Kalau ada orang yang bilang bahasa itu bisa dipelajari lewat kursus, buku tebal, atau video YouTube, mungkin dia belum pernah tinggal lama di Solo. Sebab di kota ini, ada satu lembaga pendidikan non-formal yang jauh lebih efektif daripada kursus bahasa asing apa pun. Tempatnya tanpa papan nama, tanpa kurikulum resmi, bahkan tanpa tutor bergelar magister linguistik. Namanya: angkringan.
Bagi saya, angkringan adalah sekolah bahasa Jawa paling ramah, paling egaliter, dan tentu saja paling murah. Bayangkan, hanya dengan modal segelas kopi tiga ribuan dan sego kucing dua ribu, Anda bisa ikut kelas listening, speaking, sekaligus cultural studies dalam satu paket lengkap. Bahkan kalau beruntung, bisa sekalian ikut kelas politik praktis, sampai kelas ekonomi makro.
Sebagai perantau di Solo, saya dulu termasuk yang minder soal bahasa Jawa. Dari awal kuliah, saya cuma bisa menyebut “nggih” dan “mboten” dengan aksen yang bikin orang Jawa asli langsung tahu, “Oh, cah iki dudu wong kene.” Setiap kali dengar percakapan di kampus, apalagi kalau sudah masuk ranah kromo inggil, saya merasa kayak turis asing yang nyasar di Pasar Klewer.
Namun, semua berubah sejak saya dekat dengan angkringan.
Tentang angkringan
Di kota-kota besar lain, tongkrongan mahasiswa biasanya kafe dengan lampu temaram, sofa empuk, dan latte art berbentuk hati. Di Solo, mahasiswa rantau pasti pernah ke angkringan. Kursinya bangku kayu panjang, mejanya cuma gerobak sederhana dengan lampu sentir. Menunya? Tentu saja sego kucing, sate usus, tempe mendoan, atau gorengan yang entah kapan terakhir kali minyaknya diganti. Tapi justru dari sinilah pelajaran bahasa Jawa dimulai.
Saya masih ingat kali pertama mendengar kata “telas.” Waktu itu, sekitar jam setengah tujuh pagi, saya mau ambil tahu bakso. Dengan polosnya saya nanya ke Pakde angkringan, “Pak, tahu baksonya masih ada?” Si Bapak menjawab singkat, “Telas, Mas.”
Saya bengong. Telas? Di kepala saya, justru malah yang ada Talas, makanan khas dari daerah saya, Bogor. Ternyata, dalam bahasa Jawa, telas berarti habis. Dari situ saya belajar bahwa satu kata bisa menyelamatkan Anda dari rasa malu ketika rebutan lauk tengah malam.
Besoknya, saya belajar kata baru lagi: “sampun.” Kata ini sering saya dengar ketika ada bapak-bapak pelanggan bilang, “Nggih, sampun, Pak.” Ternyata artinya “sudah.” Wah, sopan banget ya. Kalau pakai bahasa Indonesia kan biasa bilang, “Sudah, Pak.” Tapi dengan “sampun,” nuansanya lebih halus, lebih berwibawa. Rasanya kalau sesekali saya ngomong ke dosen, “Sampun, Pak,” mungkin nilainya bisa naik setengah poin.
Dan jangan lupa kata “setunggal” dan “kalih.” Itu semacam level berikutnya. Di kampus, kadang saya sering malu kalau beli fotokopian dan si mas penjaga bilang, “Kalih, Mas?” Saya cuma bisa nyengir, pura-pura paham. Untung di angkringan saya dapat kamus gratis. Suatu malam, ada pembeli bilang, “Sate ati setunggal, segone kalih.” Nah, dari situ saya paham, setunggal itu satu, kalih itu dua.
Lihat, betapa murahnya biaya sekolah bahasa di angkringan.
Kursus bahasa Jawa paling menyenangkan
Yang bikin angkringan jadi sekolah unik adalah atmosfernya. Tak ada guru resmi, tapi semua orang bisa jadi guru. Penjual angkringan mengajarkan kosakata lewat interaksi jual-beli. Sesama pembeli jadi kawan diskusi, entah soal politik, bola, atau keluh-kesah. Bahkan bapak-bapak tukang ojol yang ikut nimbrung bisa mendadak jadi dosen linguistik ketika Anda salah menanggapi sapaan.
Dari situ saya sadar, angkringan bukan hanya tempat makan murah, tapi juga ruang koreksi sosial. Salah ngomong nggak masalah, yang penting berani mencoba. Beda jauh dengan kelas formal, di mana salah jawab bisa bikin nilai jeblok.
Kalau dipikir-pikir, angkringan itu mirip laboratorium bahasa. Bedanya, di lab kampus kita mendengar native speaker lewat kaset atau rekaman audio. Di angkringan, native speaker-nya langsung ada di samping kita. Gratis, real-time, dan kadang disertai bonus humor receh khas orang Jawa.
Misalnya, ada bapak-bapak cerita, “Wingi aku numpak sepur, eh jebul kalih jam telat tekan.” Saya diam-diam mencatat di kepala: wingi itu kemarin, jebul itu ternyata. Besoknya saya coba pakai ketika nongkrong, meski dengan logat medok karbitan: “Wingi aku turu kesusu.” Teman-teman saya ketawa, tapi justru itulah feedback yang efektif.
Belajar bahasa di angkringan memang seperti itu: trial and error. Sering salah, sering diketawain, tapi lama-lama jadi terbiasa.
Perbedaan tingkat bahasa
Lucunya lagi, di angkringan saya juga belajar perbedaan tingkat bahasa Jawa. Awalnya saya pikir bahasa Jawa itu satu paket saja. Ternyata ada ngoko, madya, dan kromo inggil. Bapak-bapak ngobrol dengan sesama temannya biasanya pakai ngoko: “Kowe arep mangan opo?” Tapi kalau ke penjual angkringan, seringnya jadi lebih halus: “Segone telas, Pak?”
Di sinilah saya sadar, bahasa Jawa itu bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga cermin tata krama. Angkringan, dengan segala kesederhanaannya, memperlihatkan betapa luwesnya orang Jawa menempatkan diri. Kepada teman sebaya boleh ceplas-ceplos, kepada yang lebih tua harus alus. Satu kata bisa menentukan apakah Anda dianggap sopan atau sembrono.
Tentu saja, proses belajar bahasa di angkringan nggak instan. Saya butuh waktu empat tahun untuk lumayan ngerti percakapan sehari-hari. Tapi anehnya, saya nggak pernah merasa sedang belajar. Rasanya lebih seperti nongkrong, bercanda, atau sekadar mengisi perut. Tahu-tahu, kosakata bertambah sendiri. Inilah yang saya sebut kurikulum tersembunyi angkringan.
Dengan cukup lima sampai tujuh ribu di angkringan, memberi kita sesuatu yang lebih dari sekadar kosa kata: ia memberi pengalaman hidup, rasa kebersamaan, dan sedikit-sedikit kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Memang, jangan harap setelah lima kali nongkrong langsung fasih berbahasa kromo inggil. Tapi minimal, Anda bisa bedain mana “sampun” dan mana “dereng,” mana “setunggal” dan mana “kalih.” Itu sudah prestasi besar bagi anak rantau.
Angkringan adalah universitas rakyat
Akhirnya, saya berani bilang begini: angkringan adalah universitas rakyat. Ia mengajarkan bahasa tanpa silabus, mendidik sopan santun tanpa modul, dan membentuk komunitas tanpa organisasi. Bahkan, kalau mau jujur, tanpa pengabdian masyarakat, ruang paling dekat untuk menyentuh masyarakat bagi mahasiswa ialah di angkringan.
Kalau ada yang nanya apa kontribusi terbesar angkringan bagi perantau, jawabannya jelas: ia jadi sekolah bahasa Jawa termurah, terindah, sekaligus terenak (apalagi teh panasnya yang kental dan legit).
Jadi, kalau Anda perantau yang baru sampai Solo dan merasa gagap bahasa dan takut dikerjain kalau belajar dengan teman, carilah angkringan terdekat. Duduklah di bangku kayu, pesanlah satu-dua nasi kucing dan segelas teh, dan biarkan percakapan mengalir. Selamat, Anda baru saja mendaftar jadi mahasiswa baru di Universitas Angkringan Solo Raya.
Penulis: Alfin Nur Ridwan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengenal HIK Solo: Serupa Angkringan Jogja, Sudah Ada Sejak Masa Penjajahan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
