Banyak Kota di Indonesia Harus Belajar dari Keberhasilan Wonosobo Menata Alun-Alun sebagai Ruang Terbuka Hijau Sekaligus Memanusiakan PKL

Alun-Alun Wonosobo, Alun-Alun Terbaik di Indonesia (Unsplash)

Alun-Alun Wonosobo, Alun-Alun Terbaik di Indonesia (Unsplash)

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap tulisan berjudul “Alun-Alun Purbalingga Tetap Bermasalah: Masih Tak Ramah bagi PKL dan Tak Kunjung Ada Solusi”. saya memiliki pemikiran yang sama, beberapa tahun yang lalu, dengan tulisan tersebut. Namun, sekarang, pemikiran tersebut berubah setelah memahami kondisi dan proses belajar kebijakan secara lebih baik di Alun-Alun Wonosobo.

Tentu sangat baik apabila kita memiliki empati kepada para pedagang kaki lima. Mereka sekadar berjualan untuk menyambung kehidupan serta mampu memberikan pendidikan kepada anak-anak atas hasil kerja mereka. 

Tulisan ini juga tidak kemudian mengecilkan peran utama dari para pekerja yang sehari-harinya berjuang untuk menghidupi keluarga. Malahan, tulisan ini hendak memberikan pemahaman bahwa alun-alun kota atau kabupaten di Jawa Tengah memang bukanlah tempat untuk berjualan pedagang kaki lima. Kepada Alun-Alun Wonosobo, kita bisa belajar.

Sejatinya adalah ruang terbuka hijau

Bagi saya, fungsi dari alun-alun adalah ruang bebas bagi warga menikmati udara segar di tengah kota. Kita jarang membicarakan fungsi ini. Padahal, kota sudah penuh asap kendaraan, bising, dan pikuk padatnya warga. Makanya, membutuhkan sebuah tempat yang menampilkan kedekatan dengan alam dan udara sejuk yang nyaman bagi paru-paru. 

Oleh karena itu, di Alun-Alun Wonosobo, pohon-pohon sejuk akan menyapa kita dengan kerindangan. Udara yang lebih segar ketika berada di bawah naungannya membuat alun-alun jadi istimewa.

Makanya, nggak heran jika alun-alun menjadi tempat berkumpul banyak orang. Maka, otomatis, muncul pedagang berjualan di alun-alun. Rumusnya adalah ketika ada keramaian, maka dengan pikiran rasional, ada potensi mendapatkan keuntungan dengan berjualan di dalamnya. 

Tentu tidak masalah ketika keberadaan pedagang itu dikontrol seperti keberhasilan Alun-Alun Wonosobo. Namun, kita bisa membayangkan karena terjadi di banyak tempat, ketika jumlah pedagang seperti tak terkontrol.

Fungsi ruang terbuka hijau terganggu. Selain itu, jelas melanggar peraturan daerah yang memang menegaskan bahwa ruang hijau tidak boleh digunakan untuk kegiatan perdagangan.

Baca halaman selanjutnya: Belajar dari Wonosobo tentang alun-alun yang memanusiakan manusia.

Belajar dari Alun-Alun Wonosobo

Ketika PKL berbondong-bondong berjualan di alun-alun kota, maka pasti akan terlihat sangat ramai. Namun, kebersihan kemudian menjadi masalah tersendiri. Belum lagi masalah jatah lahan yang terkadang harus berebut untuk mendapatkan kesempatan berjualan. Ini kerap digunakan oleh sebagian oknum untuk mendapatkan uang lebih dari pungutan liar

Masalah kemudian merembet dan membesar. Parkir liar tumbuh secara subur tanpa ada komando dari pemerintah. Kemacetan jalan kemudian terjadi dan dianggap lumrah.

Sederet masalah tersebut kemudian tidak dapat diatasi oleh pemerintah daerah saja. Penggunaan lahan di ruang hijau untuk perdagangan saja sudah menyalahi kodrat dari ruang hijau itu sendiri. Saya rasa, Alun-Alun Wonosobo berhasil melewati tantangan ini.

Tentu ketika prosedur diawal saja bermasalah, pemerintah tidak akan berani mengambil sikap selanjutnya. Apalagi aktivitas itu jelas ilegal dan mengandalkan sisi kemanusiaan dari satu perspektif semata.

Jalin komunikasi, bukan kepentingan

Alun-Alun Wonosobo dapat dikatakan lebih baik dalam problem penempatan PKL dibandingkan kota lainnya. Proses komunikasi yang lebih intens antara para pedagang dan pemerintah dilakukan secara terus-menerus. 

Akhirnya, Pemerintah Wonosobo menyediakan tempat yang lebih layak bagi para PKL. Dan, pemerintah juga melakukan promosi lewat media sosial pemerintah untuk mempopulerkan tempat tersebut sebagai tempat wisata kuliner andalan daerah.

Seandainya masing-masing pihak hanya sekadar mendorong kepentingan pribadi maka niscaya tidak akan ada solusi yang ditemukan. Masalah ini bukan masalah pemerintah saja, tapi juga problem sosial yang pelakunya adalah warga daerah itu sendiri. 

Seandainya Pemerintah Wonosobo menggusur para pedagang tanpa solusi, maka yang terjadi adalah aksi kekecewaan. Padahal, sejak awal, alun-Alun itu bukan tempat yang diperuntukkan bagi PKL. Kalau pemerintah saja tidak taat dengan peraturan yang dibuat maka bagaimana dengan warganya?

Sekarang, di Alun-Alun Wonosobo, para pelaku PKL yang tadinya berjualan di alun-alun kota mulai terbiasa dengan tempat yang baru. Selain lebih sejuk, juga ternyata lebih dekat dengan sekolah dan aktivitas keagamaan. 

Alih-alih akan mendapatkan perlawanan yang sengit dari para PKL, pemerintah setempat justru mendapatkan apresiasi. Mereka dianggap mampu memindahkan PKL ke tempat yang lebih layak bahkan melakukan promosi via media sosial pemerintah. 

Proses komunikasi menjadi penting. Hanya dengan komunikasi yang baik, potensi konflik dapat diredam sekaligus solusi yang lebih baik dapat ditemukan.

Penulis: Yoga Aditya L

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Alun-Alun Wonosobo Dianggap Sepi, Bukti Pendatang Gagal Paham dengan Kehidupan Warga Setempat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version