“Kenapa kuliah di UM? Nggak keterima di UB, ya?”
Pertanyaan menyebalkan macam ini beberapa kali mendarat di telinga saya dari beberapa orang yang pernah menanyakannya. Awalnya saya biasa aja, bahkan cuek, dengan pertanyaan macam ini. Tapi lama kelamaan, pertanyaan ini terdengar pahit banget. Bukan karena saya nggak diterima di UB, tapi alasan daftar UM ya karena dari awal saya memang maunya kuliah di UM Malang, dan saya nggak pernah pengin masuk UB sama sekali.
Bisa masuk Universitas Brawijaya (UB) memang jadi impian banyak orang. Nggak hanya orang Malang, tapi orang luar Malang juga punya impian tersebut. Sementara itu, Universitas Negeri Malang (UM) nggak terdengar seperti kampus yang diimpikan banyak orang. Maksudnya, UM ini nggak jadi top of mind orang-orang kalau bicara kampus di Malang. Padahal UM nggak kalah bagus dari UB. Mungkin hanya saya, dan sebagian orang, yang memang sedari awal beneran pengin kuliah di UM. Entahlah.
Tapi sebagai alumni mahasiswa UM, yang dulu kerap dapat pertanyaan kenapa kuliah di UM dan sering dianggap nggak keterima di UB, saya pengin menjelaskan alasan daftar UM.
Jurusan yang saya inginkan adanya di UM Malang
Sejak kelas 3 SMA, saya sudah mantap pengin kuliah di jurusan Sastra Indonesia (spesifiknya Sastra Indonesia murni), dan saya nggak mau kuliah di luar Malang. Dengan situasi seperti itu, pilihan terbaiknya ya cuma satu, kuliah di Sastra Indonesia UM. Sastra Indonesia UM ini nggak cuma jadi yang terbaik di Malang, tapi juga di Jawa Timur, bahkan di Indonesia. So, pilihan saya sejak awal sudah jelas: kuliah Sastra Indonesia di UM.
Sebenarnya nggak cuma UM yang punya Sastra Indonesia. Kampus-kampus lain seperti UMM, UNISMA, dan UB juga punya Sastra Indonesia. Masalahnya, Sastra Indonesia di UMM, UNISMA, dan UB cuma ada yang pendidikan, sementara saya penginnya Sastra Indonesia murni. Jadi, saya nggak menoleh ke kampus lain selain UM.
Bahkan, ketika akan masuk kuliah, saya menulis pilihan kedua saya setelah Sastra Indonesia adalah Ilmu Sejarah. Dan saya memilihnya Ilmu Sejarah UM, bukan di UB, juga bukan kampus-kampus yang lain. Intinya, sejak awal memang jurusan yang saya inginkan (dan yang terbaik) cuma ada di UM.
UM terkesan lebih merakyat ketimbang UB
Mungkin ini terdengar seperti melanggengkan stereotip, tapi memang begitu kenyataannya. UM ini memang lebih merakyat ketimbang UB. Kayak lebih sederhana, lebih napak tanah, lebih lowkey gitu, lah. Cocok banget dengan energi saya. Maksudnya, selama 4,5 tahun kuliah di UM, saya itu nyaman-nyaman aja, dan nggak merasa iri dengan cerita-cerita dari kampus-kampus tetangga. Ya ini salah satu alasan daftar UM paling vital sih menurut saya.
Di UM itu orang-orangnya terkesan lebih guyub, lebih srawung, dan lebih egaliter aja rasanya. Nggak ada gap yang memisahkan antara satu orang dengan yang lain. Kayak nggak ada gengsi-gengsian juga gitu. Sementara kalau menengok ke kampus tetangga, ke kampus UB, rasanya kampus ini terlalu “mewah” gitu. UB ini kelihatan kayak kampus yang hedon, dan mahasiswanya pun begitu. Dan yang seperti itu jelas nggak cocok buat saya.
Mungkin ini perasaan saya saja, atau mungkin ini sebatas sentimen saya saja. Tapi coba kalian buktikan sendiri, deh. Coba kalian amati kampus UM, lalu amati kampus UB. Maka kalian akan paham bahwa UM terkesan lebih merakyat ketimbang UB.
Biaya hidup di kampus yang lebih murah
Dulu, kalau bicara biaya kuliah, UB memang terkenal sebagai kampus yang mahal, dan UM Malang adalah kampus yang murah. Tapi sekarang, kedua kampus ini sama mahalnya. Benar-benar nggak ada bedanya. Tapi, kalau soal biaya hidup (kos, makan) UM harus diakui masih lebih murah ketimbang UB. “UM dan UB kan dekat banget, bukannya sama aja, ya?” Eits, tunggu dulu. Sini tak jelasin.
Kita mulai dari kantin yang ada di dalam kampus. Kalau ini, UM jelas lebih murah. Di UM, semasa saya kuliah tahun 2016-2020, saya sudah bisa makan nasi pecel, minum teh hangat, dan merokok sebatang hanya dengan modal 10 ribu saja. Di UB mana dapat segitu?
Kalau Di UB, 10 ribu paling cuma bisa makan doang. Bahkan, saya pernah mengajak teman saya akan UB ke Kantin Pak Japan di Fakultas Sastra, dia kaget dengan harga teh hangat yang cuma 1000 rupiah.
Selain kantin, warung makan di sekitar UM juga bisa lebih murah ketimbang warung makan di sekitar UB. Selain tempat makan, kos-kosan juga sama. Kos-kosan yang ada di sekitar UM bisa dibilang sedikit lebih murah ketimbang kos-kosan yang ada di sekitar UB. Ya selisih 50-70 ribu untuk fasilitas yang sama, kan, lumayan, ya. Makanya nggak salah saya memilih UM.
Nggak melihat kampus lain selain UM sebagai pilihan
Ini adalah jawaban untuk pertanyaan di awal tulisan ini, mengenai alasan daftar UM. Ya karena memang saya penginnya masuk UM. Saya nggak mempertimbangkan kampus-kampus lain sebagai pilihan. Bahkan UB sekalipun. Karena memang cuma UM yang bisa menampung apa yang saya inginkan, yaitu kuliah di Sastra Indonesia murni.
Makanya saya sampai sebel dengan pertanyaan di awal tulisan ini. Kalau cuma tanya alasan saya memilih UM, sih, saya masih oke. Tapi kalau sudah diikuti dengan apakah karena nggak diterima di UB, saya sebel banget itu. Emangnya kenapa kalau kuliah di UM? Dan kenapa harus UB juga? Kenapa apa-apa harus UB, sih?
Maksudnya, nggak semua orang yang kuliah di UM Malang itu karena nggak diterima di UB. Ada yang memang sedari awal sudah mengincar UM, penginnya di UM, atau memang adanya jurusan tertentu ya cuma di UM. Makanya, daripada melontarkan pertanyaan ini ke mahasiswa UM, pertanyaan ini akan lebih valid kalau dilontarkan ke mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
“Kenapa kuliah di UMM? Karena nggak keterima di UB, kan?”
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jadi Alumni UM Itu Enak: Kebanggaannya Tanpa Beban, Biasa Saja, dan Sak Madyane
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















