Menjadi seorang bassist rupanya memerlukan sikap humble agar tidak terkesan overplay dalam setiap permainannya. Perannya di panggung terkadang juga hanya dianggap sebagai pengiring semata. Kecuali jika seorang bassist tersebut mengambil peran sebagai vokalis seperti beberapa band bergenre punk.
Dalam momen-momen tertentu seperti momen pesta, pemegang bass cukup sulit mendapatkan sorotan daripada posisi vokalis. Umumnya lagu yang dimainkan saat pesta tidak memungkinkan seorang bassist menunjukkan skill melalui permainan solo-nya.
Bassist juga kerap mendapatkan stigma sebagai pemain musik yang tidak begitu bisa bermain musik. Hal ini tentu wajar karena sebagian penonton ataupun pendengar, lebih tertarik untuk mendengar suara melodi dari gitar ataupun keyboard.
Anggapan bahwa bermain bass lebih mudah daripada bermain gitar tentu tidak bisa dibenarkan atau disalahkan. Anggapan ini muncul karena referensi musik setiap orang yang berbeda.
Bagi yang menyukai musik pop tentu wajar jika mereka menganggap bahwa bassist hanya berperan sebagai pengiring semata. Hal ini disebabkan bass merupakan instrumen low pitch alias nada rendah, sehingga jika lagu diputar melalui hape, tentu wajar jika suara bass akan tenggelam dengan suara dari instrumen yang lain.
Lalu bagaimana dengan band yang tidak memiliki bassist seperti Scaller? Usut punya usut, Scaller memang pernah memiliki bassist. Namun, karena suatu hal, bassist tersebut mundur dan peran instrumen bass diambil alih oleh Stella yang berperan juga sebagai vokalis dan juga synthesizerist. Sehingga kita akan melihat ada 2 instrumen synthesizer yang dipegang oleh Stella di mana salah satunya memiliki andil dalam menghasilkan tone bass menggantikan bass gitar.
Meski menghasilkan suara yang low dan terkadang tenggelam oleh suara instrumen lain, tapi menghilangkan suara bass adalah sesuatu yang hampa ketika mendengarkan musik. Bisa diibaratkan seperti nasi goreng tanpa kecap.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dihasilkan oleh Northwestern University yang menemukan fakta bahwa lagu yang mengandung suara bass dominan rupanya mampu membuat pendengar menjadi lebih enerjik. Hal ini sangat tampak sekali pada genre musik seperti ska, funk, jazz hingga dangdut koplo.
Saat memainkan alat musiknya, bukan berarti seorang bassist bermain tanpa risiko. Umumnya, bass adalah instrumen yang lebih berat dari gitar sehingga memperbesar risiko bassist merasakan nyeri di punggung setelah bermain cukup lama. Sehingga, bassist perlu memiliki kekuatan otot yang cukup prima demi menunjang permainannya ketika melakukan aksi di panggung.
Saya pun menemukan fakta mencengangkan dari penuturan teman saya ketika menyelenggarakan hajatan. Rupanya suara bass menjadi salah satu parameter tukang sound system dalam menyetting tone bass. Parameternya adalah ketika kaca sebuah rumah bergetar saat suara bass berdentum, maka sound system akan dianggap oke dan sesuai dengan standar hajatan.
Tentu saja kaca bergetar ini juga menjadi salah satu pertanda bahwa di suatu tempat tengah diselenggarakan sebuah pesta dengan beragam sajian prasmanan. Suara bass yang menggema tersebut seakan menjadi sebuah pertanda bahwa kita sudah dekat dengan tempat kondangan.
Hal ini rupanya sejalan dengan penjelasan saintifik yang membuktikan bahwa frekuensi rendah pada suara bass merupakan suara yang penting. Di mana otak kita sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendeteksi nada-nada rendah. Bahkan orang yang memiliki gangguan pendengaran juga bisa merasakan beat sebuah lagu karena adanya dentuman suara bass.
Akhir kata, bass merupakan instrumen yang mutlak dibutuhkan sesuai genrenya. Terkadang ia terdengar menonjol, terkadang juga terdengar samar-samar. Namun, posisi ini juga memiliki peran vital, yakni membuat harmoni dan membuat penonton bergoyang dan pastinya memberi pertanda akan adanya pesta.
BACA JUGA ‘Anak Band’ Adalah Sinetron dengan Judul Paling Aneh yang Pernah Ada dan tulisan Dhimas Raditya Lustiono lainnya.