Anak Laki-laki Menyebut Penis Itu Hal Wajar, Orang Dewasa Nggak Usah Kaget

Anak Laki-laki Menyebut Penis Itu Hal Wajar dan Bagian dari Edukasi Seks, Orang Dewasa Nggak Usah Kaget Terminal Mojok

Anak Laki-laki Menyebut Penis Itu Hal Wajar, Orang Dewasa Nggak Usah Kaget (Unsplash.com)

Salah satu materi edukasi seks yang bisa diajarkan pada anak sejak dini adalah dengan mengajari anak menyebut organ intimnya seperti penis dan vagina dengan penyebutan yang seharusnya.

Beberapa hari yang lalu, saat rumah saya lagi ramai karena ada beberapa anggota keluarga yang datang berkunjung, terjadi satu insiden ngeri-ngeri menegangkan. Saya yang sedang memakaikan celana kepada anak saya, nggak sengaja membuat kulit penis anak saya nyangkut di ritsleting celananya.

Gimana reaksi anak saya? Tentu saja kesakitan, dong. Karena kesakitan, anak saya teriak, “Mamak, penisku, penisku…”

Setelah teriak, dia menangis. Ajaibnya, dalam keadaan nangis, anak saya masih sempat protes ketika ada salah satu anggota keluarga yang bilang, “Auuu, terpotongmi burungnya.”

Anak saya menjawab, “Ini penis, bukan burung!”

Nah, lho! Awkward nggak tuh? 

Kita yang sudah masuk usia dewasa saat ini sejak kecil memang sudah didoktrin bahwa penis itu burung. Saya sendiri belum tahu bagaimana asal mula fenomena itu. Yang saya tahu, saya—dan mungkin kalian juga—nggak dibiasakan mengucapkan alat kelamin sebagaimana mestinya.

Perihal penis, ketika diucapkan di depan umum, akan dianggap kurang sopan. Makanya ada kata-kata halus untuk menggantikan penis, salah satunya burung. Lebih jauh, edukasi seks juga dianggap sebagai sesuatu yang masih tabu untuk dibicarakan.

Dulunya saya juga termasuk yang nggak begitu peduli dengan penyebutan burung untuk penis. Saya telanjur menganggap fenomena tersebut sebagai sesuatu yang lumrah dan nggak perlu digugat kebenarannya.

Saya baru menyadari kekeliruan tersebut setelah menjadi seorang ibu. Lebih tepatnya, ketika saya sudah menjadi ibu dan mulai mencari tahu materi edukasi seks sejak dini untuk anak.

Saya adalah ibu dari satu anak laki-laki yang saat ini usianya empat tahun. Entah terbilang telat atau nggak, tetapi sejak beberapa bulan yang lalu, saya dan suami mulai membiasakan anak kami untuk menyebut alat kelaminnya dengan penis alih-alih burung. Tujuannya untuk saat ini agar dia terbiasa mengenal anggota tubuhnya sebagaimana mestinya.

Saya dan suami mengajaknya berdiskusi mengapa penis nggak bisa disebut burung. Alasan utamanya tentu saja karena burung adalah makhluk hidup yang bisa terbang, sedangkan penis adalah bagian dari anggota tubuh, sama seperti mata, telinga, kaki, dan lain-lain.

Penis nggak bisa dan nggak akan pernah bisa terbang. Pun termasuk anggota tubuh yang nggak bisa disentuh oleh sembarangan orang, termasuk oleh mereka yang selalu menjadikan “potong burung” sebagai bahan lelucon untuk mengusik anak kecil.

Ada yang bilang materi seperti itu terlalu berat untuk diajarkan kepada anak. Padahal nggak juga. Toh, kita pun sudah begitu fasih mengenalkan kepala, pundak, lutut, dan kaki, kepada anak-anak. Iya, kan? Dalam hal tertentu, orang dewasa kadang meremehkan anak kecil. Makanya para penjahat selalu dapat protes dari Shiva.

Dalam praktiknya, saya merasa malah lebih mudah membiasakan anak mengenal penis sebagai anggota tubuh dibandingkan menjelaskan kepada sebagian orang dewasa, kenapa anak perlu diberi edukasi seks sejak dini.

Terkadang, dalam pikiran sebagian orang dewasa, edukasi seks itu terbatas dalam hal ngewe doang. Padahal nggak gitu juga, keleeeusss.

Materi edukasi seks itu kan luas. Saat diajarkan kepada anak pun, sudah ada tahapan sesuai rentang usia. Kayak anak saya itu, diajarin mengenal alat kelaminnya sesuai nama yang sebenarnya, sudah termasuk edukasi seks.

Saya dan suami mengenalkan anak pada edukasi seks juga bukan semata karena pengin dibilang orang tua yang keren, tetapi lebih kepada pengin jadi bestie-nya anak, yang bisa jadi teman berbagi cerita ketika nanti anak mengalami banyak hal dalam tubuhnya saat memasuki masa remaja. Dengan kata lain, biar anak nggak canggung, sungkan, atau bahkan takut saat nanti ia mau membahas perihal organ reproduksinya. Jangan kayak kami—orang tuanya—yang bingung mau nanya ke siapa saat mulai merasakan ada perubahan di beberapa anggota tubuh saat memasuki masa remaja.

Lebih jauh, kami juga penginnya anak kami memahami batasan anggota tubuh yang nggak boleh disentuh sembarangan. Biar dia bisa terhindar dari pelecehan seksual, bukan cuma sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku.

Perihal edukasi seks itu juga penting dikenalkan bukan cuma untuk anak perempuan, anak laki-laki juga harus dikenalkan. Sudah seharusnya konsep menjaga tubuh sendiri dan menghormati tubuh orang lain dikenalkan pada anak perempuan maupun anak laki-laki.

Membahas edukasi seks untuk anak memang banyak topiknya. Saya bukan seorang pakar, saya adalah seorang ibu yang melalui tulisan ini cuma mau bilang: anak menyebut penis itu bukan sesuatu yang asing. Memang sudah sewajarnya begitu, kok. Jadi, nggak perlu merasa kaget atau awkward kalau ada anak laki-laki yang menyebut penis sebagai anggota tubuhnya, ya, Tsayyy.

Penulis: Utamy Ningsih
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Ngilu! Meski Tak Bertulang, Penis Patah Bisa Terjadi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version