Semua orang tentu memiliki kebutuhan dan keinginan yang harus terpenuhi. Terlebih masalah finansial dan pendidikan. Pada hakikatnya, hak untuk mendapatkan pendidikan memang dimiliki oleh semua warga negara bahkan tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pendidikan mutlak dibutuhkan oleh setiap warga negara, dan negara wajib untuk memberikan fasilitas pendidikan tersebut kepada warga negaranya.
Namun, masalahnya setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam aspek memenuhi haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak tersebut, tidak semua orang beruntung bisa terpenuhi haknya. Baik dari masalah finansial, fisik, psikologis, dan lain sebagainya. Realitanya, kesempatan mendapatkan pendidikan ini tidak merata dimiliki oleh setiap orang. Miris memang, tapi apalah daya, hidup ini tidak bisa selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Akses Pendidikan dan Masalah Finansial
Masalah pendidikan biasanya selaras dengan masalah finansial. Lingkaran setan kemiskinan sudah lama kita ketahui sebagai penyebab masyarakat tidak bisa sejahtera. Saya yakin sekali sejak dulu hingga sekarang, lingkaran setan kemiskinan ini memilki titik tolak dari aspek pendidikan.
Masalah kemiskinan dalam sebuah keluarga ada kemungkinan bisa ditempas menggunakan pendidikan yang bisa didapat anggota keluarganya. Jika salah satu atau beberapa darinya bisa memperbaiki tingkat pendidikannya, kemungkinan besar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kemudian hari, lalu mendapatkan penghasilan yang besar untuk menghidupi keluarganya. Generasi yang akan ia lahirkan selanjutnya juga bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Mayoritas masyarakat Indonesia sudah menyadari akan pentingnya pendidikan ini. Maka tidak heran saat ini banyak yang berlomba-lomba untuk bisa masuk sekolah favorit. Tidak hanya kalangan menengah ke atas, masyarakat kalangan bawah yang sudah “melek” juga mengutamakan pendidikan anaknya. Oleh karena itu, mereka harus bekerja lebih giat untuk bisa membiayai SPP atau keperluan sekolah anaknya. Beberapa cerita mengharukan dan sarat dengan human interest muncul dari sini, seperti dulu pernah viral kisah keberhasilan seorang anak tukang becak yang lulus dengan predikat terbaik dari sebuah universitas negeri di Semarang dan bisa mendapatkan beasiswa LPDP untuk berkuliah di Inggris.
Memang kisah seperti itu sangat menginspirasi dan menyentuh hati orang yang mendengarnya. Saya pun menjadi tersadar untuk tidak malas-malasan berkuliah jika melihat keberhasilan orang-orang yang memiliki hambatan finansial dan merefleksikannya ke kehidupan saya sendiri. Sungguh saya sangat respect kepada orangtua yang banting tulang untuk membiayai pendidikan anaknya. Tapi ada satu hal yang mengganjal hati saya ketika saya mengecek media sosial saya beberapa hari ini, dan ada kaitannya dengan “ketidakberuntungan” orang yang ingin memenuhi hak pendidikannya dengan cara yang, menurut saya, kurang pantas dan kurang masuk akal.
Tren Penggalangan Dana Melalui Situs Online
Tren penggalangan dana atau fundraising melalui situs online sedang gencar-gencarnya di Indonesia saat ini. Sebut saja di situs Kita Bisa. Saya pun pernah memanfaatkan situs penggalangan dana di Kita Bisa untuk membantu seorang guru tunanetra yang mendirikan sekolah luar biasa dan saya akui situs tersebut memang memudahkan orang untuk bisa turut berdonasi. Namun sayangnya, ada beberapa campaign yang tidak masuk akal dan terlihat “memanfaatkan keadaan” untuk kepentingan pribadi yang sebenarnya tidak terlalu mendesak, hingga kemudian disebut sebagai fenomena pengemis online.
https://twitter.com/goyobodkaleng/status/1191537205866450944?s=09
Sebut saja campaign “Bantu Novi Mewujudkan Mimpinya Berkuliah”. Saat ini sedang ramai dibicarakan di Twitter dan menuai banyak tanggapan. Mayoritas, para netizen tidak mendukungnya karena tidak ada hal yang mendesak dan penting dalam campaign tersebut. Terlebih, estimasi dana yang disajikan dalam campaign tersebut tidak sesuai dengan kalkulasi yang dilakukan secara logis oleh netizen. Selain itu, universitas tujuan Novi yang berada di negara Turki tersebut memiliki peringkat dunia yang ternyata jauh di bawah peringkat rata-rata universitas di Indonesia. Novi juga ternyata mendaftar melalui jalur mandiri dan tidak mendaftar beasiswa. Kalau kuliah di Indonesia, mau itu kampus negeri atau swasta, lebih murah dibanding berkuliah di luar negeri. Lantas, mengapa Novi harus memilih kampus di luar negeri yang peringkatnya saja tidak bagus?
Banyak sekali tanda tanya besar dari campaign tersebut. Saya dan mungkin banyak netizen yang mengetahui hal ini, melihat banyak sekali fenomena “pengemis online” yang ada di situs penggalangan dana. Dengan ditonjolkan keadaan finansial keluarga yang terlihat “kekurangan”, baik itu ayahnya seorang tukang bubur, tukang becak, atau tukang apa pun itu, tidak elok rasanya jika mereka malah mengandalkan situs penggalangan dana untuk kebutuhan yang tidak terlalu mendesak dan tidak masuk akal. Apalagi, jika campaign-nya dilakukan di lebih dari satu situs penggalangan dana.
Masih banyak campaign-campaign lain yang lebih butuh perhatian dan memang lebih mendesak dari campaign tersebut. Bisa jadi, dengan banyaknya campaign tidak jelas yang beredar di situs penggalangan dana yang ada, membuat orang yang awalnya rutin menyisihkan uangnya untuk berdonasi menjadi malas dan tidak percaya lagi. Hanya asumsi saya saja, tapi ada kemungkinan terjadi, bukan? Seperti salah satu influencer di Instagram, Andrea Gunawan (@catwomanizer), yang mengaku tiap bulannya rutin menyisihkan uang untuk berdonasi di Kita Bisa, jadi berhenti karena munculnya banyak pengemis online tersebut.
Sebenarnya, lebih banyak lagi kasus pengemis online ini selain dari ranah pendidikan. Seperti ada juga yang membuka penggalangan dana untuk membiayai tiket konser, biaya pernikahan, terlilit utang karena bisnis bangkrut, dan masih banyak lagi kasus aneh bin ajaib yang ada di berbagai macam situs penggalangan dana di Indonesia. Heran saya, apa memang tidak ada usaha nyata selain membuka penggalangan dana online? Apakah itu satu-satunya cara atau jalan keluar dari permasalahan mereka? Atau memang mereka hanya melihat kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan kebaikan hati orang-orang? Saya juga tidak tahu. Tapi, semoga mereka membuka mata dan hati mereka di kemudian hari dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak benar dan tradisi semacam ini tidak boleh dilanjutkan.
BACA JUGA Transparansi Dana Sumbangan Crowdfunding atau tulisan Fariza Rizky Ananda lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.