Andai Deskripsi Audio buat Difabel Netra Ada Dalam Kereta

Andai Deskripsi Audio buat Difabel Netra Ada Dalam Kereta terminal mojok

Selama ini, kereta api hanya dilihat sebagai alat transportasi biasa. Padahal ketika di-explore lebih lanjut, kereta punya sisi yang edukatif. Khususnya bagi saya yang notabenya adalah difabel netra.

Ketika saya mudik kemarin, bukan pas Lebaran, melainkan awal puasa. Saya memilih kereta sebagai transportasi. Lantaran bosan, saya pun mencoba menghibur diri dengan cara menonton tayangan di Netflix.

Ketika sedang asyik menonton, muncul sebuah gagasan di pikiran saya. Dan gagasan itu semakin kuat menjalar di saraf otak saya, di tengah bisingnya suara kereta dan audio deskripsi yang saya dengarkan. Lalu, gagasan itu pun berubah menjadi sebuah pertanyaan, “Bagaimana jika ada audio deskripsi dalam kereta?”

Tentu lantaran saya tak dapat melihat. Pastinya jangan diartikan menonton itu secara harfiah. Begini, di Netflix itu ada audio description. Itu semacam fasilitas tambahan bagi orang dengan gangguan penglihatan. Jadi, pas nggak ada dialog, ada deskripsi dari apa yang sedang ditayangkan di layar. Hampir sama kayak pembaca layar. Bedanya ini yang mengucapkan beneran orang dan direkam. Jadi terkesan seperti membaca novel, hanya saja ada backsound-nya.

Nah, di situ saya berpikir, asyik juga semisal ada audio description ini dalam kereta. Dengan begitu, saya atau difabel netra lainnya ketika naik kereta dapat sedikit berimajinasi terhadap pemandangan yang dilewati kereta. Memang kedengarannya terlalu muluk. Namun, setidaknya perjalanan jauh dengan kereta bisa terasa menyenangkan ketika kita tahu apa yang telah dilewati.

“Kalau cuma itu, kan, bisa diakses melalui smartphone?”

Benar, benar, kalau cuma audio deskripsi, tentunya bisa didapat melalui smartphone. Tapi, tentu saja rasanya kereta sebagai transportasi publik kurang go public. Lagi pula, ketika saya mengeluarkan smartphone dalam kereta itu rasanya agak kurang nyaman. Kan lebih enak kalau saya dapat hiburan langsung dari transportasi publik.

Sedikit cerita, sebenarnya fasilitas kereta itu sangat akses. Ketika saya hendak berangkat saja,sudah ada yang mendampingi saya di depan terus sampai masuk ke kereta. Cuma, pas kereta bergerak itu—lantaran saya sendirian—pastinya bosan. Apalagi di musim pandemi gini kursi di dalam kereta berjarak dan duduk sendiri-sendiri. Nah. Bayangin saja, sendirian, kelam, duduk di kereta setengah hari.

Kalau sudah begitu, saya kadang ngobrol sama mbak-mbak yang jual makanan di kereta. Atau kalau nggak, biasanya saya lama-lamain jalan ke toilet. Tak jarang pula, sedikit bereksperimen dengan penumpang yang lain. Misal, ketika saya jalan, kadang saya pura-pura kesasar. Itu saya lakukan untuk melihat respons penumpang lain jika ada penumpang difabel netra seperti saya. Ternyata respons kebanyakan orang lumayan baik. Dalam beberapa kali kesempatan, para penumpang menghampiri saya dan bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Mas?”

Namun, karena suara dan guncangan dalam kereta lumayan keras, kadang saya malah nggak begitu konsentrasi mendengarkan. Akibatnya, saya cuma bisa menjawab, “Hah? Apa? Mbaknya manggil saya, ya?” Aduh~

Ketimbang saya melakukan hal seperti itu, bukankah lebih baik jika saya duduk dan mendengarkan deskripsi audio mengenai pemandangan di luar jendela kereta? Atau kalau bukan sebuah pemandangan, sejarah tentang perkeretaapian juga bisa diperdengarkan dalam fasilitas deskripsi audio kereta.

Yah, kan, nggak semua orang ujug-ujug tahu hal yang berbau lokomotif. Ini bisa jadi poin penting jika sejarah dan perkembangan kereta api juga bisa diakses para penumpang selama perjalanan. Hitung-hitung sambil menyelam minum air, sambil jalan-jalan naik kereta dapat ilmunya. Bisa dibilang ide ini juga universal design, kan? Maksudnya, nggak hanya difabel netra seperti saya yang bisa mengaksesnya, penumpang lain pun memiliki kesempatan sama untuk bisa mengakses fasilitas seperti itu.

Hanya saja, wujud itu masih bisa dibilang “jauh panggang dari api”. Pasalnya, pasti butuh perencanaan dan anggaran yang matang untuk mewujudkannya. Maka, butuh tenaga berbagai pihak mulai dari pemerintah, perusahaan itu sendiri, dan juga kami, para difabel netra, sebagai penumpang setia kereta.

Saya kasih sedikit gambaran soal deskripsi audio ini. Deskripsi audio mungkin bisa dipasang di kursi penumpang prioritas. Dan kursi itu haram hukumnya ditempati oleh orang yang bukan difabel. Kendati demikian, jika nggak ada penumpang difabel yang memesan tiket kereta, kursi tersebut boleh-boleh saja dilelang pada penumpang lain.

Pada kursi prioritas tersedia headset yang tersambung dengan audio player yang sebelumnya telah dipersiapkan rekaman seseorang yang menggambarkan pemandangan sepanjang perjalanan. Mungkin seperti ini, “Saat ini kereta melaju dengan kecepatan 50 kilometer per jam. Kita melintasi deretan pohon dan rumah-rumah yang dulunya pernah digusur lantaran terlalu dengan dengan jalur kereta.” Atau bisa juga menceritakan sejarah pembangunan rel kereta dan segala sesuatunya.

Jika hal ini nggak jadi sekadar mimpi, mungkin hal-hal yang sifatnya teknis perlu dikonkretkan. Bisa dimulai dari melakukan pendataan, misalnya berapa jumlah difabel netra yang menggunakan transportasi kereta, atau mungkin mengukur panjang kabel yang dibutuhkan untuk memasang alat sederhana tersebut. Bisa juga dengan mulai mengumpulkan data-data terkait segala sesuatu yang dilewati oleh kereta, atau mulai menyusun sejarah dan perkembangan kereta api. Itu pun jika pihak-pihak yang berwenang mau, sih.

Nah, dari kereta ini kita semua bisa mengambil kesimpulan bahwa deskripsi audio dalam transportasi publik bagi difabel netra adalah hal penting. Nggak cuma di dalam kereta api, namun juga seluruh transportasi publik seperti pesawat, bus, kapa laut pun bisa dipasang alat deskripsi audio. Bukan cuma untuk hiburan, melainkan menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi kami.

Kendati demikian, masih ada pertanyaan besar di benak saya. Dan pertanyaan itu adalah, “Apakah semua pihak sudah benar-benar siap?”

BACA JUGA 5 Olahraga yang Bisa Dilakukan Bareng Difabel Netra dan tulisan Dendy Arifianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version