Apa yang lebih hipokrit daripada janji manis mantanmu yang bilang “I can’t life without you?” Tentu saja ide ndakik-ndakik para aktivis yang sibuk hedon berkedok mencari solusi. Berbagai belahan bumi disambangi demi mendatangi konferensi. Ketika pulang, membawa segepok makalah dan konten Instagram. Sedangkan ide-ide revolusioner tadi berhenti sebagai bahan onani intelektualitas semata.
Maaf jika terlalu kasar. Tapi inilah realitas yang dilupakan para aktivis hedon tadi. Mereka sibuk berjuang dari balik meja konferensi sejuk di hotel mewah. Sehingga lupa kalau dunia yang mereka bicarakan itu pengap, memuakkan, dan kasar pada siapa saja. Meskipun saya juga tidak berharap apa-apa pada kelompok hedon progresif ini. Toh, tujuan mereka memang ingin kelihatan kritis sambil berpesta pora kan?
Daftar Isi
Aktivisme hedonis yang cemerlang
Jika Anda tanya siapa atau kelompok mana yang saya maksud, waduh saya enggan menjawab. Alasan saya sepele: karena jumlahnya banyak. Bisa-bisa satu artikel ini hanya jadi daftar kelompok aktivisme hedon. Lagipula, apa gunanya menyebut nama ketika fenomena ini sudah kelewat luas?
Saya lebih tertarik pada tawaran model aktivisme nggatheli ini. Mereka menawarkan hal yang sama seperti aktivisme lainnya. Yaitu kesempatan untuk menjadi mesias di tengah masyarakat yang dilabeli “terbelakang.” Namun yang membedakan adalah perkara skala. Aktivisme hedon ini lebih banyak bicara skala dunia. Isu lokal juga akan dibahas dengan skala yang lebih luas.
Maka ada tawaran baru yang terlihat menjanjikan: kesempatan keliling dunia sebagai aktivis. Mereka mendapat kesempatan mengikuti konferensi skala internasional. Bertemu dengan orang-orang yang punya sudut pandang baru namun dalam ideologi yang sama. Serta bisa jalan-jalan menemukan “dunia baru” di lokasi konferensi.
Sebenarnya ide ini cemerlang. Membicarakan isu besar dalam konferensi skala nasional tentu lebih menarik daripada ngobrol di forum-forum sempit. Tapi apa benar-benar cemerlang? Atau hanya jadi ajang seru-seruan semata?
Jauh panggang dari api
Sekarang waktunya bicara dampak dari aktivisme doyan konferensi internasional ini. Dengan melihat dunia hari ini, saya skeptis terhadap dampak nyata dari aktivisme ini. Yah, sebenarnya sama saja dengan aktivisme gaya konvensional. Tapi kita bahas nanti saja. Kalau semua dicangkemi di awal jelas pusing tho sayang.
Skeptisme saya dimulai dari model konferensi yang jadi tawaran terbesar. Aktivisme hedon sibuk berdiskusi dalam forum internasional. Mencoba menemukan benang merah dari masalah skala besar dan menemukan solusi untuk dibawa pulang ke negara masing-masing. Masalahnya, apakah solusi ini akan relevan ketika dibawa pulang?
Sudah syukur kalau oleh-oleh ideologis ini bakal didiskusikan di negara asal, karena apa yang mereka diskusikan adalah hasil penyamarataan isu. Padahal setiap daerah itu unik dan punya pendekatan berbeda. Misal perkara kebebasan berpendapat. Metode dari negara yang punya budaya lebih bebas akan mental ketika digunakan di negara kolot. Dan ini yang paling sering terjadi.
Eksklusivitas yang ra mashok
Berikutnya perkara eksklusivitas. Model aktivisme ini melahrikan kelompok eksklusif yang terpisah dari masyarakat. Karena mereka menempatkan diri sebagai subjek dan isu serta manusia yang terdampak sebagai objek. Pada akhirnya, relasi subjek-objek ini hanya berujung pada kegagalan memetakan isu. Edukasi yang menjadi program aktivis hedonis menjadi tembok pemisah dengan masyarakat yang jadi latar belakang konferensi mereka.
Eksklusivitas ini tidak berhenti perkara pembahasan isu. Mereka yang bergabung perlu memiliki standar khusus sesuai harapan konferensi. Dengan esai ribuan kata dan kemampuan akademis tertentu. Akhirnya mereka yang terpilih adalah kelompok pemikir dan pencetus ide. Kedekatan mereka pada isu hanya sebatas studi pustaka dan impian tinggi semata.
Karakter hedon yang terbentuk dari kelompok ini ikut memperlebar jurang pemisah antara pemikiran dan isu. Kesempatan jalan-jalan dan liburan gratis ke luar negeri akhirnya jadi motor utama. Sehingga yang berkumpul di sana akan sibuk bicara pengalaman perjalanan selama konferensi daripada membahas produk konferensi.
Bagaimana cara untuk menyelesaikan isu dalam masyarakat ketika para aktivis ini terpisah dari masyarakat? Bukan masalah kemewahan dan liburan semata. Tapi ketika mereka menjadi think tank yang jauh dari masyarakat, bukankah produk yang dihasilkan juga tidak akan relevan?
Aktivis yang melayang-layang
“Tapi aktivis lokal juga sama saja!” Mungkin itu yang Anda pikirkan. Dan saya tidak menyalahkan. Selama aktivisme dilakukan sebagai onani pemikiran, hasilnya selalu jauh dari realitas. Tapi untuk aktivisme hedonis yang saya bahas ini lebih istimewa.
Problem utama aktivisme dari dulu adalah kemampuan untuk membumi. Meskipun sering berangkat dari akar rumput, namun hasilnya akan eksklusif bagi segelintir orang. Pada akhirnya, aktivis menjadi sosok yang gaib dan melayang-layang di tengah masyarakat. Serta memandang skeptisme masyarakat sebagai bentuk sikap kolot terhadap ide besar para aktivis.
Aktivisme hedon malah lebih istimewa. Yang berdiskusi di dekat masyarakat saja gagal, apalagi yang harus menjauh demi konferensi? Pemikiran yang dihasilkan di warkop saja tidak relevan, apalagi yang lahir dari hotel bintang lima nan jauh di sana?
Pada akhirnya semua jadi arena bagi oportunis. Mencari kesempatan untuk bisa jalan-jalan dengan jualan isu masyarakat. Lalu membawa bertumpuk-tumpuk teori yang menjadi selingan konten jalan-jalan bermodal donatur. Tapi mau berharap apa sih? Toh mereka juga tidak dikenal oleh masyarakat yang jadi barang dagangan.
Ah, untuk apa pula berharap pada aktivisme yang jauh panggang dari api ini? Berharap ada perubahan? Jangan tekan mereka sekeras itu. Nanti jadi canggung saat presentasi atau party bersama aktivis lain.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Aktivis Mahasiswa tuh yang Kayak Gimana sih?