“Yogyakarta lagi? Aku itu lahir di Magelang, lho. Jangan salah alamat terus, dong!”
Ya, barangkali seperti itulah gambaran uneg-uneg Candi Borobudur seandainya ia bisa berbicara. Ia mungkin akan mendesah lelah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena berulang kali mengenalkan kampung halamannya yang sesungguhnya kepada orang-orang. Untung saja ia benar-benar tidak bisa berkomunikasi, kan? Ia hanya mampu terdiam kaku menyaksikan kesalahpahaman yang dibuat wisatawan dari luar maupun dalam negeri.
Bayangkan betapa lelahnya batin Candi Borobudur. Bagaimana tidak? Walau telah ratusan tahun berdiri megah di dataran Magelang, masih saja ada segelintir masyarakat, turis, bahkan acara televisi yang menganggap Borobudur sebagai bagian dari Yogyakarta.
Sebagai candi Buddha terbesar di dunia yang sudah diakui oleh UNESCO, Borobudur tentunya menjadi ikon megah yang patut dibanggakan. Namun, yang sering terlupa ialah satu fakta mendasar bahwa Borobudur bukan di Yogyakarta, tetapi di Magelang, Jawa Tengah. Berbeda provinsi. Berbeda kabupaten.
Salah kaprah ini mungkin memang sepele bagi sebagian orang, tetapi cukup menyebalkan bagi warga Magelang, bukan? Bayangkan, kamu punya anak sendiri yang telah dirawat sejak zaman Dinasti Syailendra, tetapi orang-orang justru bilang kalau ia anak tetangga. Coba rasakan betapa sedihnya posisi Magelang yang terus-menerus tak dianggap, padahal ia yang memberikan lahan dan paham sejarahnya.
Candi Borobudur “korban” Yogyakarta
Sebelum itu, tentu kita tidak bisa begitu saja melampiaskan kekesalan kepada orang-orang, atau bahkan Yogyakarta yang tak tahu apa-apa. Borobudur ini hanya korban branding yang terlalu kuat dari kota sebelah. Mulai dari “kota pelajar”, “kota budaya”, sampai “kota seniman”, semuanya kompak diborong oleh Yogya hingga menjadi label pariwisata.
Tak heran, Borobudur pun ikut dicap sebagai bagian dari daya tarik Yogyakarta, meskipun secara geografis ia jelas-jelas lahir dan besar di Magelang, Jawa Tengah. Namun, letak Kabupaten Magelang yang berbatasan langsung dengan Yogyakarta, lebih tepatnya sekitar 40 km atau satu jam perjalanan dari pusat DIY membuat para wisatawan tidak sadar bahwa mereka telah memasuki provinsi yang berbeda.
Hal ini juga bisa jadi akibat dari promosi wisata yang sering memasukkan Candi Borobudur ke dalam paket wisata Yogyakarta. Turis-turis yang baru pertama kali berwisata ke Yogyakarta dan Candi Borobudur pun pada akhirnya menganggap kedua tempat ini sebagai satu kesatuan destinasi wisata.
Coba bayangkan, seandainya Borobudur memiliki akun media sosial, pasti seluruh bio-nya akan dituliskan begini:
Akamsi. Lahir dan besar di Magelang.
Bukan anak sebelah (baca: Yogya)
#MagelangPride
Nggak minta banyak
Borobudur itu tidak minta banyak. Tidak yang muluk-muluk juga. Ia hanya minta tempat kelahirannya diakui. Ia tidak keberatan dikunjungi turis dari seluruh dunia. Borobudur juga tidak mengeluh saat foto-fotonya dijual dengan harga tinggi. Bahkan, ia tidak marah-marah saat banyak sampah ditinggalkan berserakan di kawasan rumahnya. Cukup pengakuan kecil untuk melunasi semua itu.
Coba, jangan dulu memikirkan Borobudur sebagai anaknya. Bayangkan saja Magelang sebagai tanah kelahiran yang tak teranggap. Apa kalian tega memisahkan anak dengan kampung kelahirannya?
Satu hal yang membuat miris ialah ketika mendengar anak sekolah pun sering menyebut: “Candi Borobudur berada di Yogyakarta.”. Kalau anak sekolah saja sudah bingung, lantas siapa yang nantinya akan meluruskan sejarah tersebut? Jangan sampai ini benar-benar menjadi kisah pedih kampung halaman yang terlupakan.
Harusnya jadi momen yang tepat untuk Pemerintah Magelang
Bukankah ini momen yang tepat bagi pemerintah Magelang, serta kita semua para pecinta sejarah untuk angkat suara? Bukan untuk memarahi, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Candi Borobudur dengan segala keanggunan dan kemegahannya tertancam kuat di dataran Magelang. Batuan andesit yang tersusun telah menjadi saksi bisu lahirnya Borobudur ribuan tahun lalu di tanah Jawa Tengah.
Jika bukan kita yang menjaga keaslian identitasnya, lantas siapa lagi?
Sekarang, mari kita bayangkan Borobudur yang tersenyum seusai membaca artikel ini. Ia mungkin akan berkata dengan hati yang lega:
“Aku tak keberatan dibilang dekat Yogyakarta, asal jangan pernah lupakan: Aku tetaplah lahir dan tumbuh di Magelang.”
Penulis: Ike Fitriani
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















