Bagi Deni Wahyudi bekerja di Alfamart meski jabatannya sudah menjadi seorang staf, itu tidak membuat dirinya bangga. Menurut Deni, bekerja di mana pun semakin tinggi jabatan maka semakin besar tekanan dan tanggung jawabnya. Lebih dari itu, menurutnya, di Alfamart sendiri semakin tinggi jabatan semakin besar pula dipotong gajinya kalau ada barang yang hilang.
Deni sudah empat tahun bekerja di Alfamart. Pahit manis bekerja di minimarket yang dianggap tidak punya tempat nongkrong itu sudah ia rasakan. Deni memulai kariernya dari nol sampai ia paham betul mengenai tempat kerjanya.
Saya sendiri bertemu Deni di dalam kereta saat kami akan berangkat menuju Bandung. Dan entah kenapa, saat itu, Deni tiba-tiba menceritakan keluh kesahnya ketika bekerja di Alfamart. Tentu saja sebelumnya kami berkenalan dulu dan basa-basi. Nah, dari keluh kesahnya itu lah saya berinisiatif untuk mewawancarainya.
Pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada Deni adalah tentang alasan kenapa kalau bekerja di Alfamart, atau umumnya di seluruh minimarket, si barang-barangnya itu suka pada hilang. Dan sampai sekarang kehilangan barang itu sudah menjadi keresahan bagi para karyawan minimarket.
Deni menjelaskan, “Ada tiga faktor. Internal, eksternal, dan permainan. Faktor internal contohnya kesalahan kasir dalam mengecek barang sebelum menyerahkan ke pembeli. Kadang, bisa juga karena barang yang tidak kena scan barcode-nya sehingga kelupaan didata. Faktor eksternal contohnya ada pembeli yang mencuri barang. Faktor permainan biasanya dari supplier yang sengaja ngirim barang tapi tidak sesuai jumlah yang seharusnya diberikan. Dan sialnya, kami selalu percaya-percaya aja karena barang yang dikirim banyak, jadi diceklis-ceklis aja datanya, tidak kami hitung barangnya.”
“Efeknya, semua karyawan terpaksa dipotong gajinya untuk menutupi barang yang hilang. Nah, karena jabatan saya sebagai staf, sayalah yang paling besar kedua dipotong gaji setelah kepala toko,” lanjut Deni.
“Apakah benar setiap bulan pas ngitung barang selalu minus atau pernah gitu hitungan barangnya pas?” tanya saya.
“Benar. Jadi, setiap bulan kami melakukan stock opname grand alias proses pendataan yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh staf dan karyawan. Dan hasilnya, minus terus, Kang, tidak pernah pas, semua minimarket pasti mengalaminya,” jawab Deni.
“Jadi, anggapan ada permainan di pihak Alfamartnya sendiri, sebenarnya tidak ada?”
“Urusan barang hilang mah, tidak ada politik tertentu di pihak Alfamartnya, kok. Itu murni karena tiga faktor tadi,” tegas Deni.
Meski informasi sering terjadinya barang hilang ketika bekerja di minimarket sudah lumrah orang dengar, tetapi entah kenapa masih saja banyak orang-orang yang melamar ke minimarket. Saya bertanya kepada Deni terkait hal ini, sebelumnya saya beri penjelasan dulu kepada Deni agar ia menjawab tidak karena orang-orang saat ini lagi butuh pekerjaan sehingga pilihannya ke minimarket, atau karena minimarket menerima lulusan SMA.
Deni mengangguk paham atas pertanyaan saya, lalu ia menjawab, “Kebanyakan, orang yang melamar kerja ke minimarket, mereka kira bekerja di minimarket itu enak. Bisa mainin hape, bisa santai-santai kalau sepi pembeli, padahal kenyataannya capek. Awal saya kerja di Alfamart dituntut harus segala bisa alias kudu multitasking. Jadi kasir harus bisa lah, ngepel juga lah, ngangkut-ngangkut barang lah, dan lain-lain. Jadi, harus bisa saling melengkapi gitu..”
“Tapi, yang paling bikin tertekan kerja di minimarket adalah ketika barang harus terjual sesuai target,” tegas Deni.
Menuju Stasiun Cicalengka, saya membawa pembahasan ke hal-hal yang mungkin bagi Deni agak heran. Saya bertanya, “Kang Deni, jujur ya kalau saya ini lebih suka berbelanja ke Indomaret. Sebelumnya mohon maaf nih, hehe. Jadi gini, kenapa ya ruangan Alfamart rata-rata sempit?”
“Oh, santai saja, saya kan udah resign. Nah, soal Alfamart sempit dan memang di tempat kerja saya pun demikian, itu dikarenakan bangunan Alfamart rata-rata hasil sewa. Jadi namanya hasil sewa, ya seadanya aja. Bahkan, mobil kantor saya pun sewa. CCTV juga hasil sewa juga. Indomaret lebih luas karena biasanya mereka membangun sendiri. Tapi, ini setahu saya, ya.”
“Di Indomaret, suka ada tuh tempat nongkrong buat anak-anak muda, jualan kopi juga. Nah, di Alfamart sendiri saya jarang lihat,” tanya saya.
“Itu mah tergantung lokasi dan tempat sewanya juga. Di Bandung kan udah banyak juga Alfamart yang jualan kopi kayak di Indomaret.”
“Kalau dari sisi pelayanan, kenapa ya kasir Indomaret selalu lebih tampak menyenangkan menyambut pelanggannya sedangkan di Alfamart sendiri saya jarang dengar?”
“Nah, kalau itu saya setuju. Pelayanan Indomaret lebih unggul daripada Alfamart. Di Alfamart SOP-nya ada, ya seperti salam, sapa, sopan, dan seterusnya, tapi jarang dipakai.”
“Terkait promo di Alfamart?”
“Sama lah kayak di Indomaret ada promo juga. Tapi, harga memang lebih murah di Indomaret.”
Lebih lanjut, saya membawa ke pembahasan terkait pernyataan Deni bahwa ia sudah resign di Alfamart. Saya penasaran alasan dia resign, kemudian saya bertanya, “Kenapa Kang Deni resign di Alfamart? Padahal posisi udah jadi staf?”
Sebagai informasi, saya bertanya begitu karena UMR di Garut itu kecil. Sedangkan Deni meski kerja di Garut tapi UMR-nya Bandung. Sungguh sebuah cita-cita bagi orang Garut untuk bekerja mendapatkan UMR Bandung.
Deni menjawab, “Nah, kalau masalah barang hilang tadi tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Alfamart, tetapi alasan saya resign ada sangkut pautnya. Jadi, pihak Alfamart itu tidak mungkin melakukan PHK kepada karyawan dan staf-nya sebagaimana yang sudah kita lihat di pabrik-pabrik. Alfamart akan melakukan segala cara, dengan apa pun itu, dengan tujuan harus ada pengurangan pekerja, ya karena terkait pandemi ini.”
“Cara yang dilakukan oleh Alfamart cukup kurang ajar. Dua bulan sebelum saya resign, toko minus 15 juta. Itu hitungannya tidak tahu dari mana, tiba-tiba atasan ngasih tahu gitu aja. Ya itu tujuannya supaya ada yang keluar. Saya tidak ada masalah apa-apa dengan atasan. Tapi saya kira ini semua karena dari pihak Alfamart-nya aja. Resign lah saya.”
“Setelah resign, saya sempat tifus. Kuliah pun terpaksa cuti dulu karena tidak kebayar,” lanjut Deni.
Raut wajah Deni betul-betul mengekspresikan kekecewaan yang luar biasa setelah menceritakan hal tersebut. Dan tak terasa, satu stasiun lagi kami sampai ke tujuan. Untuk mengakhiri obrolan, saya bertanya hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang pengen tahu juga, haha, tentu masih seputar minimarket dan Alfamart.
“Kang Deni, kenapa ya tukang parkir di minimarket meski sudah ada tulisan bebas parkir, masih saja memungut biaya?”
“Ya itu susah, sih. Biasanya orang pribumi. Sudah ada jatah buat keamanan”
“Kang Deni, kenapa ya maskot Alfamart seekor lebah?”
“Ya katanya, sih, lebah kan pekerja keras. Mirip-mirip pekerja Alfamart harus kerja keras.”
“Kenapa warna kaos Alfamart merah?
“Pemberani.”
“Saya sering ngirim uang melalui minimarket, kenapa kalau ngirim uang dipotongnya Rp15.000?”
“Ya, itu urusannya kan sama Bank Indonesia. Jadi, gede cashnya.”
“Kenapa kasir minimarket suka nanyain ‘ada uang pas’?”
“Ya itu karena kalau di kasir sudah ada uang 500 ribu, itu harus segera masuk ke brankas. Tujuannya itu. Jadi kadang suka tidak ada uang kembalian.”
“Kenapa suka nanyain ‘sekalian pulsanya aja, Kak’ atau ‘rotinya, Kak’?”
“Oh, itu untuk bonus si kasir. Si kasir kan suka ada kesalahan tadi masalah barang yang hilang, jadi bonusnya itu bisa digunakan untuk menutupi barang yang hilang.”
“Terakhir. Boleh kah saya menulis hasil wawancara ini buat dikirim ke sebuah media?”
“Silakan. Biar orang tahu betapa sedihnya kerja di minimarket, apalagi di Alfamart.”
Kereta sebentar lagi tiba. Dan kami siap-siap turun.
BACA JUGA Kami Mewawancarai Admin Vice soal Kenapa Mereka Hobi Tanya-tanya ke Netizen dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.