Akui Saja, Pariwisata Jogja Memang Sudah Menemui Titik Jenuhnya

Saya Justru Menyesal Tidak Jadi Kuliah di Jogja pariwisata jogja caleg jogja

Saya Justru Menyesal Tidak Jadi Kuliah di Jogja (Unsplash.com)

Bulan Syawal sudah berakhir, dan libur Lebaran sudah lama berlalu. Tapi masih saja banyak yang cerewet tentang libur yang sempat rancu tanggalnya itu. Mempermasalahkan libur kali ini tidak sesuai ekspektasi. Bukan ekspektasi bawa calon mantu, tapi pariwisata Jogja. Betul, pariwisata Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) dinilai lesu pada libur Lebaran 2023. Bahkan dinilai akan terus melemah.

Mengutip Kompas.com, kunjungan pariwisata libur Lebaran 2023 ke Jogja hanya 70 persen dari tahun sebelumnya. Okupansi hotel rata-rata juga hanya 50 persen. Menarik, karena sebagai warga lokal saya tetap merasa Jogja sumpek selama lebaran. Dan dengan gelombang wisatawan ini, saya dan banyak orang juga biasa wae. Tidak makin kaya atau tiba-tiba punya tanah di Jogja. Lha wong tanah kas desanya dipermainkan, chuakz.

Tapi, banyak suara miring tentang fenomena ini. Saling menyalahkan tentang penyebab lesunya pariwisata Jogja ini. Dari isu nuthuk harga sampai kebangkitan pariwisata Solo. Hanya, yang cukup sering lewat di timeline dan telinga saya: banyak orang suka bicara miring tentang Jogja. Sehingga calon wisatawan enggan datang ke Jogja. Apakah Anda juga berpikir demikian?

Kalau iya, mending Anda sekarang cuci muka, lalu minum kopi. Karena saya berniat menampar Anda semua dengan kasunyatan sing pait.

Kalau miring, ya diluruskan!

Sebenarnya saya punya cukup banyak jawaban tentang masalah pariwisata Jogja menjadi lesu. Tapi bukankah lebih mudah menyalahkan yang terlihat saja. Salah satunya opini dan kabar miring tentang Jogja. Gobloknya, solusi dari opini dan kabar miring tentang Jogja adalah diberangus. Persis seperti waktu Jogja masih diselimuti pandemi. Ketika itu, muncul seruan untuk stop pemberitaan COVID-19 di Jogja.

Saya sih maklum kalau warganet bersuara demikian. Sebab, mereka tidak bisa mengambil keputusan apa pun dan hanya melihat masalah dari kaca mata yang sempit. Tapi ayolah berpikir sedikit saja.

Opini dan kabar tentang Jogja yang berdampak pada pariwisata sih tidak banyak. Paling “hanya” klitih, nuthuk harga, parkir mahal dan sulit, kurangnya transportasi publik, sampah, jalan rusak, dan tata kota semrawut. Apakah kabar tentang ini harus disembunyikan agar wisatawan mau datang?

Kalaupun mereka tidak tahu kabar miring itu, wisatawan akan merasakan sendiri kok. Mau ditutupi dengan apa lagi coba? Terlepas dari berbagai alasan lain, mungkin bisa saja wisatawan tahun lalu memandang Jogja tidak mencukupi kebutuhan mereka. Makanya mereka memilih berwisata ke tempat lain.

Logikanya, kalau ada yang miring ya diluruskan. Kalau ada masalah ya diselesaikan. Sesederhana itu, sumpah. Tinggal ada kemauan atau tidak. Justru, sebenarnya, mereka malah senang. Kok bisa?

Baca halaman selanjutnya

Tinggal nunggu laporan, baru ambil tindakan

Pemerintah (seharusnya) malah senang

Pemprov DIY pastinya jadi pihak yang paling bersyukur dengan viralnya kabar dan opini miring tentang Jogja. Sangat wajar, karena ini adalah kolaborasi yang sinergis. Kerja sama antara warga yang berada di lapangan, dan pemerintah sebagai pengambil keputusan. Dengan viralnya pemberitaan miring tentang Jogja, kerja pemerintah makin mudah.

Pemerintah Jogja tidak perlu repot turun ke lapangan. Sudah ada ratusan mata yang siap melaporkan masalah. Pemerintah tinggal fokus pada penyelesaian masalah yang dilaporkan. Sangat efisien baik tenaga maupun waktu. Misal kasus biaya parkir mahal, pemerintah bisa tahu lokasi dan kronologi kejadian langsung. Sama halnya dengan kasus harga makanan nuthuk sampai klitih di Nol KM. Berita miring dan viral membuat pemerintah mudah mengambil tindakan.

Lha wong pemerintahnya saja sedang dibantu, malah dikira malah membuat pariwisata lesu. Mereka yang sering ditanya “KTP ndi buoss” itu sedang bersinergi dengan pemangku jabatan lho. Kurang istimewa apa coba?

Mungkin pariwisata Jogja sudah tidak menarik

Saya sampaikan sebelumnya, ada banyak hal yang membuat pariwisata Jogja lesu. Tapi satu yang ingin saya sampaikan. Mungkin, setelah eksploitasi puluhan tahun ini, pariwisata Jogja memang sudah jenuh. Sudah mentok dan tidak menarik lagi. Mungkin, Jogja memang kelewat bebal dan manja untuk berbenah.

Kalau Anda bilang “kan banyak tempat wisata baru di Jogja,” tolong tahan diri dulu. Pariwisata tidak hanya masalah tempat selfie dan jajanan overpriced. Mau ada ratusan tempat wisata baru, belum tentu bisa membangkitkan pariwisata Jogja.

Seperti sapi perah. Ketika dipaksa untuk diperah, yang ada malah bisa infeksi atau mastitis. Meskipun diberi pakan dan konsentrat melimpah, sapi tidak akan bisa memproduksi lebih dari yang mereka mampu. Itu tidak hanya berlaku untuk sapi. Kambing, domba, buruh, dan sektor pariwisata juga demikian.

Kali ini saya setuju dengan Ngarso Dalem yang berpendapat bahwa estimasinya saja yang keliru. Mungkin estimasi kalau jumlah kunjungan wisata ke Jogja akan terus naik memang tidak realistis. Mungkin Jogja dipandang menjemukan, dan daerah lain menawarkan pengalaman baru bagi wisatawan.

Jika benar itu yang terjadi, selamat, karena Anda sedang menyaksikan Jogja yang sudah mentok dieksploitasi.

Bungkam opini jelek dengan pariwisata berkelanjutan

Pariwisata Jogja harus berkelanjutan. Dan tidak hanya berpatok pada angka kedatangan dan kepuasan wisatawan. Tapi juga bagaimana pariwisata benar-benar memberi manfaat bagi warga lokal. Saya sempat bahas di artikel Turis Membunuh Jogja, hanya 10 persen saja masyarakat yang bergerak di sektor pariwisata. Sisanya hanya mendapat macet, kehilangan ruang publik, dan gentrifikasi.

Ya kalau tidak ingin ada opini jelek, bungkam dengan pariwisata yang berkelanjutan. Karena semua opini jelek tentang Jogja bukan mitos seperti pakai baju hijau di pantai selatan, tapi suara parau karena sesuatu yang salah tidak juga diperbaiki. Apa yang selama ini dipandang sebagai opini dan kabar jelek sebenarnya masalah yang bisa diselesaikan dengan skema pariwisata berkelanjutan. Ketika pariwisata tidak hanya mengeksploitasi, tapi juga memelihara lingkungan dan manusianya.

Bagaimana caranya? Ya silahkan dirembuk oleh para pemangku jabatan. Mosok saya rangkap jabatan juga. Sudah jadi wong susah, masih disuruh mikir solusi pariwisata. Mending turu.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pariwisata Jogja di Titik Jenuh? Puspar UGM dan Pelaku Pariwisata Beri Solusi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version