Beberapa waktu lalu sempat ada perdebatan mengenai bagaimana cara baca “McD” yang seharusnya: mekdi atau emsidi? Seketika, terlintas di benak saya teman-teman yang dulu hobi banget ngerjain skripsinya di sini. Kemudian, mengingatkan bagaimana McD dapat menciptakan kenangan indah tentang proses penulisan skripsi.
Dari situ, saya baru menyadari kalau dulu ketika musimnya ngerjain skripsi, saya nggak pernah mengerjakannya di sini. Sama sekali. “Kok, bisa-bisanya, ya, saya nggak pernah ngerjain skripsi di sini?” Boro-boro ngerjain skripsi, wong ke McD aja palingan bisa dihitung jari.
Meski ia menggoda dengan pesona cemilan untuk nongkrongnya, bagi saya, hal yang utama dan terpenting dalam mengerjakan skripsi adalah soal kenyamanan. Dan saya tidak mendapatkan itu jika berada di McD. Sebaliknya, yang ada justru, “Ngapain kudu di sini? Kalau ternyata lebih enak berada di kosan sendiri?”
Bukan hanya atas dasar kenyamanan yang membuat saya enggan mengerjakan skripsi di sana. Ada beberapa faktor lain yang turut memicunya dan saya jabarkan di bawah ini.
Pertama, saya nggak bisa selonjoran. Yak, selonjoran yang berpotensi mengubah posisi jadi gegoleran dan disusul dengan gulang-guling-ngule. Di McD, mana bisa saya begini. Posisi metatang-metiting, angkat kaki kanan-kiri rasanya juga nggak bisa dilakukan dengan seenak, seleluasa, dan seetis jika mengerjakan skripsi di kosan. Pasalnya, di McD nggak cuma ada saya.
Kedua, saya nggak bisa buka kerudung. Saya nggak bisa bayangin, bagaimana bentuk akhir kerudung saya ketika pulang dari Mekdi setelah ngerjain skripsi. Mengerjakan skripsi itu sungguh nguras energi banget. Ya, kepala mumet, kliyengan. Kalau sudah mumet, saya biasanya nggak bisa menahan untuk nggak garuk-garuk kepala. Bisa dibayangin nggak, gimana rasanya garukin kepala yang ada kerudungnya? Hmmm, nggak niqmat banget, Bos!
Garukin kepala yang dilapisi kain itu sama kayak ngelapin debu di meja, tapi nggak kena mejanya. Selain karena kurangnya kenikmatan dalam menggaruk kepala, jarum pentul yang kelamaan mengekang area dagu juga berpotensi untuk menimbulkan rasa kurang nyaman.
Ketiga, laptop saya udah bodol. Laptop saya ini umurnya sama dengan anak SD kelas 1. Namun, nggak cuma umurnya yang sama. Karakternya pun mirip: sama-sama rewel.
Belum lagi, laptop saya ini beratnya sungguh nyusahin kalau dibawa ke mana-mana. Baik baterainya yang bocor sampai keluar bunyi-bunyi yang nggak merdu saat laptop dinyalain. Bunyinya udah mirip gerungan motor, deh. Lantaran itulah, laptop saya ini saya namain Motor. Harapannya, sih, meskipun berisik, semoga dia tetap lancarrr nemenin saya nugas.
Yang jelas, laptop saya ini sudah tua dan memang waktunya dirumahkan. Ia nggak bisa dibawa ke mana-mana, apalagi ke McD, yang kebanyakan pada bawa MacBook.
Keempat, saya nggak punya banyak duit. Bahkan harga minuman termurah di McD pun tetap membuat saya mikir, “Kalau dibeliin nasi warteg, udah dapat nasi telur, kangkung, sambal, sama kerupuknya, nih.”
Nasi rakyat ini tentu lebih mengenyangkan dan menjadi amunisi yang lebih manjur untuk mengerjakan skripsi. Dibandingkan dengan segelas air yang dibeli di restoran cepat saji yang kece ini.
BACA JUGA Yang Terjadi Jika Burjo Sami Asih Ditutup Seperti McD Sarinah dan tulisan Nuriel Shiami Indiraphasa lainnya.