Anak Sekolah Ikut Demonstrasi karena Khawatir akan Masa Depan Mereka

hormat tiga jari demonstrasi anak sekolah mojok

hormat tiga jari demonstrasi anak sekolah mojok

Saya kemarin sempat membaca tulisan Hasanudin Abdurakhman yang mengkritisi anak sekolah ikut demo. Dia bertanya-tanya, kok bisa anak sekolah yang seharusnya sekolah daring di rumah ikut demonstrasi, orang tua mereka ke mana? Apakah orang tua yang membiarkan anak ikut demo adalah orang tua yang tidak bertanggung jawab? Apakah orang tua yang tidak tahu ke mana anaknya pergi saat meninggalkan rumah juga tidak bertanggung jawab?

Pada 1998, saya adalah anak SMA yang ikut demo. Orang tua saya di mana? Tentu saja di rumah, jualan di warung untuk menghidupi setiap anggota keluarga. Orang tua saya khawatir saat saya ikut demo. Namun, ikut demonstrasi adalah keputusan yang saya ambil sendiri.

Sebagaimana orang tua mengkhawatirkan saya, saya juga mengkhawatirkan orang tua. Tentu saja nggak ketinggalan, saya mengkhawatirkan diri sendiri. Sebab itulah, dulu saya ikut demo. Kehidupan zaman itu sungguh mencekam, terutama untuk rakyat biasa. Tapi, saya nggak tahu apakah ada di pelajaran sejarah yang katanya mau dihapuskan itu.

Di zaman ini, ke mana orang tua saat anaknya yang masih sekolah ikut demonstrasi? Kenapa mereka tidak melindungi anak mereka, dengan membiarkan ikut demo? Sebegitu parahkah komunikasi dalam keluarga hingga orang tua tidak bisa mengendalikan anak?

Saat anak sekolah demonstrasi, orang tua mereka sedang sibuk menjadi buruh. Sibuk menambah penghasilan agar bisa menyambung hidup. Itu terjadi karena negara ini begitu perhatian kepada kaum buruh. Saking perhatiannya banyak buruh yang terlantar. Jadi saat anak mereka demo, sebagai orang tua mereka nggak bisa mendampingi.

Bekerja dengan jam kerja yang terlalu panjang, kelebihan jam kerja tidak dihitung adalah hal yang biasa. Kalau nggak mau bekerja lebih, akan banyak orang yang menggantikannya. Oleh karena itu mereka bertahan.

Jadi kenapa anak sekolah berdemo? Mereka mencemaskan orang tua dan diri mereka sendiri di masa depan. Bukankah hal itu merupakan kondisi yang wajar? Atau mungkin harus didramatisir agar demonstrasi terlihat sebagai suatu kejahatan?

Kesibukan orangtua yang menjadi buruh memang luar biasa. Mereka nggak sempat ikut panduan parenting yang banyak diadakan via daring itu. Akhirnya anak akan tumbuh dengan kemampuan dan kemauan mereka sendiri. Apakah hal itu membuat orangtua menjadi tidak bertanggung jawab? Itu adalah pertanyaan yang sangat bisa diperdebatkan.

Kehidupan dan komunikasi keluarga kelas bawah memang berbeda jauh dengan kelas menengah. Apalagi bila dibandingkan dengan kelas atas secara ekonomi. Jadi, akan sangat naif bila melihat hanya dari kacamata orang yang nggak pernah jadi buruh. Mereka yang bekerja setiap hari untuk hidup pas-pasan tanpa kepastian kalau hidup mereka ke depan bakal baik-baik saja.

Semua pekerja yang bekerja untuk mendapatkan upah adalah buruh. Tapi, arti kata “buruh” yang masyarakat tahu bukan macam itu. Mereka yang bekerja dan rawan dipecat adalah arti buruh sesungguhnya yang saya yakini. Diperparah lagi dengan penghasilan yang di bawah standar penghidupan.

Buruh macam inilah yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sebetulnya untuk apa dan untuk siapa Undang-undang kejar tayang itu dibuat? Yang jelas bukan untuk kebanyakan rakyat yang hidup di pelukan Bunda Pertiwi.

Demonstrasi menempatkan anak dalam kondisi rawan kekerasan dan berbahaya. Hal itu memang tidak bisa dimungkiri. Namun, bukankah sebagai orang tua, aparat harus bisa melindungi anak muda yang sedang tumbuh ini? Kenapa aparat bisa terpancing melakukan tindakan represif pada anak remaja yang baru tumbuh ini?

Kalau Hasanudin Abdurakhman bertanya ke mana orangtua saat anak sekolah demonstrasi, saya balik bertanya, ke mana negara hingga anak sekolah harus ikut demonstrasi? Begitu merasa tidak amankan anak muda hingga mereka harus demo untuk mengemukakan pendapat agar keinginan dan kekhawatiran mereka didengar?

Menurut saya, anak sekolah ikut demonstrasi adalah sebuah kemajuan. Dengan begitu, mereka bisa terlatih berpikir kritis. Saya kira tugas negara bukan untuk membendung dan merepresi pemikiran kritis para pemuda ini. Bila dapat diakomodasi dengan benar, negara memiliki memiliki sebuah generasi dengan kemampuan berpartisipasi dalam “pembangunan”.

BACA JUGA Apa Bedanya Demo 1998 dengan Demo 2020? dan tulisan Rusmanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version