Bolak-balik Jogja-Bogor
Bicara soal angkringan mengingatkan saya pada dua tahun yang lalu, ketika untuk sebuah keperluan, hampir setiap pekan saya bolak-balik Jogja-Bogor. Sering kali sampai Terminal Jombor sekitar jam tiga pagi. Untuk menunggu pagi, saya biasanya nongkrong di angkringan tepat di depan terminal. Sebuah hal yang atas dasar keamanan, saya juga enggan melakukannya bahkan di kota tempat saya tinggal.
Di angkringan ada suasana egaliter. Saya tidak pernah merasa kesepian. Di sela-sela menyeruput kopi atau teh saya bisa berbincang dengan pengunjung lain tentang berbagai hal. Mulai dari peristiwa sehari-hari, cerita lucu, hingga isu-isu terkini. Bahkan ketika tidak ada pengunjung lain, pedagang yang ramah akan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan.
Nah, hal-hal semacam itu tidak saya dapatkan di angkringan yang kemarin saya datengin. Padahal angkringan bagi saya bukan sekedar tempat untuk menikmati kopi, nasi kucing, sate usus, atau kepala ayam. Lebih dari itu, di balik gerobaknya yang mungkin terlihat lusuh, ada filosofi yang dalam tentang kesederhanaan, kebersamaan dan keterbukaan.
Angkringan, dengan menu dan tampilan yang sederhana, mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak melulu soal kemewahan. Di balik gerobak beratap terpal plastik dan sekepal nasi kucing ditambah secuil oseng tempe atau teri, terdapat kehangatan yang tak ternilai. Angkringan mengajak kita untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Akhirnya saya menyadari, mungkin ekspektasi saya saja yang terlalu berlebihan. Jogja dan angkringan buat saya sudah jadi satu paket. Orang boleh saja meniru konsepnya dan menjajakan jajanan serupa di tempat lain, namun tetap tidak akan pernah sama, karena atmosfer Jogja tidak mungkin dihadirkan di kota lain.
Penulis: Roy Waluyo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Angkringan Palsu di Jogja Meresahkan: Dikonsep Ala Kafe, Jualnya Minuman Sachet dan Tempura Sosis