Mitos adalah folklore atau cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun di masyarakat yang kebenarannya masih dipertanyakan. Tidak sedikit yang begitu percaya dengan hal-hal seperti ini. Tidak sedikit juga yang menganggap mitos hanya sebagai angin lalu. Tidak terlalu dipikirkan.
Di Indonesia ada banyak mitos atau cerita-cerita yang seperti ini. Tak terkecuali di Indonesia bagian timur. Begitu banyak mitos-mitos yang saya dengar sewaktu kecil, yang ketika sekarang saya meragukan kebenaran dari cerita-cerita tersebut. Ketika saya mendengarnya sewaktu masih bocah, saya begitu mempercayainya.
Ada hal yang menarik (setidaknya bagi saya) yang ada di pikiran saya. Saya berpikir sepertinya mitos-mitos ini ada manfaatnya. Ada alasan kenapa orang-orang tua kita menceritakan hal ini kepada kita. Saya berpikir, sebenarnya kita sedang diajari lewat mitos-mitos ini. Cerita-cerita ini membentuk karakter kita. Ada beberapa cerita yang mungkin mitos, tapi tidak sepenuhnya unfaedah. Berikut beberapa dari mitos-mitos itu.
Jangan menyisakan nasi saat makan
Mitos atau cerita yang saya dengar sewaktu kecil adalah larangan untuk tidak menyisakan nasi atau makanan kita. Orang-orang kita selalu menekankan agar tidak menyisakan nasi sedikitpun. Apalagi harus dibuang. Katanya, kalau ada nasi tersisa di piring, nasi itu akan menangis dan akan terus mengikuti kita.
Anak kecil macam apa yang tidak takut kalau di beritahu seperti itu. Alhasil anak-anak tidak akan berani menyisakan nasi dan akan menghabiskannya. Ketika sekarang saya sadar, tentu saja cerita itu hanya karangan belaka. Tapi kita secara tidak langsung diajari untuk menghargai makanan, tidak menyia-nyiakannya seperti dia yang menyia-nyiakanmu.
Kunang-kunang: kukunya orang mati.
Kalau kami kecil dulu, paling senang nangkapin kunang-kunang dan ditaro di toples. Serangga yang bisa kedap-kedip mengelurakan cahaya kuning ini selalu menjadi incaran kami. Kami senang saja melihatnya kedap-kedip dengan jumlah banyak dalam toples. Setelah beberapa jam, kunang-kunang nya berhenti berkedip. Oh mungkin kunang kunang nya tertidur, pikir kami. Tapi kok kelamaan, kayak nungguin dia balas chat. Kami buka toplesnya, kunang-kunang nya udah gak gerak, eh ternyata dah mampus. Yah, kecewalah. Mungkin karna itu orang tua kita bilang kalau kunang-kunang itu kukunya orang mati. Supaya kita nggak main-main lagi sama serangga itu. Biar nggak mati lagi. Siapa juga coba yang mau bermain dengan kuku orang mati. Ngeriii.
Kalo makan, jangan pindah–pindah tempat.
Mitos yang satu ini adalah yang kami masih dengar hingga dewasa. Kalo makan jangan pindah pindah. Misalnya, baru makan sesendok, pindah tempat duduk. Makan sesendok lagi, pindah lagi. Orang tua negur, “kalo makan jangan pindah pindah, nanti banyak istrimu”. What? Kalo makan pindah pindah bakal punya banyak istri? Lah saya pindah-pindah aja terus. Hehehe. Kalo dapat istri semudah ini mah, gak bakal ada jomblo di dunia ini. Dan mungkin ini adalah mitos favorit para jomblo ngenes. Yah nggak ada salahnya dicoba, siapa tau betul. Kan lumayan kalau dapat tiga dan kaya raya. Hehehe.
Jangan nyanyi sambil masak
Nah ini lagi mitos yang juga masih sering ditujukan buat orang dewasa. Kalo lagi masak itu, nggak boleh nyanyi. Nanti bakal nikah sama janda atau duda. Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita menikah dengan gadis perawan tinting (haaiiiiyyyaaaaah), saya nggak nyanyi lagi pas masak. Ngeri juga kalo nikah sama janda beranak tiga. Hehehe.
Walaupun saya tahu itu hanya mitos, yah ngikut aja mah kalo dibilangin orang tua. Aslinya sih kita dilarang aja buat berisik pas masak, apa lagi nyanyi. Bukan tanpa alasan, kalau masak sambil nyanyi bisa-bisa ludah kau masuk dalam makanan (oek). Rabies nanti orang-orang makan masakan kau. Alasan lain mah simpel. Suara kau saja yang bikin kuping berdarah.
Dari mitos mitos-mitos itu, ada hal yang menarik menurut saya. Andai saja orang dewasa itu bisa ditakut-takuti seperti anak kecil dengan hanya menceritakan hal-hal seperti itu. Kan bakalan bagus. Apa lagi buat para bos, elit, dan pengemban amanah di negara ini. Aman dah negara, rakyat sejahtera.
Misalnya, “pak jangan curi uang rakyat, nanti rakyatnya sengsara dan nangis”. “Pak, jangan nebangin pohon, jangan bakar hutan, nanti pohonnya ngamuk dan mukulin bapak”. “Pak, jangan berburu hewan langka pak, nanti hewannya jadi hantu dan bakalan ngikutin bapak terus”. “Pak, jangan suka buat janji ke rakyat tapi gak ditepatin pak, nanti bapak anaknya homo loh”. “Pak, jangan suka merendahkan orang lain pak, matinya susah loh”.
Pas dibilangin kayak gitu langsung nurut, kan enak. Nggak nyolong duit rakyat lagi. Nggak bakar hutan sembarangan. Nggak berburu secara liar lagi. Nggak ngibulin rakyat lagi.
Tapi sepertinya kita terlalu berharap banyak. Orang-orang dewasa itu nggak peduli. Mereka terlalu “cerdas” untuk percaya hal-hal seperti itu.