proyek ini. Mayoritas dari mereka adalah pekerja lepas tanpa koneksi apa pun sebelumnya dengan studio MAPPA
Saat adegan pertarungan antara Todo dan Itadori vs Hanami di episode 19-20 misalnya. Sutradara Park harus mengandalkan teman-temannya dari luar MAPPA sebagai animator adegan penting ini selain dirinya sendiri. Nama seperti Koji Fujimoto, Keiichiro Watanabe, Yuuki Yamashita, Hisaaki Okui, dan Tatsuya Yoshihara mungkin tidak setenar nama studio MAPPA. Namun, tanpa mereka saya jamin produksi Jujutsu Kaisen bakal bermasalah karena sumber daya studio terbagi dengan proyek lainnya.
Yoshihara bahkan sebenarnya adalah sutradara Black Clover dan sedang menganimasikan pertarungan Asta dan Yami vs Dante di episode 162-163. Di saat bersamaan dia juga membantu animasi episode 4 Wonder Egg Priority. Namun, dia masih menyempatkan diri membantu menganimasikan pertarungan di episode 17 dan 19 dari Jujutsu Kaisen. Semua pada rentang waktu 2 minggu secara bersamaan!
Kalau bukan karena sutradara dari proyek sebelah, animator lepas dari luar studio, serta koneksi dan kelihaian sutradara Park sendiri, mungkin MAPPA sudah kebakaran jenggot berusaha memenuhi ekspektasi penonton Jujutsu Kaisen. Keberadaan Yoshihara juga membuat saya untuk sekali lagi menekankan bahwa mayoritas animator adalah pekerja lepas yang gonta-ganti studio tergantung proyek.
Kadang mereka bergabung dalam satu proyek atau bahkan membantu di proyek lainnya hanya didasarkan hubungan personal dengan rekan satu profesi. Merek studio sekali lagi bukan jaminan kualitas suatu anime. Jika ingin memberikan apresiasi pada animasi bagus dari serial favorit kalian, jangan kepada benda mati yaitu nama studio. Berikan kepada nama-nama animator, sutradara, dan staf yang menjadi penentu kesuksesan suatu produksi anime.
Apalagi di era sekarang, penonton anime sudah tidak perlu kesulitan lagi mencari informasi soal siapa yang menganimasikan adegan tertentu. Anime News Network punya database lengkap staf yang bekerja di industri anime beserta resume pekerjaan terakhir mereka. Situs Sakugabooru yang dikelola swadaya oleh para pecinta animasi, ada untuk mengatalogkan klip animasi beserta nama animatornya. Belum lagi keberadaan situs khusus seperti Sakugablog atau channel YouTube Canipa Effect yang membuat catatan produksi anime untuk penonton awam.
Tentunya, saya nggak bilang pecinta anime tidak boleh sama sekali memuji studio anime dalam konteks apa pun. Namun, pujilah mereka saat melaksanakan praktik baik bagi keberlangsungan industri anime. Seperti bagaimana Kyoto Animation mempekerjakan semua animatornya sebagai pegawai tetap bahkan untuk posisi In-betweener yang sering diberikan untuk animator muda dengan sistem pegawai kontrak dan gaji rendah di studio lain. Atau Studio Ghibli yang memberikan gaji bulanan bagi animator muda yang baru bergabung sebesar ¥200.000 beserta pelatihan. Saat di studio lain mereka hanya dibayar dengan tarif per gambar dan tidak mendapatkan pelatihan resmi.
Bahkan upaya perubahan kecil seperti studio BONES menjanjikan gaji minimal ¥80.000 dan pelatihan bagi animator muda terlepas dari kinerja mereka untuk satu tahun pertama atau White Fox dengan pendirian studio pelatihan di Izu yang memiliki biaya hidup lebih murah dari Tokyo patut diapresiasi.
Intinya kalau memang suatu studio anime melakukan tindakan bagus untuk memastikan keberlanjutan industri anime kita harus apresiasi. Bukan saat mereka malah menindas animator mereka dan memaksakan sumber daya manusianya ke ujung tanduk.
BACA JUGA Mengenal Demografi Shonen, Shoujo, Seinen, dan Josei dalam Manga dan Miskonsepsi Seputarnya dan tulisan Raynal Arrung Bua lainnya.