Alasan Serial Animasi Nussa Nggak Cocok untuk Tayangan Anak-anak di Televisi

nussa dan rara, Alasan Serial Animasi Nussa Nggak Cocok untuk Tayangan Anak-anak di Televisi Wajah Baru Pemberi Warna Baru di Sinetron Preman Pensiun 4 Preman Pensiun 4: Sinetron Penuh Edukasi untuk Insan Pertelevisian Indonesia Rekomendasi Sinetron untuk Hibur Anies Baswedan Atas Ditundanya Formula E

Serial animasi Nussa muncul dalam program spesial Ramadan di Trans TV setiap hari pukul 4.30 WIB dan 16.30 WIB mulai tanggal 24 April 2020. Sebelumnya ia tayang di NET dan Indosiar, tahun 2019.

Saya termasuk salah satu penonton setia, setiap pagi setelah sahur, meski tak terlalu menyukainya. Ini seperti saya tonton film almarhumah Susana sampai akhir meski sepanjang film diputar merasa gemas dan sesekali mengomel. Jadi, apa pun yang saya tulis ini dari sudut pandang seorang penonton yang (((tekun))), bukan karena katanya-katanya, ya.

Berikut alasan kenapa serial animasi Nussa tidak cocok untuk tayangan anak-anak di televisi:

Satu: Karakter Nussa sebagai tokoh utama terlalu “grande” untuk menjadi potret keseharian seorang kanak-kanak.

Bahkan seandainya ia anak saleh, wajarkah tak pernah melakukan kesalahan atau bandel sedikiiit saja seperti pada umumnya anak-anak? Karakter Nussa jauh dari kesan manusiawi. Lebih mirip sebuah lukisan yang ditempel ke dinding sebagai sosok anak yang diidamkan orang tua.

Di setiap episode ia selalu “mengajarkan” penonton untuk berperilaku sesuai ajaran Islam (yang ia yakini benar) dan mengingatkan untuk berbuat kebaikan. Autoinsyaf kalau sudah nonton serial ini? Ya nggak lah. Merasa habis dapat materi liqo’ di rohis SMP sih yang ada~

Yak betul! Nussa lebih mirip anak berusia 12-13 tahun, baru masuk SMP. Dari cara berpikir, cara berbicara, sampai cara ia memerlakukan orang-orang di sekitarnya. Kadang malah seperti orang dewasa yang dipaksakan masuk ke dalam karakter anak-anak. Padahal dalam animasi ini ia diceritakan berumur 9 tahun sementara Rara 5 tahun. Kalau Anta, kucing mereka, nggak tahu deh berapa umurnya.

Bandingkan dengan karakter Dudung di serial animasi keluarga Pak Somat, atau karakter Adit di Sopo Jarwo, sangat berbeda dan perbedaan itu terjadi bukan karena Nussa lebih relijius. Perbedaan terjadi karena memang ia di-setting sempurna. Seperti terbebani pengharapan bahwa karakter Nussa akan menjadi “role model” bagi anak-anak muslim di Indonesia.

Nanti kalau bapak ibu kerepotan ngajarin anak tinggal ngomong, “Contohlah itu Nussa yang saleh,” sambil putar saja terus serial animasi ini. Praktis, parenting ibarat masak pakai bumbu dapur sasetan.

Dua: Realitas sosial Nussa tidak mewakili keragaman muslim Indonesia.

Realitas sosial di sini adalah kontruksi sosial yang dibangun dalam kehidupan para tokoh di animasi Nussa, berangkat dari teori kontruksi sosial yang menjelaskan bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan adalah kontruksi manusia. Ada proses dialektika antara agama dengan masyarakat. Setiap individu sebagai bagian dari masyarakat menginterpretasikan teks (ajaran agama) atau norma (agama) yang didapatkan dari entitas obyektif (yang berada di luar diri manusia) menjadi “way of life” mereka.

Pada serial Nussa, simbol formalistik Islam sebagai hasil interpretasi teks terang-terangan dinarasikan. Bagaimana cara berpakaian yang dianggap tepat, menolak bersalaman karena bukan mahram, dan seterusnya. Simbol formal tersebut digunakan untuk membuat klasifikasi do dan don’t bagi seorang muslim/ah, mengidentifikasi muslim/ah, bahkan “mengukur” keimanan seseorang.

Tidak akan menjadi masalah jika penonton memahami adanya keragaman berislam, tapi secara halus memang ada usaha menggiring penonton terutama anak-anak untuk melihat narasi Nussa tentang Islam sebagai kebenaran tunggal.

Selain mengeliminasi keragaman berislam muslim/ah di keseharian masyarakat Indonesia umumnya bahwa Islam tidak hanya yang dinarasikan Nussa saja. Persoalan lain adalah kultur yang ada di keluarganya yang khas kelas menengah di perkotaan. Nussa hanya mewakili diskursus dan fenomena sosial hijrah masyarakat perkotaan, tidak tepat untuk jadi konsumsi anak-anak di televisi yang bisa diakses masyarakat desa dan kelas menengah-bawah.

Kok jahat amat sih, masa karena alasan begitu aja langsung bilang Nussa nggak cocok tayang di TV? Bisa dong, dicocok-cocokin~

Narasi Nussa dan adiknya sulit dicerna anak-anak yang seusia mereka. Kecuali mengajarkan tuntutan praktis seperti berdoa, misalnya. Oleh karena itu, perlu ditambahkan batasan usia atau beri keterangan menonton tayangan perlu didampingi orang tua.

Materi yang jempolan di animasi ini adalah kondisi Nussa yang disabilitas tapi bercita-cita menjadi astronot sekaligus hafiz Quran. Mimpi anak-anak tidak diberangus begitu saja oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya. Nussa juga tangkas dalam menangkap situasi di sekitar, ini contoh yang tepat untuk anak-anak, di dunia nyata, yang lebih terikat pada gadget ketimbang ikut dalam interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya.

Kesederhanaan cara berpikir, keterbatasan kata-kata saat berdialog, cara interaksi dengan orang lain yang spontan adalah karakter khas seorang kanak-kanak yang luput dari Nussa. Sementara itu, di sisi lain, alasan televisi menayangkan Nussa karena minat audiens di Youtube selalu tinggi. Duh.

BACA JUGA Melihat Islam di Indonesia Melalui Kartun “Upin Ipin” dan “Nussa Rara” dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version