Nganjuk dan Blitar adalah dua daerah yang akan selalu berada di bawah Kediri dan Malang. Padahal keduanya punya potensi untuk bisa berkembang.
Nganjuk menjadi daerah yang terus berbenah. Pemerintah daerahnya juga berharap Nganjuk bisa menjadi daerah tujuan para perantau. Maka dibangunlah Kawasan Industri Nganjuk yang berada di atas lahan seluas 2.105 hektare. Meski sudah ada pabrik yang memilih berinvestasi di sana, tetap saja kabupaten ini berada di bawah Kediri yang sudah lebih dulu kuat dengan industrinya.
Apa yang dialami Nganjuk tak juga beda dengan yang dialami Blitar. Hingga kini Kabupaten Bliter masih berada di bawah bayang-bayang Kabupaten Malang. Sudah sejak lama Blitar berupaya mengembangkan destinasi wisata di pesisir pantai selatan. Namun nyatanya tidak mampu bersaing dengan Malang. Konon, Blitar hanya dapat asapnya untuk setiap wisatawan yang melintas. Sebab tak sedikit wisatawan yang berpendapat lebih baik tambah jarak sedikit ke Malang ketimbang berwisata hanya sampai di Blitar.
Padahal jika dilihat lagi, sebenarnya Nganjuk dan Blitar sama-sama punya potensi besar untuk berkembang. Namun pengaruh Kediri dan Malang membuat keduanya semakin tertinggal. Apa saja yang membuat Nganjuk dan Blitar menjadi daerah semenjana?
Kawasan Industri Nganjuk terkesan dipaksakan
Seperti KIK di Kendal, BIP di Batang dan KID di Demak, Nganjuk juga menjadi korban pemerintahan sebelumnya yang memaksakan di setiap daerah harus memiliki kawasan industri. Padahal langkah itu tak sepenuhnya tepat, sebab pembangunan besar-besaran kawasan industri tersebut hanya mengejar kuantitas. Faktanya, kawasan yang dibangun kosong dan sulit memenuhi kuota yang sudah disediakan pemerintah. Inilah yang terjadi di Nganjuk.
Alih-alih dipenuhi bangunan pabrik yang ingin berinvestasi, lahan seluas 2.105 hektare itu masih berteman sepi. Ada satu dua perusahaan yang berminat menanamkan modal mereka di sana, tapi juga patut dipertanyakan. Rerata mereka yang datang karena alasan UMR di kota sebelumnya terlampau tinggi. Makanya Nganjuk menjadi daerah alternatif karena UMR-nya berada di urutan ke 28 Kota/Kabupaten di Jawa Timur.
Jangankan menyaingi Kediri sebagai kawasan industri, untuk menjadi daerah tujuan merantau saja sulit. Apalagi industri Kediri terbangun dengan organik dari hulu ke hilir. Berbeda dengan Kawasan Industri Nganjuk yang hingga saat ini masih berbentuk hamparan sawah. Lahannya baru akan diurus jika sudah ada perusahaan yang masuk.
Kesalahan Nganjuk memilih prioritas unggulan
Sampai sekarang, Kediri kerap dikenal sebagai Kota Tahu. Julukan tersebut bukan tanpa alasan. Fyi, tahu di sini sudah diperkirakan ada sejak tahun 1900-an. Bahkan pabriknya yang mulai menjamur di tahun 1912 membuat daerah ini dikenal dengan produksi tahunya, utamanya tahu takwa.
Hal inilah yang terus dijaga oleh Pemda Kediri, bahkan hingga saat ini. Seorang penulis Terminal Mojok, Nurhadi Mubarok, dalam tulisannya menyebut jika julukan Kota Tahu lebih pantas disematkan untuk Kediri ketimbang Sumedang.
Sementara itu jika kita cari Nganjuk di Google, daerah ini malah ingin dikenal sebagai Kota CB. Ya, CBÂ adalah komunitas City Bike keluaran Honda yang kabarnya sudah menggelar kegiatan sejak awal 2000-an. Saya rasa pemilihan prioritas yang diunggulkan juga sangat penting guna memperkenalkan daerah kita kepada pendatang. Susah juga kalau disuruh bawa pulang motor CB dari Nganjuk.
Nasib Blitar tak jauh beda
Setali tiga uang, apa yang dialami Nganjuk juga dialami Blitar yang selalu berada di bawah bayang-bayang Malang. Alih-alih mendapatkan kunjungan wisatawan, beberapa pantai di Blitar malah sepi. Destinasi wisatanya sudah cukup bagus, tapi sayang kondisi jalan yang buruk membuat wisatawan mengurungkan niat mereka berkunjung ke sini.
Salah satu destinasi wisata yang saya maksud adalah Pantai Peh Pulo di Desa Sumbersih, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Alih-alih dibuat senang saat liburan, wisatawan yang datang merasa kapok karena kondisi jalan ke sana masih makadam. Saya pribadi sih cukup sekali saja ke sana dan tak ingin datang kembali. Jika kalian tak percaya, coba saja ke sana.
Malang lebih lengkap daripada Blitar
Seperti Nganjuk dan Kediri, nama besar Malang juga membuat Blitar tersingkir. Orang lebih tertarik berkunjung ke Malang. Apalagi jika melihat keramaian yang ditawarkan Malang. Banyak wisatawan rela datang dan memilih balik lagi ke Malang. Selain lebih nyaman, akses jalannya lebih mudah dilewati. Inilah yang mungkin tidak ditemukan di Blitar. Jadi jangan bingung jika sampai sekarang Blitar masih terus berada di bawah Malang.
Pada akhirnya semua memang kembali pada pilihan pemerintah daerah. Mau daerahnya cepat berkembang atau memilih pelan, pelan-pelan hilang dari peradaban maksud saya. Pemangku kebijakan tetap punya pilihan, bukan begitu?
Penulis: Fareh Hariyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kehidupan di Nganjuk: Kabupaten Paling Adem, Ayem, dan Nyaman di Jawa Timur Tapi Bikin Bosan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















