Seorang kawan membagikan sebuah cuitan tentang para kelas menengah yang berdebat perihal orang miskin sebaiknya berpikir ulang untuk punya anak. “Ayo ramaikan Mas, tulis bila perlu!” ajak kawan itu. Saat itu saya berpikir belum, sabar tunggu sebentar, tunggu viral dan trending biar lebih ramah SEO.
Ternyata pilihan saya menunggu salah karena tak lama muncul sebuah tulisan yang dahsyat dari Cik Prima. Segala konsep yang masih berupa ide dalam kepala saya telah dituangkan ke dalam bentuk kata-kata yang dirangkai sedemikian bernasnya menjadi sebuah tulisan. Membacanya membuat saya kesal sekaligus puas. Di satu sisi saya kesal karena bukan saya yang menulisnya, di sisi lain saya puas karena bacaan seperti ini telah lama saya nantikan.
Namun ada satu pertanyaan retoris yang mungkin bagi kebanyakan orang atau bahkan penulis sendiri merasa tidak perlu dijawab, tentang mengapa orang-orang bisa kehilangan empati terhadap si miskin yang justru menggugah rasa penasaran saya. Hal itu membuat saya bertanya-tanya, apakah memang pada dasar manusia-manusia jenis begini memang tidak memiliki empati atau bagaimana?
Pertanyaan itu membuat saya membaca ulang sebuah buku yang cukup lama namun masih relevan berjudul Moral Politics: How Liberal and Conservative Think yang ditulis oleh George Lakoff, seorang linguist yang juga profesor sains kognitif. Ada sebuah penjelasan mengapa ada orang bisa tidak memiliki empati atau memiliki empati namun empatinya selektif hanya terbatas pada golongannya saja. Semua itu dikarenakan pandangan moral yang melandasi cara berpikirnya.
Lakoff menjelaskan ada dua sistem moral pada manusia – dua moral yang aktif dalam sistem kognisi manusia yang menghubung neuron demi neuron hingga terbangun stuktur neuron yang membuat seseorang memiliki empati atau tidak. Kedua jenis moral ini terbangun dari cara orang tua mendidik anaknya. Lakoff menyebut kedua moral ini dengan moral “Strict Father” dan “Nurturing Parent”.
Orang-orang pandangan moral Strict Father ini dididik dengan pendekatan “cinta yang keras” – cinta yang menekankan pada berbagai aturan dan hukuman. Karena itu mereka melihat disiplin adalah satu-satunya kunci untuk meraih sukses di dunia ini. Mereka hakul yakin orang miskin menjadi miskin itu karena ia malas dan bodoh, sehingga tidak mampu bersaing.
Mereka tidak mampu melihat bahwa kemiskinan bukan lagi permasalahan struktural, bahwa orang miskin dengan segala keterbatasan terhadap alat produksi dan modal hanya akan melahirkan orang miskin baru. Orang-orang seperti ini juga tidak percaya privilese itu ada karena mereka yakin kesuksesan itu buah dari kerja keras. Orang miskin tidak sukses karena malas, orang kaya bisa sukses karena disiplin. Itulah landasan logika berpikir mereka.
Dalam pikiran mereka dunia ini dari sananya sudah berbahaya, kompetitif, dan hierarkial. Untuk bisa sukses di dunia ini ya harus mampu bersaing, mengalahkan yang lain, karena dunia ini hirarkial. Selalu ada yang mendominasi dan dinominasi. Selalu ada yang dikuasai dan menguasai. Selalu begitu, dari sananya sudah begitu, dan akan selalu begitu.
Bagi orang seperti mereka ini bukanlah hal yang aneh jika orang kaya mendominasi orang miskin. Karena itu ketika orang miskin mencari kerja kepada orang kaya dan diberi upah tak seberapa, ya itu bukan masalah. Salah sendiri kenapa miskin, kalau nggak mau ya cari di tempat lain. Toh masih banyak yang ngantri untuk cari kerja
Karena itu mereka tidak mampu melihat ini sebagai masalah sistemis, bahwa orang miskin akan selamanya miskin karena sistem yang memang dibuat, berpihak, dan dikendalikan oleh orang kaya. Dalam pikiran mereka ya kalau mau merubah sistem jadi kaya dulu donk. Karena itu lahir pikiran seekstrem melarang orang miskin berhubungan seksual, apalagi sampai punya anak. “Jangan deh jangan…. perbaiki dulu hidup miskin lu pade baru punya anak.”. Ya kira-kira seperti itu yang ada di pikiran mereka.
Apakah orang seperti mereka ini bodoh, cupet, atau kurang belajar?
Waduh saya tidak sampai hati untuk mengatakan mereka bodoh, cupet, dan kurang belajar, seperti halnya saya tidak sampai hati untuk mengatakan Adam Smith itu bodoh, cupet, dan kurang belajar. Orang-orang seperti mereka bukannya bodoh, tapi moral mereka yang memang berbeda. Mereka melihat dunia dengan cara berbeda dari orang-orang yang memiliki moral Nurturing Parent; yang menggunakan empati sebagai landasan moralnya.
Orang-orang dengan moral Nurturing Parent ini tidak dididik dengan aturan yang keras juga hukuman, namun dengan saling menghormati dan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua. Anak diajarkan untuk memiliki empati dan tanggung jawab sosial dengan cinta dan respek yang mereka dapat dari orang tuanya melihat dunia sebagai tempat hidup bersama, bahwa manusia hidup secara komunal.
Menjawab pertanyaan saya di atas, saya bisa mengatakan bahwa ya mereka memang tidak memiliki empati. Tapi itu bukan semata-mata mereka kejam dan anti orang miskin, namun karena mereka memang tidak mampu untuk berpikir seperti halnya orang-orang yang memiliki moral Nurturing Parent.
Tapi tenang saja selama diskursus ini terus berlanjut, manusia terus menyampaikan pendapatnya, maka selalu ada harapan. Suatu saat manusia akan bisa mengerti antara satu dan lainnya. Seperti yang disampaikan Hegel, dialektika antara tesis dan anti-tesis masih bisa menghasilkan sintesis. Duh, semoga…
BACA JUGA Riset Saya untuk Membuktikan Apakah Penjual Nasi Padang Memang ‘Bias Gender’ dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.