Publik masih dibuat gusar karena banyak larangan ini dan itu oleh pemerintah demi mencegah penyebaran Covid-19. Mulai dari mudik, mudik lokal, pulang kampung, sampai ziarah kubur pun dibatasi semata-mata demi kesehatan masyarakat, katanya. Meskipun, pada kenyataannya, kita masih kebingungan, kok mal itu masih bebas ramai? Iya sih tempatnya gede, tapi kalau berdesakan, apa nggak panik kalau jadi klaster Covid-19?
Jumat pagi kemarin, para peziarah di TPU Alur Jakarta Barat menjebol pagar tempat pemakaman. Mungkin, mereka saking penginnya berziarah mendoakan keluarganya yang sudah meninggal. Meskipun, Pemda Jakarta hanya melarang ziarah kubur dari tanggal 12-16 Mei. Selebihnya diperbolehkan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun, coba bandingkan dengan mal-mal yang masih buka. Mereka menawarkan promo-promo Idulfitri yang menggairahkan nafsu pemborosan masyarakat. Padahal penerapan protokol kesehatan saat ziarah dengan saat berbelanja itu sama, kok. Tapi, penjagaan, penerapannya, dan penegakkan aturannya, kok, berbeda? Hayooo ada apa, tuh?
Cuitan Fadli Zon yang menyentil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan viral di media sosial. Bang Fadli menilai mal pun harus tutup kalau sekiranya ziarah kubur dilarang. Sebab, hal itu bisa memunculkan rasa ketidakadilan.
Memang kalau dipikir-pikir secara merakyat, tidak adil jika kegiatan non-ekonomi lebih banyak tegas-tegasnya daripada kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan ekonomi. Seperti, masyarakat itu cuma boleh belanja dan wisata, tapi nggak boleh mudik dan ziarah kubur. Masyarakat nggak boleh sekolah, bolehnya belanja.
Coba bayangkan jika ziarah kubur itu sejenis kegiatan berbelanja dan tempat pemakaman adalah pusat perbelanjaan. Mana ada petugas yang menutup pintu pemakaman atau menyuruh peziarah untuk putar balik? Apalagi sampai ada peziarah yang menjebol pagar pemakaman, nggak akan ada. Tapi, jika pusat perbelanjaan adalah tempat pemakaman, mungkin sekarang nggak ada ibu-ibu sosialita yang rame-rame ke mal lihat perhiasan dan gamis kekinian.
Kalau ziarah kubur itu semacam kegiatan berbelanja, paling peziarah hanya akan disuruh cuci tangan di pintu masuk lalu dicek suhunya. Diingatkan pakai masker juga pasti, kok. Lalu, setelah masuk ke dalam, ya gitu deh, pembaca tahu sendiri kan gatelnya orang-orang pengin lepas masker atau balapan beli barang yang dipengenin.
Kalau ziarah kubur jadi wisata juga bisa. Mungkin cuma dikasih pembatasan jumlah pengunjung dan jam operasional. Dan, nanti bagi yang dicegat petugas bisa berdalih kalau dia nggak mau ziarah, tapi pergi ke wisata alam gaib.
Coba kalau mal tindakannya sama seperti tindakan ke tempat pemakaman, mungkin masyarakat akan percaya bahwa Covid-19 itu memang ada. Toh, mereka yang pakai masker pun lebih takut pada petugas Satgas Covid-19 daripada sama virusnya itu sendiri.Â
Tapi, kalau dipikir-pikir juga, pemakaman nggak rame-rame amat kalau dibandingkan dengan mal. Bahkan, sebelum Covid-19 melanda pun, mal tetap lebih ramai. Memang peningkatan ekonomi di Indonesia perlu diperbaiki, tapi tetep harus memberikan rasa keadilan, dong. Sesuai Pancasila di sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau sudah adil, pasti adab pun akan menyusul. Walau nggak sepenuhnya benar.
Walaupun demikian, memang dilematis untuk mencapai keadilan. Saya yakin pemerintah sudah memberikan yang terbaik untuk masyarakat di tengah masa-masa sulit seperti ini. Mal ditutup atau dibuka, protes. Ziarah kubur dilarang atau nggak, protes. Mudik dilarang atau nggak, protes. Jadi inget pas masa awal-awal Covid-19 melanda, banyak yang nanya, “Kenapa pemerintah nggak mau nerapin lockdown, sih?” Eh, dikasih pembatasan segini aja udah keblinger.
Memang susah hidup di tengah masa pandemi, juga dikelilingi masyarakat yang begitu semangat dan energik dalam menemukan kemudahan dan kehidupannya. Selain terkenal kasar di media sosial, masyarakat +62 juga penuh akal dalam menyiasati kebijakan pemerintah.
Patut kita apresiasi segala usaha pemerintah dalam mengentaskan segala persoalan. Meskipun bilangnya bidang kesehatan jadi prioritas, ekonomi akan tetap di hati. Tidak apa-apa, kita berdoa semoga Indonesia bisa damai dan tentram setelah bebas corona. Berharap saja, semoga masyarakat Indonesia makin melek sains dan teknologi, biar nggak bar-bar kayak India yang… begitulah.
BACA JUGA Mal Lebih Ramai dari Sekolah Adalah Bukti Nyata Pendidikan di Indonesia Nomor Dua dan tulisan Muhammad Afsal Fauzan S. lainnya.