Saat sedang berada di kebun untuk memanen daun pisang, saya terpikirkan sebuah pertanyaan yang langsung saya layangkan kepada Ibu tentang masa depan saya menjadi petani. Sambil sibuk memisahkan daun pisang dari akar daunnya menggunakan pisau, ia menyimak pertanyaan saya.
“Buk, jika nanti njenengan sudah tak ada, siapa yang meneruskan menggarap kebun?”
Jawabnya lugas, “Ya kamu.” Padahal, saya merasa tak ada passion menjadi petani meski sesekali suka menanam pisang dan memanen buahnya. Saya akui, setelah menanam dan merawatnya, memanen adalah bentuk kepuasan tersendiri. Tapi, menjadi petani untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, saya rasa tidak.
Saya menimpali balik jawaban Ibu tadi dengan jawaban jujur bahwa saya tak begitu tertarik menghabiskan hidup untuk bertani. Tak ada bayangan masa depan yang terlintas di benak bahwa saya akan menjadi petani seperti yang dilakukan oleh orang tua.
Mengapa saya bersikap demikian? Padahal Bapak dan Ibu memiliki beberapa lahan untuk berkebun. Dari lahan tersebutlah mereka bisa membiayai semua anak-anaknya sekolah sekaligus masuk pesantren. Meski tak jarang telat bayar SPP, daftar ulang, atau iuran-iuran lainnya.
Mungkin tulisan ini sedikit bisa menjawab pertanyaan umum mengapa anak-anak dari para petani tidak meneruskan profesi mulia itu. Berikut alasan-alasan berdasarkan amatan pribadi dan apa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya.
#1 Orang Tua Tak ingin
Saya yakin sekali banyak orang tua berpikir demikian. Di kampung saya sendiri generasi-generasi petani mayoritas berhenti di orang tua. Anak-anaknya lebih memilih kuliah (walau salah jurusan) atau bekerja sebagai buruh pabrik.
Ijazah yang diperoleh dari bangku kuliah dielu-elukan oleh para orang tua agar anaknya memiliki pekerjaan yang layak. Minimal menjadi guru atau menjadi staff kantoran di perusahaan. Mereka juga berpikiran sederhana, bekerja di pabrik lebih jelas penghasilannya dibanding dengan bertani yang memiliki banyak risiko.
Semua orang tua menginginkan yang terbaik, minimal lebih baik dari apa yang mereka lakukan sebelumnya. Generasi milenial atau generasi sebelumnya sudah banyak yang memutuskan untuk tidak menjadi petani. Sebab, orang tuanya sendiri yang seorang petani kebanyakan juga tidak menginginkan anaknya menjadi petani.
Termasuk Ibu saya, sebenarnya juga tidak menginginkan. Menjadi petani adalah pilihan “apa boleh buat”. Pilihan jika memang hanya itu yang bisa saya kerjakan suatu saat nanti.
#2 Tak Suka
Bertani terlihat sebagai kegiatan yang membosankan. Menanam bibit, memupuk, menyemprot rumput dan hama serangga, sampai pada memanen adalah pekerjaan yang lumayan melelahkan. Meski terlihat sepele, tapi bertani butuh kesabaran dan ketelatenan agar panennya berhasil.
Proses ini menurut saya sangat ribet. Petani harus selalu mengontrol hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ditanam. Misalnya jika tanaman padi berarti perlu diperhatikan airnya. Jika tak ada air? Ini persoalan. Belum lagi hama keong, tikus, dan burung yang merusak. Belum masalah cuaca dan lain-lain.
Selain itu banyak kegiatan yang menurut saya jauh lebih menarik daripada bertani. Tapi, bukan berarti pilihan menjadi petani itu buruk atau salah, ini hanya soal kecenderungan atau passion. Jika tak begitu suka ya mau bagaimana?
Orang-orang yang sok menyayangkan anak muda enggan bertani itu menurut saya amat naif. Harusnya hal prinsip seperti ini mereka tahu.
#3 Biaya Tak Sedikit
Untuk hal ini, seharusnya sudah menjadi pengetahuan umum. Bertani modalnya tak sedikit bagi petani itu sendiri. Pernah mendengar harga pupuk? Jika belum silakan cek sendiri. Bagi saya harga segitu mahal. Ini saya membicarakan pupuk subsidi yang sering langka itu ya, kalau yang non subsidi jelas bukan level kami.
Ini kok meloncat langsung membicarakan pupuk? Lahan sawah atau kebun juga mahal. Ini modal utama. Jika tak memiliki warisan tanah dari orang tua, saran saya jangan menjadi petani. Tapi, jika anda serius, menabunglah dengan sangat rajin dari sekarang untuk membeli sawah atau kebun.
Produk obat-obatan pertanian juga terbilang mahal. Baik obat buah-buahan, pembasmi rumput liar, atau serangga. Dan mayoritas para petani bergantung kepadanya. Mau tidak mau mereka harus menyisakan uang untuk membelinya.
#4 Susah kaya
Berapa banyak orang menjadi kaya karena berprofesi menjadi petani? Saya tak tahu jawabannya. Tapi, pastinya, yang miskin jumlahnya banyak. Contoh paling nyata adalah banyak keluarga yang kesulitan membiayai anaknya sekolah.
Sudah melakukan proses menanam yang ribet, memakan waktu, biaya, serta tenaga, petani masih juga tidak bisa mematok sendiri hasil panennya. Minimal yang bisa menutup modal dan tenaga yang dikeluarkan.
Harga setiap harinya tak pasti, ikut sistem pasar. Jika terlalu banyak hasil panen di pasar dalam kurun waktu yang bersamaan, harga jadi turun dan murah meriah. Dalam kasus ini, khususnya harga sayur dan buah.
Proses yang tak sederhana ditambah risiko gagal panen dan risiko harga anjlok bahkan tidak laku, bukan hal baru bagi para petani. Ini menjadikan bertani sebagai pekerjaan untung-untungan. Hasilnya menurut saya kurang sepadan, jauh dari kata sejahtera.
Bukan maksud menyebar pesimisme, tapi realitas hari ini menunjukkan para petani itu manusia kelas dua dari sisi kelas sosial maupun ekonomi. Ini yang kita bicarakan petani, belum lagi menyenggol siapa itu buruh tani.
Jika ada yang nyeletuk, “Itu petaninya saja yang kurang kreatif.” Iya memang, mayoritas petani di Indonesia memang belum kreatif memenuhi ekspektasi-ekspektasi kemajuan teknologi. Tapi, terlepas dari itu, hasil jerih payah keringat mereka tetap yang kalian nikmati setiap hari.
BACA JUGA Pertengkaran Keluarga Kadang Justru karena Satu sama Lain Punya Persamaan dan tulisan Muhammad Khozin lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.