Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan

Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan

Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan (unsplash.com)

Ternyata tak selamanya ambil KPR menguntungkan. Bisa juga berujung penyesalan apalagi jika mengambil KPR di tanah rantau tapi bercita-cita pensiun di kampung halaman.

Sebagai generasi perintis, merantau adalah hal yang lumrah dilakukan banyak orang. Rela jauh dari keluarga demi mengumpulkan rupiah sebagai modal mencukupi kebutuhan hidup yang semakin ugal-ugalan.

Tak jarang anak rantau berperan sebagai jujugan utama di keluarga besar jika ada yang berniat meminjam uang. Anak rantau dianggap banyak uang. sebab UMR di perantauan biasanya lebih besar daripada di kampung halaman. Tetapi banyak orang lupa UMR lebih besar berbanding lurus dengan harga kebutuhan yang lebih mahal. Sungguh pencitraan yang berhasil dibangun di balik tangis dan sesak yang tidak ditampilkan.

Tinggal di perantauan butuh kesiapan lahir dan batin, lingkungan baru, dan adaptasi yang butuh waktu. Mencari tempat tinggal yang tidak terlampau jauh dari tempat kerja juga menjadi pertimbangan penting. Dulu, tren kontrakan di tanah rantau menjamur. Namun kini trennya bergeser menjadi tren KPR (Kredit Perumahan Rakyat) baik subsidi, komersil, atau dengan embel-embel syariah.

Kebanyakan perantau memilih keluar uang untuk KPR tiap bulan alih-alih bayar kontrakan

Bagi kebanyakan perantau, ketimbang mengeluarkan uang tiap bulan untuk membayar kontrakan, saat ini mereka lebih memilih ambil KPR. Bayar cicilan rumah tiap bulan dinilai lebih menguntungkan. Soalnya rumah nanti akan menjadi hak milik pribadi yang kelak bisa diwariskan kepada anak.

Hal ini pula yang mendasari suami saya dulu memutuskan ambil KPR sewaktu masih lajang. Dia berpikiran untuk menyediakan tempat tinggal dulu sebelum mengajak saya untuk tinggal bersama.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pemikiran lain muncul. Ada rasa sesal karena memutuskan untuk mengambil KPR di tanah rantau. Dosa riba jelas, tetapi ada hal lain yang saya dan suami rasakan selain dari sudut pandang agama.

Baca halaman selanjutnya: Mending beli rumah di kampung halaman sendiri…

Mending beli rumah di kampung halaman sendiri 

Keputusan ini tentu berlaku bagi perantau yang bercita-cita menghabiskan masa pensiun di kampung halaman. Bagi yang sudah telanjur cinta dan bercita-cita menghabiskan masa pensiun di tanah rantau, ya monggo. Mungkin poin ini kurang relate bagi kalian.

Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan pulang dan pensiun di kampung halaman, poin ini seharusnya jadi pertimbangan sebelum memutuskan ambil KPR di perantauan. Daripada KPR di tanah rantau, membeli rumah di kampung halaman adalah investasi jangka panjang yang tepat. Lebih masuk akal juga mengingat harga tanah dan rumah di perkotaan semakin ugal-ugalan.

Sebaliknya, di kampung halaman, kemungkinan harga tanah dan rumah masih bersahabat. Setidaknya harganya nggak semahal di perkotaan. Selain itu kalaupun nanti tiba masa pensiun dan harus pindah, kita tak akan kerepotan memikirkan nasib rumah yang ada di tanah rantau.

Developer tidak amanah

Ingat, tidak semua developer yang menggarap proyek KPR amanah. Wacana tak seindah realitasnya, Gaes.

Contoh nyata yang kami alami misalnya. Sekadar untuk memasang meteran listrik, saya dan suami harus pakai dana sendiri. Jadi developer tidak mengurus printilan semacam itu. Selain itu, selokan tanpa gorong-gorong dan jalan perumahan tanpa diaspal atau dicor bikin kami harus mengeluarkan uang tambahan. Akhirnya tiap hujan turun jalan perumahan kami mendadak jadi kolam.

Sementara kalau bicara soal kualitas bangunan, rasanya hal itu sudah banyak diketahui orang. Sudah banyak yang tahu kalau rumah KPR, apalagi KPR subsidi, belum 5 tahun saja sudah banyak yang perlu diperbaiki.

Jual rumah KPR ternyata sulit

Penyesalan selanjutnya mengambil KPR di tanah rantau berkaitan dengan jual rumah. Sebenarnya yang ini saya belum mengalaminya langsung. Tetapi beberapa tetangga dan teman sudah mengalami poin terakhir ini.

Jadi beberapa tetangga kami memutuskan oper kredit KPR dengan harga yang anjlok Sementara itu teman saya di perumahan lain yang sudah melunasi KPR, ingin menjual rumahnya. Namun sejak beberapa tahun silam sampai sekarang rumah tersebut belum laku juga.

Tak dimungkiri lokasi dan fasilitas perumahan menjadi pertimbangan dan memengaruhi kecepatan laku dan harga jual rumah. Realitasnya, perumahan yang kami tempati termasuk strategis tapi akses jalannya tragis. Makanya banyak yang kemudian pikir ulang sebelum membeli di sini.

Itulah beberapa hal yang kami sesali dari keputusan mengambil KPR di tanah rantau. Meski menyesal, kami tetap melanjutkan membayar angsuran tiap bulan karena kami tak punya pilihan lain selain nrimo ing pandum lan diakehi syukur. Kami hanya bisa berharap semoga cita-cita kami pensiun di kampung halaman bisa terwujud dan nantinya ada yang berminat meminang rumah kami di perantauan agar kami punya modal hidup di kampung halaman.

Penulis: Intan Aida Diliana
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kenapa sih Kalian Selalu Nyinyirin KPR Rumah? Kenapa Nggak Fokus Menuntut Pemerintah untuk Menjaga Harga Rumah agar Tidak Makin Gila?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version