Aerox 155, Motor Yamaha Biasa yang Dibikin Luar Biasa oleh Media Sosial

Aerox 155, Motor Yamaha Biasa yang Dibikin Luar Biasa oleh Sosial Media

Aerox 155, Motor Yamaha Biasa yang Dibikin Luar Biasa oleh Sosial Media (unsplash.com)

Di jalanan kota, di parkiran minimarket, bahkan di story Instagram, Yamaha Aerox 155 seperti jadi simbol kemapanan baru. Seolah-olah siapa pun yang menunggangi motor Yamaha ini pasti hidupnya sudah beres. Yah, setidaknya punya kerjaan oke, outfit keren, dan siap diajak jalan-jalan malam minggu.

Akan tetapi di balik itu semua, ada satu pertanyaan saya. Apa sih yang istimewa dari Aerox 155?

Jujur, ini bukan dengki. Bukan pula rasa iri karena saya tak punya. Saya justru pernah punya motor Yamaha satu ini, eh, maksudnya nyobain motor keluaran 2021 ini warna matte black. Dan pengalaman “nyobain” itu membuat saya menyadari satu hal: motor ini biasa-biasa saja. Bahkan terlalu biasa untuk status hype-nya yang luar biasa.

Aerox 155, motor baru dengan casing “selera pasar”

Mari kita jujur soal desain. Aerox 155 memang sporty. Garis bodinya tajam, stangnya ceper, buritannya naik. Cocok untuk anak-anak nongkrong yang suka motor dengan aura “ngebut” meski cuma mengantar tempe goreng.

Tetapi desain sporty bukanlah inovasi. Ia hanya mengikuti selera pasar. Yamaha paham betul bahwa visual adalah kunci. Masyarakat kita gampang jatuh cinta lewat pandangan pertama. Makanya dibuatlah Aerox ini sedemikian rupa supaya eye-catching. Hasilnya? Laris manis bak kacang goreng.

Namun di balik desain Aerox 155 yang keren itu, ergonominya nggak benar-benar ramah. Posisi duduknya cenderung bikin pegal saat riding jarak jauh. Bagasi? Gede, tapi nggak selegowo NMAX. Tangki di tengah? Keren, tapi kadang bikin ribet kalau bawa galon atau kantong belanja besar.

Artinya, Aerox 155 adalah produk yang tampilannya dijual lebih mahal daripada fungsinya.

Mesin besar, tapi nggak terlalu berkelas

Banyak yang memuji performa mesin motor Yamaha satu ini. Mesin 155cc VVA, katanya bikin tarikan enteng dan kecepatan maksimal mantap. Iya, betul. Tapi dibanding skutik lain di kelasnya, perbedaan itu bukan sesuatu yang revolusioner. Bahkan NMAX, yang satu basis mesin dengan Aerox, lebih nyaman dikendarai untuk harian.

Torsi maksimum Aerox ada di angka 13.9 Nm pada 6.500 rpm. Power-nya 15.1 PS di 8.000 rpm. Not bad, tapi juga nggak luar biasa. Mau jujur? Untuk keperluan macet-macetan di kota atau boncengan tipis-tipis ke pantai, performa seperti ini cukup. Tapi nggak istimewa.

Lagi pula motor 155cc dengan VVA bukan barang baru. Kita sudah melihatnya sejak era NMAX generasi pertama. Maka ketika Aerox 155 hadir dengan mesin serupa, ia bukan pelopor. Motor Yamaha satu inihanya pewaris tampang baru dari sesuatu yang sudah ada.

Baca halaman selanjutnya: Aerox dianggap naik kelas…

Aerox 155, motor yang dianggap naik kelas

Satu yang paling menarik menurut saya dari fenomena Aerox 155 bukan mesin atau desainnya, melainkan pencitraan sosial di sekelilingnya. Di TikTok misalnya, ada banyak video yang memperlihatkan seseorang naik motor Yamaha satu ini sambil pakai jaket distro, helm Arai, dan caption “akhirnya bisa beli motor sendiri dari hasil kerja keras”.

Kita lalu terjebak pada persepsi bahwa motor ini adalah simbol pencapaian. Bahwa memiliki Aerox 155 sama dengan punya kehidupan yang sudah enak. Padahal ini hanya bias.

Motor Yamaha satu ini jadi keren bukan karena ia benar-benar lebih baik. Tetapi karena ia muncul di saat yang tepat. Visualnya cocok dengan keinginan pasar muda dan didukung narasi media sosial yang gencar mengatakan: kamu keren kalau pakai Aerox.

Kita lupa kalau motor ini ya… motor biasa. Mau beli motor baru, bekas, kredit, atau cash, kalau motor ini rusak ya mahal juga servisnya. Tapi narasi sosialnya sudah telanjur membumbung tinggi. Siapa yang berani bilang motor ini jelek bakal dikatain nggak ngerti motor, atau orang gagal.

Kalau mau objektif, masih banyak motor yang lebih rasional dari Yamaha Aerox 155

Kalau kita lepaskan semua bias sosial, Aerox 155 bukan motor yang sangat masuk akal. Konsumsi bensinnya cukup boros untuk ukuran skutik. Joknya keras, suspensinya kaku, dan spionnya entah kenapa sering diprotes pengguna karena posisi yang kurang ergonomis.

Bandingkan dengan skutik lain yang lebih murah, lebih nyaman, atau lebih hemat BBM. Misalnya Suzuki Burgman Street atau bahkan Vario 125 bekas. Semuanya bisa jadi pilihan rasional, tapi nggak akan pernah sekeren Aerox di mata warganet. Itulah bukti bahwa motor ini hidup dalam narasi yang dibentuk, bukan berdasarkan kualitas yang murni.

Kesimpulannya…

Membeli Aerox 155 mungkin bukan soal kebutuhan, tapi soal pengakuan. Dan itu sah-sah saja. Manusia memang butuh validasi. Tapi sebagai yang pernah “tersadar”, saya merasa penting untuk menyampaikan bahwa gimmick sosial bisa sangat kuat mempengaruhi pilihan kita.

Aerox bukan motor jelek, tapi juga bukan motor luar biasa. Ia hanya berhasil menjadi “ikon” karena momentum, desain, dan narasi yang dibentuk masyarakat.

Dan di saat orang-orang masih ramai pamer Yamaha Aerox 155 dengan caption penuh semangat, saya memilih jalan sunyi: naik motor lama, hemat bensin, dan tak perlu repot memoles citra. Karena hidup tak harus keren untuk tetap nyaman.

Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Yamaha Aerox 155: Motor Nirfungsi yang Mahal dan Nggak Kencang-kencang Amat.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version