Ambyarnya Bahasa Jawa si Anak Pendatang Berakhir Dicap Tidak Sopan

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa

Fakta yang seharusnya di ketahui dan dipahami oleh semua orang di dunia ini—iya semua bukan hanya untuk orang Indonesia saja—agar mereka orang luar negeri mengetahui bahwa Indonesia itu kaya akan banyak hal, termasuk bahasa.

Bahasa Indonesia hanya bahasa yang diakui oleh dunia saja, tidak selalu berlaku untuk warga Indonesia itu sendiri—lah wong akeh wong Indonesia ra iso boso Indonesia. Tentu yang saya maksudkan bukan pelajaran Bahasa Indonesia yang dipelajari di setiap sekolah di negeri ini. Yang saya maksud adalah Bahasa Indonesia—iya Bahasa yang digunakan oleh kita untuk saling berkomunikasi satu sama lain dalam keseharian, namun tidak semua orang bisa menggunakannya. Ajaib kan!

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia sendiri tidak menempati urutan pertama yang digunakan di Indonesia, tau tidak Bahasa apa yang lebih banyak digunakan? Bahasa Jawa cuyyyyyy~

Sedap sekali kan bahasa ini, hingga mengalahkan bahasa resmi Ibu Pertiwi. Banyaknya jumlah orang Jawa di Indonesia yang menyebabkan Bahasa Jawa lebih sering digunakan. Lampung yang merupakan kota asal saya yang letaknya di Pulau Sumatra, penduduknya lebih didominasi dengan orang Jawa—bayangkan saja, orang Jawa yang jumlahnya lebih banyak 70% dibanding penduduk asli.

Bagaimana tidak Bahasa Jawa lebih cepat tersebar dan lebih sering digunakan. Ditambah lagi penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa ya jelas saja lebih sering berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa itu sendiri.

Meski saya tinggal di provinsi yang lebih didominasi dengan orang-orang Jawa, hal tersebut tidak membuat saya lantas paham akan Bahasa Jawa loh ya. Lah gimana mau paham saya besar di lingkungan orang-orang yang yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Indonesia, lalu saya bersekolah yang sekolahnya menggunakan Bahasa keseharian Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.

Weitss jangan langsung ambil kesimpulan bahwa sekolah saya tidak menjunjung tinggi bahasa Ibu Pertiwi, Bahasa Indonesia tetap digunakan namun porsinya lebih dikit—menggunakan bahasa asing dengan maksud belajar. Toh sekarang pun Bahasa Indonesia saya lebih lancar dibanding bahasa yang asing lainnya. haha.

Itulah alasan mengapa saya begitu awam dengan Bahasa Jawa—yang membuat saya pada akhirnya sedikit kerepotan beberapa tahun terakhir. Jelas saja repot, saya melanjutkan kuliah di Pulau Jawa yang kotanya selalu berusaha melestarikan kebudayaannya begitu juga dengan bahasanya—Yogyakarta.

Kali pertama sebelum menginjakkan kaki di tanah Jogja ini, ada sepenggal cerita yang selalu membuat saya mengutuk diri sendiri. Di dalam bus yang saya sejak awal berangkat sendiri dan sebelumnya pun tidak pernah ke kota ini, sungguh tidak tenang dan selalu menanyakan perihal tempat pemberhentian bus—ngomong-ngomong, saya berniat berhenti di bawah jembatan Janti.

Saat itu saya duduk di barisan bangku bagian tengah, sehingga membuat saya bolak-balik depan belakang untuk bertanya kepada pak sopir.

“Pak, saya turun di bawah jembatan janti ya—masih lama?”

Isih suwi.

…………..

Saat bus berhenti dan banyak penumpang yang turun saya kembali bertanya, “Ini Janti, Pak?”

Janti ki rono mbak, Janti ra rene.

Penumpang lain yang tepat duduk di belakang kursi pak sopir pun ikut menimpali—mungkin kasihan melihat muka saya yang kebingungan karena tidak merasa mendapatkan jawaban dari sopir bus tadi.

“Ini bukan daerah Janti, mbak.”

“Oh iya, Bu. Terimakasih.”

Beberapa kali bus menepi untuk menurunkan penumpangnya, beberapa kali itu juga saya bolak balik bertanya, “Ini Janti bukan, Pak.”

Selalu saja dijawab, “Janti ki rono, mbak. Janti ra rene.

Jawaban itu membuat saya berpikir keras—asal kalian tahu.

Akhirnya saya pindah tempat duduk tepat di belakang sopir, si ibu yang tadi bantu menjawab sudah turun duluan. Akhirnya saya pun kembali bertanya. “Pak, jadi Janti itu ada dua?”

Piye maksute?

“Kalau Janti rono itu di mana, Pak? Kalau Janti rene di mana, Pak?”

Penumpang yang duduk disebelah saya tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang baru saja saya ajukan ke pak sopir. Pak sopir juga tidak berhenti senyum-senyum setelahnya.

“Nanti saya beri tahu jika sudah sampai Janti ya, mbak.”

“Oh iya, Pak.”

Jadi teman yang akan menjemput saya hanya berpesan untuk  turun dibawah jembatan Janti dan dia akan menjemput disana, setalah pesan itu dia tidak menjelaskan apa-apa lagi.

Tiba di pemberhentian selanjutnya.

“Sudah sampai Janti, mbak. Silahkan turun—Janti rene dan Janti rono sama, mbak. Tidak ada bedanya.”

Setelah mengambil koper di bagasi dan teman saya datang tidak lama setelahnya. Saat itulah saya mulai asing dan berpikir keras saat ingin melakukan komunikasi dengan orang-orang disini.

Betapa amat memalukan pengalaman di bus saat itu. Ingin sekali meminjam alat waktu milik Doraemon untuk memutar waktu tepat pada saat menanyakan perihal Janti rene dan Janti rono—oh my God, aku si cupu nan memalukan yang masih hidup hingga sekarang.

Memasuki perkuliahan kembali mengejutkan namun cukup menyenangkan. Bagaimana tidak, teman-teman yang lebih didominasi oleh orang Jawa meski tidak banyak juga yang merupakan penduduk Jogja, lebih sering menggunakan Bahasa Jawa dibanding Bahasa Indonesia. Beberapa kali saya menyela untuk menanyakan maksud dari apa yang mereka ucapkan.

Satu-dua kali jadi bahan bully karena tidak paham obrolan yang sedang berlangsung—apakah nyali saya jadi ciut ? Oh jelas! Bahkan kekuatan Avatar yang mampu mengendalikan air, api, udara itu tidak akan membantu sama sekali.

Learning by doing pun saya terapkan di keseharian. Banyak mendapatkan kosa kata baru yang digunakan untuk berbicara. Tapi hey perlu diingat, saya ya belajar dengan teman-teman kuliah, Bahasa Jawa yang mereka gunakan pun ya berlaku untuk berkomunikasi dengan sepantaran, tidak satu dua kali pula mendapatkan kosa kata Bahasa Jawa yang betujuan untuk mengumpat—dan itu menyenangkan. haha.

Memasuki tahun ketiga di tanah Jogja, kuping beserta mulut sudah mulai tebiasa mendengar percakapan Bahasa Jawa dan sebisa mungkin pun menggunakan Bahasa Jawa di keseharianku. Namun, usaha itu ambyar saat KKN.

Kampus ku ada program KKN nya, iya Kuliah Kerja Nyata yang bermaksud untuk menerjunkan langsung mahasiswa dan mahasiswi nya di masyarakat, and hell nya durasi waktu KKN ini tidak bisa dibilang sebentar- dua bulan full.

Satu kelompok terdiri dari 10 orang yang berbeda jurusan—jadi ya 2 bulan bersama orang-orang yang baru dikenal. Delapan orang di tempatku berasal dari Jawa, satu orang lagi dari daerah Timur—teman yang dari Timur ini cukup lancar berbahasa Jawa dikarenakan ibunya yang merupakan orang Jawa. Jadilah aku seorang yang masih tidak lancar ngomong Jawa.

Namanya juga KKN, banyak berinteraksi dengan warga. Oh lord, warga tempat KKN ini budaya Jawanya cukup kental. Satu kesalahan diawal yang saya perbuat saat berkenalan dengan Bu RT seusai makan di rumahnya—saat itu saya berinisiatif untuk mencuci piring.

“Ndak usah nduk, nanti ibu saja yang mencuci.”

“Rapopo buk, aku wae.”

Si ibu yang sontak terbelalak dengan jawaban yang saya berikan—teman-teman saya langsung menundukkan muka. Lah saya kan berusaha menyesuaikan diri mengikuti bahasa sini. Akhirnya salah seorang teman yang menjelaskan bahwa saya berasal dari Sumatra, Bu RT yang mendengar penjelasan tersebut tersenyum memaklumi. Ah leganya~

Tidak semua ibu-ibu tempat KKN ini baik seperti Bu RT loh ya. Jadi sebelum KKN kan saya memang sudah berniat belajar Bahasa Jawa, saat teman saya berbicara Bahasa Jawa ya saya dengan refleknya menjawab dengan Bahasa Jawa juga. Ternyata kebiasaan ini  malah terbawa saat KKN—merepotkan.

Tadinya saya pikir tidak apa melakukan kesalahan—toh namanya juga belajar. Bodohnya saya lagi mengulang kesalahan yang berulang. Saat rewang di salah satu rumah warga karena anaknya akan menikah. Jadi rewang itu semacam bantu-membantu sesama yang dilakukan oleh warga setempat saat salah satu dari mereka akan mengadakan suatu acara.

Jadilah kami anak KKN semuanya membantu, saat sedang ramainya ibu-ibu di belakang dan salah satu ibu menawari kue untuk dimakan, saya dengan santainya menjawab, “Ora bu, wes wareg.”

Ditimpali oleh ibu itu, “Eeee cah wedok ra ngerti sopan santun.”

Mak deg!

Ibu itu bukan ibu-ibu warga tempat KKNku ngomong-ngomong, jadi rumahnya di RT sebelah. Tetap saja omongannya terpikirkan hingga sekarang—meski tidak bisa juga disalahkan. Kemampuan Bahasa Jawa saya yang sepatutnya diperbaiki.

Setelah kejadian itu blassss tidak pernah saya menggunakan Bahasa Jawa. Beberapa warga yang saya sebut mbah tidak bisa berbahasa Indonesia, awal mulanya saya berbicara dengan mereka menggunakan Bahasa Jawa yang saya pakai seperti biasanya mereka fine-fine saja. Tidak satu dua kali obrolan itu terjadi, hampir setiap sore saya mengobrol dengan mereka. Namun setelah ucapan ibu itu saya membatasi untuk berbicara dengan warga.

Saat kami mengadakan forum pelatihan baik untuk warga, saya yang bertugas untuk mengisi acara. Saya selalu membukanya dengan ucapan maaf karena saya tidak menggunakan Bahasa Jawa, namun tetap saja saya persilahkan mereka tetap menggunakan Bahasa Jawa saat ingin bertanya mengenai materi yang saya sampaikan. Saya paham apa yang mereka bicarakan, namun Bahasa Jawa yang saya pelajari selama ini kasar—tidak baik untuk berkomunikasi dengan yang lebih tua umurnya.

Setelah saya renungkan kesalahan ucapan saya waktu itu, pantaskah saya mendapatkan gelar anak yang tidak sopan—bahkan saat niat saya baik, saya ingin berbaur dan menyesuaikan dengan kebiasaan warga setempat.

Saya saja berusaha memaklumi mereka yang sulit berbahasa Indonesia karena terbisa menggunakan Bahasa Jawa—mengapa ibu tersebut bahkan tidak berusaha bertanya dari mana saya berasal.

Duh mboke, anakmu loh neng kene ra tau sopan~

Exit mobile version